Minggu, 16 November 2014

The Truman Show (1998)

Diluar kebiasaan yang kerap saya lakukan -saya menulis catatan kecil sebagai hasil permenungan menikmati film persis ketika film itu baru selesai saya saksikan- The Truman Show saya saksikan di hampir penghujung tahun 2013 lalu, namun baru kini di penghujung tahun 2014, saya terdorong kembali untuk menuliskannya.

Dorongan tersebut lahir ketika saya sedang membaca buku Dari Mao ke Marcuse (2013) karangan Romo Magnis-Suseno. Buku yang isinya tidak saya baca secara berurutan dan yang saya dapatkan dari seorang penjual buku di Surabaya tersebut terdiri dari sembilan bab dimana pada bab 7 nya berisi tentang Revolusi Kebudayaan menurut Nabi baru gerakan kiri; Herbert Marcuse.

Jadi, Marcuse lah yang menarik saya pada The Truman
Show…

Siapa Marcuse?
Herbert Marcuse lahir di Berlin-Jerman tanggal 19 Juli 1898 dan tutup usia di Starnberg-Jerman tanggal 29 Juli 1979. Pada usia 18 Tahun Marcuse menjalani wajib militer dengan Angkatan Bersenjata Jerman, namun Ia tidak pernah benar-benar terlibat dalam peperangan karena Marcuse menghabiskan kurun waktu wajib militernya dengan bekerja di kandang kuda di Berlin selama Perang Dunia I. selama Perang Dunia ke-II, Marcuse kemudian bekerja untuk U.S. Office of War Information (OWI) dengan fokus garapan pada Anti Propaganda NAZI di Amerika Serikat setelah ia bermigrasi kesana pada usia 36 Tahun. Usia 45 Tahun, Marcuse lantas bekerja di Office of Strategic Services (OSS) yang dikenal sekarang sebagai Central Intelligence Agency (CIA).

Namun, bukan keterlibatan nya sebagai pelopor CIA yang membuat Marcuse kondang, Marcuse yang sampai ketelinga saya adalah Marcuse sebagai intelektual kiri dengan buku seksi One-Dimensional Man-nya yang terbit pada tahun 1964.

One-Dimensional Man yang kemudian pada tahun 2000 diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Manusia Satu-Dimensi oleh Penerbit Buku Bentang (Jogjakarta) bertutur tentang masyarakat modern yang memarginalkan dimensi negatif. Menurut Marcuse, dalam sebuah masyarakat selalu ada dua dimensi yakni Dimensi Afirmatif dan Dimensi Negatif.

Dimensi Afirmatif terdiri atas semua unsur yang membenarkan dan mendukung sistem kekuasaan yang bersangkutan, sedangkan Dimensi Negatif terdiri atas unsur-unsur yang menentang struktur-struktur masyarakat mayor dan karenanya ingin mengubah sistem kekuasaan yang ada.*

Pemarginalan Dimensi Negatif inilah yang ditentang habis oleh Marcuse, Marcuse lebih lanjut menjelaskan bahwa Dimensi Negatif dimarginalkan dengan cara “mengintegrasikan” seluruh unsur-unsur dari Dimensi Negatif kedalam unsur-unsur Dimensi Afirmatif. “Pengintegarisian” tersebut dilakukan dengan “memanipulasi” dua nilai khas masyarakat modern yakni “rasional” dan “bebas” melalui teknologi.**

Sebagai contoh “hasil manipulasi” yang saya maksudkan diatas, masyarakat menjadi latah ingin membeli barang apa saja yang dilemparkan ke pasar. Misal, Apabila Ia mampu membeli mobil paling baru-paling mahal maka spontan Ia akan merasa paling bermartabat. Apabila ia mampu membeli parfum dengan merk tertentu maka spontan Ia akan merasa paling percaya diri. “Perasaan-perasaan” pembeli ini kemudian diamini oleh mayoritas masyarakat karena dipandang rasional dan bebas dengan ucapan-ucapan seperti “wajar, masuk akal saja karena ia punya uang dan mampu membelinya,” atau “kalau dia memang mampu, ya terserah saja mau dibelikan apa.”

Kesadaran-kesadaran seperti inilah yang dianggap rasional oleh masyarakat mayor,  padahal menurut Marcuse kesadaran ini adalah “kesadaran palsu” dan karenanya sebenarnya justru “irasional.” Untuk mengembalikan kesadaran tersebut kembali kedalam fitrahnya, Marcuse akhirnya menghimbau untuk melakukan the great refusal” atau “penolakan agung.”

“Penolakan agung” adalah penolakan heroik seseorang untuk ikut dalam sistem, penolakan itu heroik karena dilakukan sendirian, karena penolakan itu juga berarti menolak menikmati sekian kenyamanan “yang tak perlu.”***

Pada titik ini, akhirnya saya sampai dan ingin menunjukkan peran pasar yang melakukan pen-dikte-an kesadaran masyarakat menjadi “Manusia Satu-Dimensi” melalui teknologi yang membuat seolah-olah sepertinya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan adalah kebutuhan rasional.

“Teknologi yang seperti apa? The Truman Show akan memperlihatkannya pada kita.

Apa itu The Truman Show?
The Truman Show merupakan film satire besutan alumnus fakultas hukum Universitas Sydney; Peter Weir yang dirilis tahun 1998 lalu.

The Truman Show dibuka dengan kata-kata:
“Kami sudah bosan menonton aktor yang memberikan emosi palsu, kami lelah dengan kembang api dan efek-efek khusus, sementara dunia yang ia diami sebagian palsu.”

Dilanjutkan dengan kata-kata:
“Tak ada yang palsu tentang Truman. tak ada skrip, tak ada papan contekan”
Dari dua kalimat diatas, terlihat bahwa orang sudah jemu dengan sebuah film yang memberikan emosi palsu melalui aktornya. The Truman Show kemudian mencoba menyajikan film yang berbeda dengan mengandalkan keaslian emosi aktornya yakni Truman Burbank. The Truman Show menampilkan realita kehidupan Truman Burbank 24 jam sehari non stop selama berbulan-bulan selama bertahun-tahun. Sang aktor sendiri –Truman Burbank- tidak mengetahui bahwa dirinya sedang dijadikan aktor dan disiarkan melalui televisi kepada masyarakat. Dari tempat tidur, tempat kerja, tempat parkir, toilet, mini market, dan tempat apa saja yang dikunjungi Truman terpasang kamera-kamera.

Bahkan, The Truman Show sudah dimulai ketika hari kelahiran Truman Burbank sebagai manusia. Jadi disini tak ada perbedaan antara kehidupan pribadi dengan kehidupan publik.

Truman Burbank (diperankan oleh Jim Carrey) adalah seorang manusia seperti manusia umumnya dengan aktivitas hidup normal: bangun dipagi hari, meminum kopi, bekerja, pulang menjelang sore, bersama istri dimalam hari, bangun kembali pada pagi keesokan harinya, begitu seterusnya.

Namun yang tidak diketahui Truman dalam aktivitas normalnya bahwa semua hanyalah rekayasa: Istri, teman sekantor, dan lain sebagianya. Yang juga tidak diketahui Truman adalah bahwa kebutuhan-kebutuhan yang mengisi hidupnya semenjak ia kecil: popok bayi, makanan, baju, mobil, dan lain sebagainya adalah kebutuhan dengan merk dagang yang disuplai oleh perusahaan-perusahaan yang menjadi sponsor dalam The Truman Show.

Alhasil, apa yang menjadi kebutuhan Truman juga menjadi kebutuhan masyarakat yang menontonnya melalui televisi.

Truman Burbank mempunyai “kesadaran palsu” akan kebutuhan yang diperlukannya karena asasinya kebutuhan tersebut diciptakan oleh perusahaan dagang yang menjadi sponsor The Truman Show. Masyarakat yang menyaksikannya –yang sebenarnya mengetahui dengan persis bahwa Truman Burbank hanyalah aktor- justru mengamini kebutuhan-kebutuhan tersebut karena The Truman Show ditayangkan selama 24 jam sehari non-stop selama berbulan-bulan bertahun-tahun.

…. dan akhirnya terciptalah “Manusia Satu-Dimensi” sebagaimana disebutkan Marcuse.

Bagaimana Jika Marcuse dan The Truman Show
Disatupadukan?
Masyarakat yang konsumtif tanpa ada jalan keluar dan pesimisme malu-malu dua kali.

Begitulah kira-kira hasilnya jika Marcuse dan The Truman Show disatupadukan, Marcuse dalam One-Dimensional Man memang mempunyai analisis yang sangat tajam untuk menunjukkan bagaimana proses peralihan kesadaran masyarakat untuk menjadi “rasional” menurut ukuran mayor, namun Marcuse tidak melanjutkan analisisnya lebih jauh jika manusia melakukan “penolakan agung” apakah ia akan mempunyai mobil misalnya, begitupun dengan The Truman Show, meski Truman Burbank yang diakhir kisah diceritakan akhirnya mengetahui bahwa ia hanyalah aktor, The Truman Show tidak meneruskan ceritanya lebih jauh mengenai kehidupan Truman pasca ia meninggalkan kehidupan “normal” dengan kamera, The Truman Show hanya ditutup dengan senyuman Truman dan hiruk pikuk penonton khas seseoang yang menempuh jalan hidup secara heroik.

#

Pelaihari, 16 November 2014

Catatan:
(*), (**), (***), Franz Magnis-Suseno, Dari Mao ke Marcuse, 2013, Gramedia.

Senin, 13 Oktober 2014

The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro (2014)



Soundtrack sekuel kedua dari The Amazing Spider-Man ini tidak “sekeren” pendahulunya. Jika pada seri satu kita bisa mendapati “suara tenor” nya Christopher Anthony John Martin dalam ‘Til Kingdom Come, Rise of Electro bagi saya tidak memberikan kesan apa-apa, sebagai seorang komposer film yang telah beberapa kali memenangi dan menjadi nominasi Academy, Grammy, Satellite dan Golden Globe Awards, Hans Zimmmer terlalu hambar. “…I Feel Disappointed” ujar soundtrackgeek.com; sebuah situs yang mengkaji film scores dan mereviews soundtrack.

Disamping hambar dalam musiknya, Rise of Electro juga dangkal dalam segi cerita. Alex Kurtzman dan Roberto Orci, menulis ulang cerita dengan tafsiran yang hanya cocok untuk dinikmati anak sekolah menengah pertama, padahal superhero tentu tak hanya milik mereka. Anda bayangkan saja, sebuah cerita monoton dengan rentetan adegan kehebohan teknologi, dialog yang tidak layak diingat, dan tokoh lebay yang tidak natural. Oh.. God! Groucho Marx benar ketika menyatakan televisi sangat mendidik, sebab ketika dinyalakan, akan membuat orang pergi keruangan lain untuk membaca buku.

Singkat kata, Spider-Man (masih diperankan Andrew Garfield) mempunyai dua musuh baru; Green Goblin (Dane DeHaan) dan Electro (Jamie Foxx), dan keduanya berhasil dikalahkan. Disini, saya tertarik untuk mengkaji Electro a.k.a. Max Dillon ketimbang Rise of Electro, dan saya lebih tertarik lagi untuk mengaji Max Dillon sebagai sesosok manusia daripada Electro.

Seperti diceritakan, Max Dillon adalah seorang teknisi listrik culun yang bekerja pada Oscorp Industries. Dengan selera berpakaian yang begitu buruk, mestinya Max mudah diingat oleh rekan sekantornya, akan tetapi justru sebaliknya; Max di-Abai-kan (dengan “A” besar), bahkan ketika Max mengalami dan menjadi korban kecelakaan yang menyebabkan ia berubah menjadi Electro. File data pribadinya dihapus, kejadiannya dirahasiakan, dan semua kembali berjalan normal.

Salah satu diantara sangat-sangat sedikit kejadian menarik; di Oscorp Industries, tanpa disengaja Max berada satu Lift dengan Gwen Stacy (Perempuan Peter Parker, diperankan Emma Stone), Max ingin ke lantai 74 dan Gwen ke lantai 63. Lantas, terjadilah percakapan berikut:
Max : “Aku Max, Max Dillon”
Gwen : “Aku Gwen”
Max : “Senang bertemu denganmu”
Gwen : “Sekarang hari ulang tahunmu?” (melirik keselebaran yang dibawa Max)
Max : “Oh, ya. Teman-temanku membuat selebaran ini. Aku merayakan ulang tahunku di klab besar”
Gwen : “Wauw..”
Max : “Aku ingin mengundangmu, tapi daftar tamunya sudah penuh”
Gwen : “Oh, aku paham. Tapi, terima kasih banyak”
Max : “Pasti keren dilihat seluruh dunia seperti itu” (melihat siaran televisi didalam lift)
Gwen : “Spider-Man menolong?
Max : “Spider-Man pernah menyelamatkan ku sekali. Dari semua orang di kota ini, dia menyelamatkan…. Diriku. Dia bilang membutuhkan ku.
Gwen : (pintu lift terbuka) “senang bertemu denganmu, Max”
Max : (kaget) “Tunggu, dia mengingat namaku.”
Bagi saya, percakapan diatas menunjukkan beberapa hal, yakni:
  • Bagi orang yang terpinggirkan, berbohong dengan cara yang bombastis adalah sebuah kewajaran
  • Max adalah orang yang benar-benar terabaikan, ia senang bukan kepalang ketika Gwen mau mengingat namanya, seperti sebuah keajaiban. 
  • Max mencari pengakuan atas eksistensi dirinya melalui kebutuhan orang lain atasnya.
Dari situasi sikologis yang dialami Max, setidak-tidaknya akan memunculkan dua kondisi yakni yang pertama, Max akan menjaga keras kebutuhan –juga bisa dibaca sebagai kepercayaan- orang lain atasnya (lihat bagian dalam Rise of Electro, ketika Spider-Man dan Harry Osborn menyatakan membutuhkan Max, dampaknya Max menjadi seorang spidey fanaticism dan Max memutuskan untuk berkolaborasi dengan Harry), dan yang kedua, jika kepercayaan tersebut kembali direnggut darinya, maka Max tidak lagi menjadi Max, tapi sebagai Electro absolut (lihat bagian ketika Electro yang awalnya masih mempunyai sifat-sifat Max merasa dikecewakan oleh Spider-Man, dampaknya sisa-sisa sifat Max memudar, yang ada hanyalah kebrutalan Electro).

“Kebrutalan,” hanya itulah yang kita dapat dari “pengabaian,” jauh sebelum Rise of Electro (2014), pada tahun 1999; didepan William Jefferson Clinton dan anggota kongres, filsuf serta aktivis politik kelahiran Rumania; Eliezer Wiesel menyampaikan pidato legendarisnya mengenai betapa memikat dan berbahayanya pengabaian.

Saya kutipkan disini: “akan lebih muda jika kita memalingkan wajah dari para korban, agar kita bisa terus bekerja, bermimpi, dan berharap. Lagipula, rasanya janggal untuk terlibat dalam penderitaan orang lain. ….tapi, normalkah kita ketika kita menikmati hidangan kalkun lezat dan segelas anggur, sementara lingkungan disekitar kita mengalami pergolakan yang mengerikan?”

Saya berandai-andai, jika saja para pegawai Oscorp Industries mengetahui pidato Elie, Max tentu akan tetap menjadi Max, dan jikapun Max telah menjadi Electro, saya yakin ia tetap akan mati dan dikenang sebagai Max Dillon.

**
Pelaihari, 13 Oktober 2014

Sabtu, 11 Oktober 2014

Nothing But The Truth (2008)

“Dalam hidup, semua hal mempunyai alasan…”  

kalimat itulah yang langsung melekat kuat ketika saya menamatkan film besutan pria lulusan Akedemi Militer Amerika Serikat kelahiran Israel, Rod Lurie. Selain menulis dan menyutradarai film, Lurie juga menulis buku Once Upon a Time in Hollywood: Moviemaking, Con Gomes, and Murder in Glitter City yang terbit tahun 1995 lalu.

Film ketiga dari empat film Lurie ini -The Contender (2000), The Last Castle (2001), Nothing But The Truth (2008), dan Straw Dogs (2011)- diplot secara sederhana dengan alur yang sebenarnya tidak terlalu luar biasa namun sukar ditebak dan anda akan terkejut dibagian akhirnya. Hal-hal yang lalu lalang dikehidupan sehari-hari semisal prinsip, tanggung jawab, konsekuensi, integritas, hukum, keamanan negara, seks, atau selera berpakaian dibungkus dan diceritakan kembali oleh Lurie dalam Rachel Armstrong (diperankan Kate Beckinsale); seorang reporter perempuan yang setiap hari selasa mempunyai kolom di Harian Capital Sun Times.

Saya ingin memulai adegan film ini dari sebuah bus, dan lalu lapangan sepakbola yang digunakan Allison Van Doren (Kristen Bough). “well, tak ada yang suka bertahan” kata Rachel pada Erica Van Doren (Vera Farmiga) yang tengah asik melihat anaknya; Allison, bermain bola. “Bisa kita bicara berdua?” lanjut Rachel, “Ya tentu, aku hanya khawatir jika dia melihatku pergi” sambung Erica. Dari percakapan inilah apa yang hendak dikisahkan Nothing But The Truth dimulai, Rachel bertanya pada Erica apakah ia agen CIA yang menjalankan misi mencari fakta di Venezuela terkait upaya pembunuhan atas Presiden Lyman.

Lyman setidaknya ditembak dengan tiga kali tembakan, dan tiga minggu kemudian –sebagai respon Lyman atas laporan CIA-  pesawat tempur Amerika menyerang pangkalan udara Venezuela.

Hal yang mengejutkan, berdasarkan “sumber” yang diperoleh Rachel, Erica adalah agen CIA yang menulis laporan yang menyatakan bahwa Venezuela tidak bertanggung jawab atas tiga kali tembakan terhadap Presiden Lyman. Artinya, peristiwa buruk jika warga Negara mengetahui bahwa pemerintahnya menggerakkan pesawat tempur berdasarkan angan-angan.
dan, Rachel Armstrong memberitakannya….

Tapi saya tak akan tergoda untuk terlalu jauh bercerita, yang menarik bagi saya adalah bagaimana “nalar” yang bekerja dibelakangnya sehingga “semua menjadi tampak benar” jika Nothing But The Truth dilihat dari kacamata Rachel, Ray Armstrong (Suami Rachel, diperankan David Schwimmer), dan Patton Dubois (Jaksa Khusus Negara yang ditunjuk untuk menyelidiki kebocoran Laporan Erica, diperankan oleh Matt Dillon).

Nalar bagi Patton Dubois adalah nalar bayani, nalar bagi Ray adalah nalar burhani, dan nalar bagi Rachel adalah nalar irfani. Trilogi nalar -dipopulerkan cendikiawan muslim Maroko; Abid al-Jabiri (1936-2010)- ini lah saya gunakan untuk menyigi nalar yang bekerja pada Nothing But The Truth.

Saya bisa bayangkan, betapa kacaunya jika Nothing But The Truth dijalankan dengan patron yang berbeda, misal tokoh Ray dengan basis nalar burhani, diganti dengan Ray berbasis nalar irfani, yang justru akan menjadi korban adalah Timmy Armstrong (anak laki-laki dari Ray dan Rachel, diperankan Preston Bailey) yang akan tumbuh besar dengan ibu yang sedang di Penjara. Tentu saya tidak menyarankan agar setiap suami menyelingkuhi istrinya yang sedang depresi di penjara, tapi apa yang dipilih Ray adalah pilihan Ayah yang rasional yang memikirkan masa depan Timmy tanpa perlu AXA Mandiri.

Dubois yang bekerja berdasarkan teks tertulis, dan kaidah-kaidah hukum, tidak mungkin diganti dengan Dubois yang bekerja atas dasar intuisi/Zdauq, jika dipaksakan tentu Rachel akan bebas dan menjadi contoh buruk bagaimana begitu mudah dan tidak terselesaikannya gangguan atas stabilitas Negara. Begitu pun dengan Rachel yang menggunakan nalar irfani, jika diganti dengan katakanlah Rachel dengan nalar burhani, maka Nothing But The Truth sebagai sebuah film akan selesai dalam durasi waktu hanya kurang lebih empat menit dua puluh satu detik.

Dari dua paragraf diatas, terlihat bahwa kelangsungan Nothing But The Truth sangat ditentukan oleh kesesuaian dari tiga nalar yang bekerja dibelakangnya dengan sepengetahuan dan ukuran yang ditetapkan oleh Lurie. Semua mempunyai peran, semua mempunyai arti, dan semua mempunyai alasan masing-masing. Mengibiri salah satunya adalah hanya sebuah kebodohan. Rod Lurie tak sendirian disini, al-Qamar ayat ke-49 menyatakan “sesungguhnya, kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

Apa arti sebuah “ukuran” atau lebih tepatnya sampai sejauh mana “ukuran” tersebut?

Meski Albert Burnside (pengacara Rachel, diperankan Alan Alda) sudah berkata manis, saya kutipkan disini: “karena aku membela Rachel Armstrong, bukan sebuah prinsip” dan “mulanya, aku piker Rachel dan Prinsip adalah dua buah bagian, tapi ternyata ia satu,” bagi Lurie, ukuran sudah ditetapkan, dan ukuran itu ada pada durasi satu jam tiga puluh enam menit tiga puluh tiga detik ketika Rachel memutuskan untuk berbicara dengan Albert.

Albert Burnside memang seorang yang mengerti kata-kata untuk diingat, ia berujar “seseorang bisa menjalani kehidupan yang baik, menjadi terhormat, dan berbuat amal, …tapi pada akhirnya, jumlah orang yang datang pada pemakamannya umumnya tergantung pada cuaca.”

**
Pelaihari, 11 Oktober 2014