Minggu, 26 Maret 2017

Captain Fantastic (2016)

Yang mutlak harus diingat, kata Captain disini bukan diperuntukkan untuk sosok tua super fiktif dengan tameng yang dianggap menyimbolkan patriotisme, tapi untuk sosok ayah yang memimpin gerombolan rimba menghabisnikmati hari dengan berburu kijang, memanjat tebing, membaca buku, memainkan musik dan tidur dibawah bintang. Agak mempunyai basis ide yang sama saya kira dengan Into The Wild (2007), bedanya Alexander Supertramp tak lagi bujang, tapi sudah beristri dengan enam orang anak.

Ben Cash (Viggo Mortensen) dengan jambang tentu saja, memimpin Bodevan, Kielyr, Vespyr, Rellian, Zaja dan Nai untuk tinggal dihutan menjauhi hiruk pikuk laku konsumtif. Akan menjadi sangat biasa kiranya jika sebuah film bertutur tentang keluhuran konsep "pembangkangan agung" Sosiolog Jerman Herbert Marcuse, dan Matt Ross tak ingin menjadi biasa, sebab itu ia membawa Ben turung gunung (baik secara makna kata atau makna sebenarnya) dengan momen pemakaman Leslie Cash yang membunuh dirinya dengan menyayat urat nadi.

Turun gunungnya Ben dalam amatan saya membuat Captain Fantastic (2006) menjadi begitu brutal, seksi dan penuh gairah. Keluruhan konsep membentur aspal jalanan.

Sebagai contoh, di bagian adegan ketika Dave bertanya tentang pemasukan pada Ben. Dalam pola pikir sederhana, hidup dihutan bentara tentu membawa dampak pada ketidakbekerjaan formal individu dan karenanya tak bergaji, sementara ada enam orang anak yang harus dipertanggungjawabi baik dari segi sandang, papan, pangan. Ben menjawab "kami hanya membeli barang yang kami butuhkan." Ini sangat mengena saya kira, baik saya pribadi maupun manusia-manusia pada umumnya yang justru lebih disibukkan dengan memenuhi keinginannya ketimbang kebutuhannya. Analisis lebih jauh soal ini pernah dijabarkan Filolog Jerman Friedrich Nietzshe, namun dalam pemahaman singkat saya ketika kita dahaga sebenarnya kita cukup memerlukan air putih dan bukan Coca Cola.

Selain kebutuhan primer diatas, tanggung jawab orang tua utamanya ayah tak hanya selesai disitu, dan ini yang dipertajam oleh Harper istri dave, "mereka harus sekolah, mereka harus belajar tentang dunia" terang Harper. dan Ben lantas menanyai Jackson (13 tahun) anak Harper UU HAM yang oleh Jackson dijawab dengan "sesuatu yang memakan biaya." Sementara Zaja (8 tahun) setelah ditanyai Ben menjawab "tanpa UU HAM kita mungkin akan seperti di Cina, disini setidaknya penggeledahan ada suratnya, kita punya kebebasan berbicara." Setidaknya jawaban dua bocah itu memproyeksikan pada kita bagaimana nalar yang disebut Filsuf Austria Ivan Illich sebagai belenggu sekolah.

Captain Fantastic (2016) memang banyak mengemas Marx, Trotsky, Pol Pot, saluran kemih Uretra, Buddhisme dll, maksud saya ada segudang pengetahuan di sini. Terlepas dari Ben dan anak-anaknya yang merayakan hari kelahiran Noam Chomsky. Sungguh ingin rasanya berhenti menulis tepat dititik ini, agar Captain Fantastic (2016) terlihat sempurna, namun karena kesempurnaan memang hanya omong kosong maka saya lanjutkan tulisan ini dengan menuliskan bahwa diakhir cerita Ben mencukur jambangnya setelah berbincang dengan Jack.