Minggu, 17 Mei 2015

The Imitation Game (2014)

Diruang nomor 205 Museum Seni Nasional Reina Sofia Spanyol, tergantung pucat lukisan The Enigma of Hitler (1939) karya Salvador Dali. Namun, anda jangan salah mengira jika kita sedang-akan membincangkan surealis-me nya Dali beserta kumisnya, atau betapa bohemiannya kehidupan remaja seniman gagal Adolf Hitler, kita justru hanya akan ngomong-ngomong soal Enigma yang menjadi kondang dan handal setelah dikembangkan oleh angkatan bersenjata Nazi-Jerman era 1935-1945.
Secara sederhana, Enigma adalah sebuah mesin kriptografi penyebab sekutu mati kutu. Pesan militer yang dikirim via Enigma selalu gagal dipecahkan sampai Churchil membentuk satgas khusus yang dipimpin Commander Alexander Guthrie Denniston.
“… dan Kau merasa tak memenuhi syarat sebagai anak ajaib yang bersertifikat?” tanya Commander Denniston. “Newton menemukan Teorama Binomial saat usia 22 tahun, Einstein menulis empat makalah yang mengubah dunia di usia 26 tahun. Sejauh yang kutahu, aku…, hampir tak bisa menyamainya.” Jawab seorang pemuda homoseksual.
Oleh Denniston (diperankan Charles Dance), setelah satu minggu sebelumnya menolak ahli bahasa yang mengetahui Jerman lebih baik dari Bertolt Brecht, pemuda homoseksual yang tak paham bahasa Jerman itu akhirnya dipekerjakan untuk memecahkan pesan-pesan militer berbahasa Jerman.
Disinilah The Imitation Game (2014) dimulai, Film arahan sutradara Norwegia yang menempuh pendidikan seni visual di New York; Morten Tyldum ini menuturkan kisah tentang bagaimana Alan Turing (diperankan oleh Benedict Cumberbatch) memecahkan sandi Enigma yang membuat Perang Dunia ke-II berakhir lebih cepat .
Alan Mathison Turing adalah seorang Ahli Matematika kelahiran Inggris yang sangat menyukai permainan teka-teki silang. Disamping itu, Turing juga ialah seorang asosial, arogan, dan homoseks. Turing meninggal muda pada usia 41 tahun disebabkan suntikan estrogen yang dianggap mampu menetralkan libido.
Masih menurut proyek multibahasa “Jimbo” dan temannya, aktor amerika berdarah Italia-Jerman; Leonardo DiCaprio sempat menyatakan ketertarikannya untuk memerankan Alan Turing, namun justru aktor Inggris; Benedict Cumberbatch lah yang memainkan Turing dan mendapatkan sambutan hangat dari para kritikus film. Sebagai contoh, kritikus Roger Friedman menulis dalam ulasannya bahwa “Cumberbatch mungkin adalah orang terdekat yang merupakan keturunan nyata Sir Laurence Oliver.”
Bagi saya, judul film yang merujuk pada pemikiran Alan Turing dalam makalahnya berjudul Computing Machinery an Intelligance (1950) ini adalah sebuah film yang benar-benar harus kamu nikmati sebelum mati. The Imitation Game memberikan kita sebuah gambaran dimana perilaku seseorang dapat memarjinalkan jasanya. Alan Turing adalah sebuah korban kekerdilan –dalam bahasa khas Lippmann- “stereotip” manusia. Bagaimana tidak, Turing yang membantu menyelamatkan ribuan nyawa manusia justru dihilangkan dalam sejarah dan dihukum (penjara atau pengebirian kimia) hanya karena aktivitas seksualnya, dan baru setelah setengah abad lebih kematiannya, tepatnya pada hari Selasa tanggal 24 Desember 2013, Turing diberikan pengampunan oleh Elizabeth II.
Lantas, kapan Semaoen dikembalikan dalam sejarah?

Sabtu, 16 Mei 2015

PK (2014)

Satu lagi film produksi India yang memberikan kesan mendalam. Setelah 3 Idiots (2009), Rajkumar Hirani kembali menelurkan film India berkualitas berjudul PK (2014).

PK atau yang dibaca "Peekay" yang dalam bahasa Indianya mempunyai arti "Mabuk" berhasil menggelitik sisi spritual masyarakat umum India dan tak hanya India.

Terletak di Asia Selatan dengan Motto "Satyameva Jayate" atau "Hanya Kebenaran yang Berjaya," India merupakan sebuah tempat -dalam bahasa Soekarno- segala-gala barang berbau agama, sebuah tempat dimana jumlah hari-hari libur agama jauh melebihi jumlah hari-hari libur sekuler. Dengan kata lain, India adalah keberagaman dalam keagamaan.

....dan ditengah kebaragaman itu, muncullah PK (diperankan oleh Aamir Khan) dalam keadaan "telanjang". Kata telanjang disini saya artikan dalam dua hal yakni telanjang dalam arti lurus tidak berpakaian dan telanjang dalam arti tidak mempunyai pengetahuan/bahasa/laku. Saya kira, disini Rajkumar Hirani adalam pembaca Lacan yang baik. Pemilihan sosok PK sebagai alien humanoid bukan merupakan kebetulan belaka. Dalam tradisi Psikoanalisis Lacanian dikenal sebuah keadaan sebelum berbahasa dimana bayi masih merasa bahwa dirinya dan seluruh yang liyan adalah satu kesatuan, dan sosok awal PK saya rasa tidak secara sempurna mewakili itu.

PK kemudian masuk dalam tataran simbolik; PK bertumbuh, mengenakan pakaian, belajar berbahasa, memakan wortel, mengenal cinta dan melakukan pencarian atas Tuhan.
".......... Setelah banyaknya pengejaran, Aku mulai mengerti... Dunia ini tidak hanya ada satu Tuhan. Tapi ada banyak Tuhan. dan setiap Tuhan punya aturan yang berbeda. Dan setiap Tuhan membuka perusahaan sendiri... Manusia punya agama untuk Mereka (Tuhan). Dan setiap agama punya manajer yang berbeda. Dalam dunia ini, setiap orang hanya punya satu agama... Artinya mereka hanya mengikuti satu perusahaan saja. Dan Tuhan yang mereka pilih, itulah yang mereka sembah, bukan yang lain. Jadi aku harus jadi bagian perusahaan yang mana? Tuhan mana yang harus kusembah?" | PK .
Disini saya ingin mengajukan sedikit kritik, pertanyaan bernas tersebut oleh Rajkumar Hirani dibiarkan secara sengaja menjadi mandul, kita tak akan temukan jawabnya dalam film dengan durasi 182 menit. PK hanya melontar-lontarkan argumen sesak logika tanpa basis teologis yang jelas yang menjadi cemerlang ketika dihadapkan pada tokoh agama yang haus kuasa semacam Tapasvi Maharaj (diperankan Saurabh Shukla). Jalan cerita akan menjadi lain tentu saja jika dibenturkan kepada tokoh-tokoh semacam Gautama Buddha, Mirza Ghaluman Ahmad, Swami Vivekananda, Sepuluh Guru Sikh, atau bahkan Zakir Abdul Karim Naik.

Namun terlepas dari hal itu, PK tetap merupakan film seksi yang tidak saya sarankan untuk ditonton oleh seorang ortodoks buta yang tidak mampu -atau lebih tepatnya mau- memahami kata-kata ahli matematika kelahiran London berikut :
"Ya... Kita menghargai perbedaan yang dimiliki manusia satu sama lain. Kamu suka strawberry aku benci ice skating, kamu menangis difilm sedih aku alergi serbuk sari. Apa gunanya selera yang berbeda, pilihan yang berbeda jika kita tak mau mengakui otak kita secara berbeda? cara pikir kita berbeda?" | Alan Turing dalam The Imitation Game (2014)"
O ya, ada adegan menarik dalam film ini ketika PK berusaha mencari tanda agama pada bayi yang baru saja dilahirkan.

Rabu, 13 Mei 2015

Resensi atas Resensi Film PK (2014)

Menurut sebuah proyek ensiklopedia multibahasa yang dirilis oleh "Jimbo" dan temannya yang menulis tesis berjudul "Metode-metode Descartes dan latar belakang teori mereka" (2000), Resensi sekurang-kurangnya mempunyai empat manfaat yakni (1) sebagai bahan pertimbangan (2) mempunyai nilai ekonomis (3) sarana promosi buku, dan (4) pengembangan Kreativitas.

Dari ke-4 (empat) manfaat tersebut, secara terus terang, bagi saya manfaat ke (1) dan ke (4) lah yang begitu dominan. PK; sebuah film komedi satir india yang dirilis tanggal 19 Desember 2014 lalu tampak seksi ketika diresensi oleh Gunawan Raharja dalam Harian Kompas Edisi Selasa, 12 Mei 2015.

Gunawan Raharja kembali melecut semangat saya untuk segera menyaksikan PK, setelah sebelumnya Goenawan Mohamad dalam Majalah Tempo Edisi Senin, 2 Februari 2015 memberikan energi serupa.

Jika diselisik, ada perbedaan sajian yang dihidangkan "Salah Sambung" Gunawan Raharja dengan "Salah Nomor" Goenawan Mohamad.

Perbedaan tersebut terletak pada bagaimana sudut pandang keduanya dalam melihat sosok Tapasvi Maharaj (diperankan oleh Saurabh Shukla).

Saya kutipkan disini versi Gunawan Raharja:
"........ Bagiamana PK bertemu dengan tokoh agama bernama Tapasvi-Ji yang menjadi pusat konflik film ini, beradu pendapat tidak untuk mencari siapa yang benar, tetapi demi mengedepankan berbagai pertanyaan sekaligus jawaban yang menarik. PK memberi istilah salah sambung terhadap berbagai interpertasi eksistensi Tuhan. Menurut dia, agama dan Tuhan tergantung kepada siapa yang menginterpertasikannya, dalam hal ini para tokoh agama."
Sementara versi Goenawan Mohamad:
"...... Manusia di dunia mencoba mengontak yang ilahi, tapi itu seperti seseorang yang menelpon dan tersambung pada nomor yang salah dan mendapat jawaban yang bukan dari Tuhan sendiri.
"Salah Nomor" adalah sindiran film ini kepada agama-agama. Dibalik nomor yang salah itu yang bersuara adalah kehausan manusia akan kuasa. Personifikasinya adalah seseorang yang diagung-agungkan sebagai aulia besar, Tapasvi Maharaj. Orang bertubuh tambun dan tinggi ini dengan efektif mempertontonkan wibawa. Ia mengeluarkan fatwa dan petunjuk yang diyakini umat, meskipun menyesatkan. Umat takut, mereka cemas, dan dengan mudah mempercayainya. Juga ketika fatwa itu tak adil, atau menimbulkan penderitaan, atau meminta orang mempersembahkan segalanya untuk kemegahan sang pemberi sabda."
Dari dua sudut pandang diatas, terlihat bahwa Gunawan Raharja lebih mengedepankan "tepo seliro"; sebuah nasihat jawa yang kurang lebih dapat diartikan sebagai menenggang perasaan orang lain yang mewujud kepada keharmonisan atau dengan kata lain menghindari ketidaksepakatan dan -dalam bahasa Gunawan Raharja sendiri- Friksi. Sementara Goenawan Mohamad dengan gamblang tidak menjaga jarak untuk tidak sepakat terhadap sang aulia besar.

Bagaimana sudut pandang saya sendiri atas Tapasvi Maharaj? Seperti yang sudah-sudah saya akan menuliskannya ketika PK telah berhasil saya tamatkan.

Namun sebelum itu ada sebuah informasi menarik dari Gunawan Raharja; Pasangan William Bradley Pitt (51 tahun) dan Angelina Jolie Voight (39 tahun) rupa-rupanya mengadopsi tiga anak dari tiga negara yang berbeda yakni Vietnam, Kamboja dan Etiopia sehingga total mereka mempunyai enam anak. Dan Brad Pitt mengatakan:  

"Anak-anak (kandung)* saya akan tumbuh menjadi manusia yang paling mengerti tentang siapa dirinya, bagaimana isi dunia dan beragam agama yang ada" - People, September 2014.


Kepustakaan:
  • PK dan Menertawakan Keberagaman, Gunawan Raharja, Harian Kompas Edisi Selasa, 12 Mei 2015
  • Pi-Kai, Goenawan Mohamad, Majalah Tempo Edisi Senin, 2 Februari 2015.

Catatan:
* Kata dalam kurung dari saya 

 

,Film PK memberikan keleluasaan wacana di antara berbagai persoalan keberagaman agama di India. Bagaimana PK bertemu dengan tokoh agama bernama Tapasvi-Ji (yang diperankan oleh Saurabh Shukla) yang menjadi pusat konflik film ini, beradu pendapat tidak untuk mencari siapa yang benar, tetapi demi mengedepankan berbagai pertanyaan sekaligus jawaban yang menarik. PK memberi istilah salah sambung terhadap berbagai interpertasi eksistensi Tuhan. Menurut dia, agama dan Tuhan tergantung kepada siapa yang menginterpertasikannya, dalam hal ini para tokoh agama.

Copy and WIN : http://ow.ly/KNIC