Diluar
kebiasaan yang kerap saya lakukan -saya menulis catatan kecil sebagai hasil
permenungan menikmati film persis ketika film itu baru selesai saya saksikan- The Truman Show saya saksikan di hampir
penghujung tahun 2013 lalu, namun baru kini di penghujung tahun 2014, saya
terdorong kembali untuk menuliskannya.
Dorongan
tersebut lahir ketika saya sedang membaca buku Dari Mao ke Marcuse (2013) karangan Romo Magnis-Suseno. Buku yang
isinya tidak saya baca secara berurutan dan yang saya dapatkan dari seorang
penjual buku di Surabaya tersebut terdiri dari sembilan bab dimana pada bab 7
nya berisi tentang Revolusi Kebudayaan menurut Nabi baru gerakan kiri; Herbert
Marcuse.
Jadi,
Marcuse lah yang menarik saya pada The
Truman
Show…
Siapa Marcuse?
Herbert
Marcuse lahir di Berlin-Jerman tanggal 19 Juli 1898 dan tutup usia di
Starnberg-Jerman tanggal 29 Juli 1979. Pada usia 18 Tahun Marcuse menjalani
wajib militer dengan Angkatan Bersenjata Jerman, namun Ia tidak pernah
benar-benar terlibat dalam peperangan karena Marcuse menghabiskan kurun waktu
wajib militernya dengan bekerja di kandang kuda di Berlin selama Perang Dunia I.
selama Perang Dunia ke-II, Marcuse kemudian bekerja untuk U.S. Office of War Information (OWI) dengan fokus garapan pada Anti
Propaganda NAZI di Amerika Serikat setelah ia bermigrasi kesana pada usia 36
Tahun. Usia 45 Tahun, Marcuse lantas bekerja di Office of Strategic Services (OSS) yang dikenal sekarang sebagai Central Intelligence Agency (CIA).
Namun,
bukan keterlibatan nya sebagai pelopor CIA yang membuat Marcuse kondang,
Marcuse yang sampai ketelinga saya adalah Marcuse sebagai intelektual kiri
dengan buku seksi One-Dimensional Man-nya yang terbit pada tahun 1964.
One-Dimensional Man yang
kemudian pada tahun 2000 diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Manusia
Satu-Dimensi oleh Penerbit Buku Bentang (Jogjakarta) bertutur tentang
masyarakat modern yang memarginalkan dimensi
negatif. Menurut Marcuse, dalam sebuah masyarakat selalu ada dua
dimensi yakni Dimensi Afirmatif dan Dimensi Negatif.
Dimensi Afirmatif terdiri
atas semua unsur yang membenarkan dan mendukung sistem kekuasaan yang
bersangkutan, sedangkan Dimensi Negatif terdiri
atas unsur-unsur yang menentang struktur-struktur masyarakat mayor dan
karenanya ingin mengubah sistem kekuasaan yang ada.*
Pemarginalan
Dimensi Negatif inilah yang ditentang
habis oleh Marcuse, Marcuse lebih lanjut menjelaskan bahwa Dimensi Negatif dimarginalkan dengan cara “mengintegrasikan”
seluruh unsur-unsur dari Dimensi Negatif kedalam
unsur-unsur Dimensi Afirmatif. “Pengintegarisian”
tersebut dilakukan dengan “memanipulasi” dua nilai khas masyarakat modern yakni
“rasional” dan “bebas” melalui teknologi.**
Sebagai
contoh “hasil manipulasi” yang saya maksudkan diatas, masyarakat menjadi latah
ingin membeli barang apa saja yang dilemparkan ke pasar. Misal, Apabila Ia
mampu membeli mobil paling baru-paling mahal maka spontan Ia akan merasa paling
bermartabat. Apabila ia mampu membeli parfum dengan merk tertentu maka spontan
Ia akan merasa paling percaya diri. “Perasaan-perasaan” pembeli ini kemudian
diamini oleh mayoritas masyarakat karena dipandang rasional dan bebas dengan
ucapan-ucapan seperti “wajar, masuk akal
saja karena ia punya uang dan mampu membelinya,” atau “kalau dia memang mampu, ya terserah saja mau dibelikan apa.”
Kesadaran-kesadaran
seperti inilah yang dianggap rasional oleh masyarakat mayor, padahal menurut Marcuse kesadaran ini adalah
“kesadaran palsu” dan karenanya sebenarnya justru “irasional.” Untuk
mengembalikan kesadaran tersebut kembali kedalam fitrahnya, Marcuse akhirnya
menghimbau untuk melakukan “the great
refusal” atau “penolakan agung.”
“Penolakan
agung” adalah penolakan heroik seseorang untuk ikut dalam sistem, penolakan itu
heroik karena dilakukan sendirian, karena penolakan itu juga berarti menolak
menikmati sekian kenyamanan “yang tak perlu.”***
Pada
titik ini, akhirnya saya sampai dan ingin menunjukkan peran pasar yang melakukan
pen-dikte-an kesadaran masyarakat menjadi “Manusia Satu-Dimensi” melalui
teknologi yang membuat seolah-olah sepertinya kebutuhan-kebutuhan yang
diperlukan adalah kebutuhan rasional.
“Teknologi
yang seperti apa? The Truman Show akan
memperlihatkannya pada kita.
Apa itu The Truman Show?
The
Truman Show merupakan film satire besutan alumnus fakultas hukum Universitas
Sydney; Peter Weir yang dirilis tahun 1998 lalu.
The
Truman Show dibuka dengan kata-kata:
“Kami sudah bosan menonton aktor yang memberikan emosi palsu, kami lelah dengan kembang api dan efek-efek khusus, sementara dunia yang ia diami sebagian palsu.”
Dilanjutkan
dengan kata-kata:
“Tak ada yang palsu tentang Truman. tak ada skrip, tak ada papan contekan”
Dari
dua kalimat diatas, terlihat bahwa orang sudah jemu dengan sebuah film yang
memberikan emosi palsu melalui aktornya. The
Truman Show kemudian mencoba menyajikan film yang berbeda dengan
mengandalkan keaslian emosi aktornya yakni Truman Burbank. The Truman Show menampilkan realita kehidupan Truman Burbank 24 jam sehari non stop selama berbulan-bulan selama
bertahun-tahun. Sang aktor sendiri –Truman Burbank- tidak mengetahui bahwa
dirinya sedang dijadikan aktor dan disiarkan melalui televisi kepada
masyarakat. Dari tempat tidur, tempat kerja, tempat parkir, toilet, mini
market, dan tempat apa saja yang dikunjungi Truman terpasang kamera-kamera.
Bahkan,
The Truman Show sudah dimulai ketika hari kelahiran Truman Burbank sebagai manusia. Jadi disini tak ada perbedaan antara kehidupan pribadi
dengan kehidupan publik.
Truman
Burbank (diperankan oleh Jim Carrey) adalah seorang manusia seperti manusia
umumnya dengan aktivitas hidup normal: bangun dipagi hari, meminum kopi,
bekerja, pulang menjelang sore, bersama istri dimalam hari, bangun kembali pada
pagi keesokan harinya, begitu seterusnya.
Namun
yang tidak diketahui Truman dalam aktivitas normalnya bahwa semua hanyalah
rekayasa: Istri, teman sekantor, dan lain sebagianya. Yang juga tidak diketahui
Truman adalah bahwa kebutuhan-kebutuhan yang mengisi hidupnya semenjak ia
kecil: popok bayi, makanan, baju, mobil, dan lain sebagainya adalah kebutuhan
dengan merk dagang yang disuplai oleh perusahaan-perusahaan yang menjadi sponsor
dalam The Truman Show.
Alhasil,
apa yang menjadi kebutuhan Truman juga menjadi kebutuhan masyarakat yang
menontonnya melalui televisi.
Truman
Burbank mempunyai “kesadaran palsu” akan kebutuhan yang diperlukannya karena
asasinya kebutuhan tersebut diciptakan oleh perusahaan dagang yang menjadi
sponsor The Truman Show. Masyarakat
yang menyaksikannya –yang sebenarnya mengetahui dengan persis bahwa Truman
Burbank hanyalah aktor- justru mengamini kebutuhan-kebutuhan tersebut karena The Truman Show ditayangkan selama 24
jam sehari non-stop selama berbulan-bulan bertahun-tahun.
….
dan akhirnya terciptalah “Manusia Satu-Dimensi” sebagaimana disebutkan Marcuse.
Bagaimana Jika Marcuse dan The Truman Show
Disatupadukan?
Masyarakat
yang konsumtif tanpa ada jalan keluar dan pesimisme malu-malu dua kali.
Begitulah
kira-kira hasilnya jika Marcuse dan The
Truman Show disatupadukan, Marcuse dalam One-Dimensional Man memang mempunyai analisis yang sangat tajam
untuk menunjukkan bagaimana proses peralihan kesadaran masyarakat untuk menjadi
“rasional” menurut ukuran mayor, namun Marcuse tidak melanjutkan analisisnya
lebih jauh jika manusia melakukan “penolakan agung” apakah ia akan mempunyai
mobil misalnya, begitupun dengan The
Truman Show, meski Truman Burbank yang diakhir kisah diceritakan akhirnya
mengetahui bahwa ia hanyalah aktor, The
Truman Show tidak meneruskan ceritanya lebih jauh mengenai kehidupan Truman pasca ia meninggalkan kehidupan “normal” dengan kamera, The Truman Show hanya ditutup dengan
senyuman Truman dan hiruk pikuk penonton khas seseoang yang menempuh jalan
hidup secara heroik.
#
Pelaihari,
16 November 2014
Catatan:
(*), (**), (***), Franz Magnis-Suseno, Dari Mao ke Marcuse, 2013, Gramedia.