Mungkin
ini ada kaitannya atau tidak ada kaitannya dengan istilah elan vital yang
diperkenalkan Henri-Louis Bergson dan karenanya ada kaitan atau tidak ada
kaitan pula dengan Catatan Pinggir Cinta Goenawan Mohamad yang dirilis Tempo 1
Juni 2015 lalu.
Tulis
Goenawan, "… elan vital, dorongan hidup yang terus menerus mengalir dan tumbuh,
bukan kehadiran yang statis. Ilmu, yang disusun intelek/nalar, tak akan mampu
memahaminya. Nalar mampu menganalisis, menganalisis berarti mengurai, tapi
untuk itu kita harus memandang sebuah proses yang bergerak terus seakan-akan
mandek."
Jika
disitu yang dimisalkan Bergson melalui Goenawan adalah "lagu," maka disini saya
akan rupakan sebagai "film."
Intelek bisa mengurai sebuah film menjadi deretan nilai karakter yang mampu diukur lewat disiplin ilmu psikologi, intelek mampu mengurai plot cerita dengan kategorisasi dari prodi televisi dan film perguruan tinggi. Tapi dengan demikian, film akhirnya harus diperlakukan sebagai benda yang "berhenti." Dan persis disitu, kita kemudian tak dapat lagi menikmatinya. Film baru bisa "bergerak," menggetarkan bahkan menyentuh jika kita berangkat dari intuisi, intuisi yang dinyatakan Bergson melalui Goenawan dapat "bersua dan menangkap elan vital yang menggerakkan kehidupan."
Agaknya,
hal itulah yang menghantui saya terus-menerus belakangan ini; elan vital yang
menjadi mampet ketika dalam sajak sastrawan Bengali, Rabindranath Tagore
dilukiskan sebagai "menyelam dan mencari mutiara" bukan "menghimpun batu dan
menebarkannya."
"Menyelam
dan mencari mutiara" yang lebih dekat maknanya kepada "kontrol" dan "ke-tidak spontan-an" justru malah memunculkan beban dan utang serta menunda saya untuk berangkat ke-antrian
eksodus besar-besaran folder film Perancis, Iran, juga Amerika Latin. Oleh sebab
itu, pada Shutter Island (2010) saya justru lebih memilih untuk hanya "menghimpun
batu dan menebarkannya."
Shutter
Island (2010) yang diadaptasi dari Novel Dennis Lehane tahun 2003, adalah
sebuah film yang mengisahkan Edward Daniels yang menyelidiki kasus hilangnya
pasien di rumah sakit jiwa Ashecliffe. Namun, tidak perlu menjadi jenius untuk
tahu bahwa justru Edward Daniels –atau belakangan menjadi Andrew Laeddis- lah yang
sebenarnya gila, akan tetapi bulu bergidik ketika membaca tulisan "Run" dan keterkejutan muncul ketika Shutter Island
(2010) menjadi pengejawantahan paling serius peribahasa lama Indonesia "lebih
baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai."
Pada
sebuah adegan singkat dan tampaknya oleh sutradara Martin Scorsese diperuntukkan
untuk tidak terlalu diperhatikan, Edward Daniels atau Andrew Laeddis mengatakan "… Kau tahu, tempat ini membuatku
berpikir… mana yang terburuk, hidup sebagai monster atau mati sebagai orang
baik?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar