Senin, 23 Juli 2012

Menyigi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 Tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan


Andra Eka Putra
 
***“… Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku semuanya” masih ingatkah pembaca dengan lirik lagu tersebut? Ya, lirik lagu Indonesia Raya. Jika sudah demikian bagaimana jika pertanyaan awal tadi penulis ganti dengan masih bermaknakah lirik lagu tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini maka penulis ingin mengajak pembaca terlebih dahulu untuk meresapi “nilai” yang ingin dikemukakan oleh W.R. Supratman selaku pencipta dari lirik lagu tersebut. Jika memperhatikan susunan kata pada lirik Indonesia Raya dimana Supratman memulainya dari tanah, negeri, bangsa, dan kemudian rakyat maka secara sederhana “Nilai dasar” itu adalah “jika ingin menghidupi rakyatmu, hidupilah terlebih dahulu bangsamu, jika ingin menghidupi bangsamu hidupilah terlebih dahulu negerimu, dan jika ingin menghidupi negerimu hidupilah terlebih dahulu tanahmu”, menghidupi tanah sama halnya dengan menghidupi rakyat: itu poin pentingnya.

Dari data yang ada, rupa-rupanya tanah di Indonesia tidak “hidup”, Sampai tahun 2005 saja dari hasil penelitian Sallamudin Daeng dkk dalam bukunya “SBY Mundur: Pertanggungjawaban Politik Pemuda Indonesia” (2011) mencatat bahwa 90% dari luas total tanah diseluruh Indonesia dialokasikan untuk kepentingan penanaman modal asing, jadi patut ditulis dengan kondisi tanah Indonesia yang tidak “hidup”  maka kecil kemungkinan rakyat Indonesia dapat “hidup.” Namun penulis disini tidak ingin terlalu jauh berada di (katakanlah) ranah “apresiasi sastra”, oleh itu maka penulis ingin menggiring pembaca ke ranah akar fundamen-nya yaitu apa yang sesungguhnya menjadi penyebab tanah di Indonesia tidak “hidup”.

Sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 1 ayat (3) Konstitusi kita bahwasanya Negara kita adalah Negara Hukum, maka produk hukum yang sangat erat kaitannya dengan pemaparan diatas adalah UU RI No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang kemudian mengacu pada Teori Jenjang Norma Hukum Hans Nawiasky dan Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka penulis kerucutkan kembali menjadi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan.

Bagian Peraturan Daerah (Perda) inilah yang ingin penulis kaji dengan melakukan tinjauan secara umum yang mana tulisan ini nantinya juga merupakan sebuah surat terbuka bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

***
Sebagaimana telah diketahui luas, Peraturan Perundang-undangan umumnya dibagi menjadi tiga muatan, yaitu (1) Bagian menimbang, (2) Bagian mengingat, dan (3) Bagian memutuskan-menetapkan. Secara sederhana bagian menimbang (juga biasanya disebut konsiderans) merupakan bagian yang berisi pertimbangan aspek filosofis, aspek sosiogis, dan aspek yuridis dibuatnya peraturan perundang-undangan, bagian mengingat merupakan dasar hukum, dan bagian memutuskan-menetapkan merupakan hasil akhir yang mana menjadi keputusan untuk kemudian ditetapkan dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dari definisi sederhana tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bagian fundamental dari sebuah peraturan perundang-undangan terletak pada bagian “menimbang” karena pada bagian inilah yang menjelaskan latar belakang atau tujuan dari kenapa suatu perundang-undangan tersebut dibuat.

Berangkat dari kontruksi logika diatas, maka latar belakang atau tujuan dari dibuatnya Perda Prov. Kalsel No. 10/2010 dapat dilihat dibagian menimbang pada Perda tersebut yang mana secara tegas disebutkan (penulis kutip utuh):
a.    Bahwa dalam rangka meningkatkan penanaman modal guna mendukung pembagunan perlu diciptakan suatu kondisi yang menjamin kepastian hukum, kemudahan pelayanan dan perizinan kepada para penanam modal;
b.    Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 176 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah, diperlukan landasan yuridis sebagai pedoman pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal kepada masyarakat dan/atau penanam modal di daerah dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah;
c.    Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan;

Dalam kacamata penulis, bagian “menimbang” dari Perda Prov. Kalsel No. 10 tahun 2010 ini cendrung bersifat “kontroversial”, kenapa demikian? karena dari 3 (tiga) poin yang disebutkan diatas tidak ada satu patah katapun yang menyinggung tentang kesejahteraan masyarakat. Tidak seperti umumnya Perda-Perda Penanaman Modal Provinsi lain semisal Perda Provinsi Jawa Tengah No.7 Tahun 2010 yang mana pada bagian menimbangnya (poin a) secara jelas mencantumkan “…kesejahteraan masyarkat” atau juga indukan dari Perda-Perda Provinsi tentang Penanaman Modal tersebut yakni UU RI No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana bagian menimbangnya (poin a) menyebutkan “…untuk mewujudkan masyarkat adil dan makmur.”

Baik UU RI No. 25 Tahun 2007 atau Perda Provinsi Jateng No. 7 Tahun 2010 tadi sama-sama dilatarbelakangi dan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dan atau untuk kesejahteraan masyarakat, sementara pada Perda Provinsi Kalsel No. 10 tahun 2010 hal tersebut tidak disebutkan secara jelas dan yang disebutkan justru hanya (poin a) “…guna mendukung pembangunan.”

Memang, jika mengacu pada UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU tersebut tidak mengatur atau mewajibkan pencantuman kata “kesejahteraan, adil, maupun makmur” pada bagian “menimbang” secara eksplisit, namun sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 5 UU yang sama maka Peraturan Perundang-undangan harus dibentuk berdasarkan Kejelasan Tujuan. Artinya dibentuknya Peraturan Perundang-undangan tersebut haruslah jelas bertujuan untuk apa dan untuk siapa?

Jadi, kembali kepada Peraturan Daerah Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan yang tidak mencantumkan “kesejahteraan masyarakat” sebagai tujuan dan hanya mencantumkan “penanam modal guna mendukung pembangunan”  maka pertanyaan penting selanjutanya adalah apakah pembangunan koheren dengan kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting dikemukakan karena bisa saja ada argumen yang menyatakan pembangunan tentu terotomatisasi langsung akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat. Oleh itu maka bagian berikut dari tulisan ini akan mengkaji hal tersebut.

***
Dewasa ini, setelah (katakanlah) “keruntuhan” faham-faham kiri, sadar atau tidak sadar maka ilmu pengetahuan cendrung diproduksi, dikontruksi serta dimonopoli oleh faham kanan, pun tidak terkecuali dengan teori pembangunan yang menjadi aspek bahasan, ketimpangan wacana global ini menyebabkan dikeberinya teori pembangunan kiri semisal neo-marxisme serta diinjeksikannya “penyebaran bibit” teori-teori pembangunan kanan semisal neo-klasik yang digawangi oleh Hicks dan utamanya Milton Friedman yang barang tentu berimplikasi langsung pada “tumbuh suburnya pohon-pohon” kapitalisme, “bibit subur” itu tumbuh diantaranya dalam teori pembangunan W.W. Rostow yang sekarang sedang awam digunakan.
Rostow menyatakan tahapan-tahapan dalam pembangunan dibagi menjadi lima tahapan yaitu: (1) Masyarakat tradisional (2) Prakondisi tinggal landas (3) Tinggal landas (4) Pematangan, dan (5) Konsumsi massa yang berlebihan (Kevin P. Clements, Teori Pembangunan: Dari Kiri ke Kanan, 1999).

Dari sini, nanti kita akan menemukan “benang merah” antara teori pembangunan Rostow dengan logika umum pembangunan di Indonesia umumnya tak terkecuali logika pembangunan yang juga terdapat dalam Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010.

Oleh itu, berangkat dari pembagian lima tahapan dalam pembangunan oleh Rostow tadi, maka indikator yang digunakan untuk mengukur sudah sejauh mana tahapan pembangunan adalah konsumsi masyarakat. Artinya semakin tinggi konsumsi masyarakat maka dipandang sebagai semakin meninggi pula tahapan pembangunan yang telah dicapai. Nah, untuk meningkatkan konsumsi masyarakat tersebut maka diperlukan kebutuhan akan investasi atau penanaman modal. Disinilah kemudian yang menjadi “benang merah” antara teori pembangunan Rostow dengan logika umum pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia – Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini tercermin secara jelas misal dalam Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 dimana penanaman modal digunakan untuk mendukung pembangunan. Dan kemudian terkait dengan pertanyaan sebelumnya yakni apakah pembangunan (yang menjadi latar belakang Perda Prov. Kalsel No. 10 tahun 2010) koheren dengan kesejahteraan masyarakat maka rupa-rupanya implikasi dari penggunaan “logika pembangunan Rostow” tadi alih-alih mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun justru malah memunculkan membengkaknya pengangguran, kemiskinan serta ketimpangan pendapatan.

Apa sebab? karena konsekuensi* (*bagian inilah yang sangat jarang diwacanakan secara “sehat” kepada publik, karena “dibatasinya” akses pengetahuan sebagai wujud monopoli pengetahuan faham kanan: neo klasik, strukturalis, etc) dari logika pembangunan Rostow ini berorientasikan kepada Pendapatan Per Kapita masyarakat (lanjutan dari konsumsi masyarakat) yang barang tentu akan sangat erat sekali kaitannya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pada titik inilah kemudian kita mengenal apa yang dinamakan strategi pertumbuhan.

Dengan menerapakan strategi pertumbuhan yang terlalu menekankan kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka pilihan pembangunanpun tentunya akan lebih diorientasikan kepada sektor-sektor yang mempunyai peluang kemungkinan lebih besar untuk menghasilkan output yang lebih tinggi, efisien dan juga massal. Hal ini terbukti misal pada Pasal 8 ayat (2) Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 dimana disebutkan “…diarahkan pula kepada bidang-bidang usaha prioritas atau usaha unggulan.” Problemnya adalah definisi dari apa itu usaha prioritas atau usaha unggulan tidak dijabarkan secara jelas pada Pasal 1 yang menjadi ketentuan umum Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010. Dengan tidak dibikinnya garis definisi yang tegas maka usaha prioritas atau usaha unggulan tersebut akan menimbulkan “multitafsir” yang oleh karena itu jika usaha prioritas atau usaha unggulan tersebut dihadapkan pada pilihan pembangunan padat modal atau pembangunan padat tenaga kerja maka barang tentu pembangunan padat modal-lah yang menjadi prioritas karena pada karakter pembangunan jenis ini penggunaan tekhnologi lebih diutamakan dan juga umumnya menghasilkan output yang lebih besar, serta lebih efisien.

Pilihan pembangunan padat modal pada kenyataannya memang ampuh untuk menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang “spektakuler”, namun pada kenyataannya juga justru jenis karakter pembangunan yang seperti inilah yang menimbulkan membengkaknya pengangguran oleh karena tidak terserapnya tenaga kerja (teknologi lebih diutamakan). Dari titik krusial ini (baca: pengangguran) maka pada akhirnya akan menghasilkan “kemiskinan individu” dan membentuk masyarakat daerah domisili penganggur, disisi lain individu-individu penanam modal dan masyarakat perkotaan semakin intensif mendapatkan akumulasi keuntungan. Pola seperti inilah yang menjadi aktor utama dalam menggali jurang daerah maju (kota) yang semakin kaya sementara daerah terbelakang (desa) semakin tertinggal, menimpangkan pendapatan masyarakat dimana si-kaya akan semakin kaya dan si-miskin akan semakin miskin, atau -meminjam istilah Karl Marx- menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia oleh manusia”: la’exploitation de la’homme per la’homme.

Oleh itulah jika yang dimaksudkan Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 mengenai mendukung “pembangunan” itu (tapi) mengacu pada logika umum pembangunan diatas, maka bisa dikatakan jawaban dari apakah ada kekoherenan antara pembangunan dengan kesejahteraan masyarakat tidak mutlak ada. Dan jika sudah demikian, patutlah kiranya masyarakat mempertanyakan apakah “motif” yang melatarbelakangi dan atau menjadi tujuan dari pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 Tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan ini. Patutlah kiranya Pemerintah – Pemerintah Daerah dalam membentuk sebuah Peraturan Perundang-undangan murni mempunyai “tujuan” untuk mensejahterakan masyarakatnya, karena logika dasar kenapa kita ber-Negara adalah tentu dus untuk sejahtera.

Sebagai “mistar” bagaimana harusnya “jiwa” yang dimiliki suatu Peraturan Perundang-undangan utamanya yang terkait dengan pembangunan bisa kita lihat pada Orde Lama Soekarno, semisal TAP MPRS No. II Tahun 1960 dimana bagian “menimbangnya” (poin b) secara tegas mengatakan “… untuk menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau Masyarakat Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh manusia, guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat;” Lihatlah, betapa mulia tujuan Peraturan Perundang-undanganan itu, kemana semangat “Soekarno” itu sekarang, kemana semangat “Tan Malaka”, semangat “Hatta”, semangat “Sjahrir” dan atau semangat “Pendiri Bangsa” yang lain yang menuntut Merdeka 100%,

… atau jangan-jangan nyatanya kita memang tidak pernah “Merdeka?”

***
Begitulah kira-kira langkah awal penulis dalam usaha penyigian terhadap Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 tentang penanaman modal, dimana jika diteoritiskan dan diilmiahkan ternyata pembangunan tidak selalu mesti koheren dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk itu besar harapan penulis khususnya dan masyarakat umumnya ada upaya dari Pemeritah Daerah Provinsi Kalsel untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 setidak-tidaknya dengan mencantumkan “kesejahteraan masyarakat” sebagai tujuan dan niatan awal dibentuknya Peraturan Daerah ini.

Jenuh

Izinkan Aku Gila sekali ini saja.

Senin, 16 Juli 2012

Pada Havelaar Aku Menguntit

Aku hanya bisa mengabdi dengan cara ini
Jika tuan menghendaki yang lain, maaf, Aku tak bisa
tuan.. ingatlah darah dalam uang gaji tuan

Aku hanya bisa mengabdi dengan cara ini
pun Aku tak datang dengan pikiran-pikiran yang baru
pikiran itu ada,
ia hanya terbenam dalam busuknya watak tuan-tuan

Aku hanya bisa mengabdi dengan cara ini,
sampai mati, tanpa terjebak huruf akhiran.. i

Aku hanya bisa mengabdi dengan cara ini
mengenal Kemanusian dengan cara ini
mengenal Cinta dengan cara ini
mengenal Tuhan dengan cara ini

tuan..
ahh.. Aku ingin punya wanita “Tine”
yang akan makan dan minum bersama
yang mencium air mata mengering
.... bidadari yang dijanjikan surga

tuan..
Aku hanya bisa mengabdi dengan cara ini
hidup dengan cara ini
matipun dengan cara ini

16 juli, tabik.

laki-laki api, tabik.

ia... laki-laki api, berikrar
menolak menjadi mainstream, memberontak!
beradab tanpa menjadi kaku
bebas berdasar susila
mencintai kemanusian.

ia... laki-laki api, tabik.

Liberalisasi Hilir Migas dibalik Konversi BBM dan Penghapusan Subsidi

29 Januari 2012

Per 1 April 2012 Pemerintah rencananya akan membatasi konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi (Premium) di DKI Jakarta dan akan secara bertahap juga diikuti wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Seluruh mobil pribadi ber plat hitam diwajibkan beralih penggunaan bahan bakar dari Premium ke Pertamax atau Bahan Bakar Gas (BBG).

Motif dibalik konversi dan penghapusan subsidi ini dikatakan sebagai sebuah langkah untuk penghematan anggaran Negara yang dinilai terlalu boros dalam mendanai subsidi. Oleh itu dengan diberlakukan nya penghapusan subsidi, maka penghematan anggaran subsidi yang dihasilkan dari pembatasan konsumsi premium akan memajukan pembangunan nasioanal.

Cacatkah logika asumsi diatas, atau ada motif – motif implisit lain dibalik kebijakan ini?

Hal mutlak yang harus diperhatikan dari pengimplementasian sebuah kebijakan diantaranya adalah kesiapan infrastruktur, dampak yang ditimbulkannya, apa manfaatnya dan kepada siapa manfaat tersebut ditujukan?

Maka, berkaitan dengan konteks pemberlakuan kebijakan konversi BBM dan penghapusan subsidi tadi, dampak pertama dan nyata yang timbul adalah pengalihan besar-besaran serta masif konsumsi publik dari premium ke pertamax. Pertamax seperti yang kita ketahui adalah bahan bakar ber oktan tinggi (<90) dan memerlukan infrastruktur khusus dalam proses pendistribusiannya.

Berdasarkan situs resminya (www.pertamina.com) yang dirilis pada tanggal 23 Desember 2011, untuk wilayah Jawa dan Bali Pertamina yang merupakan satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bisnis ritel BBM baru mempunyai 2.065 unit Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang menjual Pertamax dari Total lokasi 3.061 unit SPBU-nya. Sementara 700 unit SPBU Pertamina lainnya masih membutuhkan pengalihan (switching) tangki pendam ke Pertamax, serta 296 unit SPBU yang membutuhkan investasi baru guna membangun fasilitas switching tersebut. Untuk wilayah Sumatera yang terdapat 1.037 unit SPBU, baru 351 unit yang menyediakan Pertamax, 470 unit SPBU membutuhkan switching, dan 216 unit SPBU perlu investasi baru. Adapun, dari 567 unit SPBU di Kalimatan dan Sulawesi, 264 unit SPBU menjual Pertamax, 167 unit SPBU membutuhkan switching, dan sebanyak 136 unit SPBU diperlukan investasi baru.

Selain itu, untuk infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) kenyatannya masih relatif sedikit dan masih dalam tahap wacana penambahan unit. Tidak berakhir disini saja, untuk menggunakan BBG sendiri diperlukan semacam alat yang biasa disebut converter kit yang harga perunitnya mencapai 11-12 juta rupiah.

Artinya apa, dari data diatas dapat dilihat kekurangsiapan Pertamina (dalam hal ini infrastrukturnya) dalam mendukung kebijakan (tergesa-gesa) konversi BBM dan penghapusan subsidi dari Pemerintah. Namun bagaimana dengan para “Pelaku bisnis” lainnya yang juga bergerak di sektor hilir bahan bakar minyak mengingat Pertamina sekarang tidak lagi seperti Pertamina yang dulu menjadi pelaku tunggal bisnis ritel BBM di Indonesia.

Dengan diberlakukannya Undang – Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), maka pihak swasta maupun asing turut diberikan kebebasan untuk ikut berkiprah dalam bisnis Migas baik di kegiatan usaha Hulu maupun kegiatan usaha Hilir. Dalam UU 22/2001 pasal 9 ayat 1 dikatakan: “Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh : (a) badan usaha milik Negara (b) badan usaha milik daerah (c) koperasi; usaha kecil (d) badan usaha swasta.

Pasal inilah yang kemudian mengakhiri monopoli Pertamina dalam sektor hilir migas sekaligus juga menandai dimulainya era liberalisasi hilir migas di Indonesia.

Sejak tahun 2005 tercatat sudah ada tiga Korporasi asing yang menjadi pemain resmi dalam bisnis hilir migas di Indonesia. Ketiga perusahaan tersebut adalah Shell (Belanda), Total (Perancis) dan Petronas (Malaysia). Meski jumlah kuantitas unit SPBU ke tiga perusahaan asing ini tidak sebanyak jumlah unit SPBU Pertamina, namun kualifikasi SPBU yang disajikan oleh Shell, Total, maupun Petronas ini tiap - tiap unit nya didominasi hanya menyediakan bahan bakar beroktan tinggi (<90) sejenis Pertamax. Shell menjual BBM beroktan 92 dan 95 (bermerk Super R92 dan Super Extra R95), Total menjual BBM beroktan 92 dan 95 (bermerk Performance 92 dan Performance 95), Petronas juga menjual BBM beroktan 92 dan 95 (bermerk Primax 92 dan Primax 95). Kausalitasnya karena ketiga perusahaan ini berbasis spesialis penjual BBM beroktan tinggi, maka tidak ada masalah berarti bagi mereka baik segi infrastruktur distribusi serta penjualan.

Lebih dari itu, Pertamina yang belum memiliki bahan kimia untuk meningkatkan oktan bensin tentunya terotomatisasi mau tidak mau harus mengimpor bahan oktan tersebut, disinilah nantinya titik krusial permainan BBM yang akan dilakukan oleh pihak asing. Dengan posisi Pertamina yang harus mengimpor bahan tersebut, maka dengan mudah bagi pihak asing untuk mengontrol harga. Misal jika bahan oktan impor tersebut me-ninggi, konsekuensi nya maka Pertamina juga menjual Pertamax-nya dengan harga yang tinggi untuk menutupi biaya produksi bahkan tidak menutup kemungkinan harga jual Pertamax di SPBU lokal akan lebih tinggi ketimbang di SPBU asing yang menjual bahan bakar serupa. Implikasi nya tentu mengakibatkan konsumen akan lebih memilih memadati SPBU asing ketimbang SPBU bangsa sendiri.

Secara gamblang bisa dikatakan ketiga perusahaan asing inilah yang paling siap untuk menyongsong kebijakan pemerintah mengenai konversi BBM dan penghapusan subsidi.
Jadi, motif dari kebijakan 1 April 2012 ini yang pada dasarnya merupakan kompetesi nasional melawan asing secara implisit dapat dipastikan akan lebih menguntungkan korporasi asing. Yang tidak mengejutkan adalah hal ini berkaitan erat dengan kronologi sebelumnya dimana kelahiran UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas itu sendiri sangat kental unsur liberalisasinya dimana ditemukan adanya peranan lembaga asing. Telah diketahui bersama bahwa dengan lugas USAID (United States Agency for International Development) menyatakan ikut membantu dalam pembuatan UU Migas pada Oktober 2000. USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000, demikian bunyi salah satu kutipan dari dokumen tersebut (dokumen terlampir).

USAID sendiri adalah badan independen dari pemerintahan Amerika Serikat yang bertanggung jawab atas bantuan untuk bidang ekonomi, pembangunan, dan kemanusian untuk Negara – Negara lain didunia dalam mendukung tujuan – tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat (situs resmi USAID bias diakses di www.usaid.gov).

Menghadapi lonjakan harga minyak dunia yang terus berada di atas level US$100 per barel (akan mempengaruhi keseimbangan beban APBN karena subsidi negara terhadap BBM cukup tinggi), kebijakan yang diambil pemerintah justru dengan memberlakukan pengkonversian Premium ke Pertamax bukan dengan misalkan menaikkan harga Premium (tanpa mengkonversinya) atau perestrukturisasian pemberian bahan bakar minyak bersubsidi (Premium) agar lebih tepat sasaran. Yang menjadi permasalahan-kan sebenarya tidak tepatnya pengalokasian peruntukan BBM bersubsidi hingga sifatnya terkesan memboroskan anggaran Negara tanpa hasil yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi serta inefisiensi konsumsi BBM. Disinilah titik awal yang harusnya terlebih dahulu dibenahi oleh Pemerintah. Selain itu jika dikalkulasikan, biaya yang timbul akibat pemilihan opsi kedua ini pun kurang-lebih setara dengan opsi pertama. Lantas kenapa justru tetap memaksakan pengkonversian bahan bakar minyak dengan bermodal konsep tanpa mekanisme yang jelas.

Tentunya hal ini semakin menambah kecurigaan publik terhadap pemerintah yang membawa pemerintahan nya menjadi agen neoliberalisme bukan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat.

Berangkat dari kerangka asumsi diatas, bukan berarti sikap yang harus diambil adalah menolak secara keseluruhan akan adanya peran asing atau anti asing. Tidak ada yang salah dengan memberikan ruang investasi kepada pihak asing apabila memang manfaat yang dihasilkan dapat dirasakan publik atau masyarakat dan bukan untuk segelintir orang yang sibuk memperkaya diri sendiri. Tapi bila gejala dominasi asing sudah mulai muncul bahkan turut mencampuri urusan rumah tangga bangsa sendiri maka secara sehat harusnya Pemerintah bersama-sama masyarakatnya berani mengatakan tidak terhadap hegamoni asing tersebut.

Sumpah Pemuda dalam Satu Soroton: Renungan 28 Oktober

2010
Sumpah Pemuda (1928), satu titik dari lautan peristiwa kelahiran Bangsa Indonesia sepertinya semakin kabur, layu dan keriput. Padahal, delapan puluh dua tahun yang lalu, “sumpah” tersebut dapat dibaca sebagai peristiwa sakral dan transendental masyarakat indonesia umumnya serta pemuda indonesia khususnya, meski berbeda-beda akan tetapi ada semacam simpul atau kesadaran yang berbeda namun menyimpul dalam bingkai bertanah air, berbangsa dan berbahasa.

Jasmerah 
Tiga tahun sebelum itu, adalah Manifesto Politik (1925) yang menjadi tonggak awal-penting dalam pergerakan pemuda, ketika para pemuda di Indonesia masih membentuk organisasi-organisasi yang bersifat kesukuan (diantaranya Jong Ambon, Jong Java, Jong Celebes, dll), para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda telah mendirikan Perhimpunan Indonesia. Organisasi yang antara lain dipimpin oleh Moh. Hatta inilah yang secara terangan-terangan berani menamakan-menerbitkan majalah mereka Indonesia Merdeka. Dikatakan: Majalah indonesia merdeka adalah suara Indonesia muda yang sedang belajar, suara yang pada waktu ini mungkin tidak terdengar oleh penguasa, tetapi pada waktunya nanti pasti akan didengar, salah besar jika menganggap remeh suara itu sebab dibelakang suara itu terdapat kemauan besar untuk merebut kembali hak-hak, cepat atau lambat, untuk menetapkan kedudukan atau keyakinan di tengah-tengah dunia, yaitu Indonesia merdeka. Semua karangan yang diterbitkan majalah Indonesia Merdeka, kemudian sampai ke Tanah Air secara sembunyi-sembunyi dan dijadikan bahan bacaan populer oleh kalangan muda Indonesia kala itu. Dalam salah satu edisi majalah Indonesia Merdeka inilah, muncul sebuah tulisan yang dikenal dengan Manifesto 1925, manifesto yang mulai meninggalkan orientasi kedaerahan, manifesto yang kental dengan semangat revolusi prancis, manifesto yang isinya menyangkut ketegasan sikap: (1) Rakyat indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri, (2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun, dan (3) Tanpa persatuan kukuh dari berbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sulit dicapai.
Gaung manifesto-pun dengan cepat sampai ke Tanah Air. Setahun berikutnya (1926), para pemuda dari berbagai organisasi kesukuan di Indonesia dengan tekad bulat menggelar kongres pemuda I di Jakarta. Kongres diadakan di Weltevreden (sekarang Gambir) dan dipimpin Mohammad Tabrani Soerjowitjitro dari Jong Java. Dalam kongres ini Muhammad Yamin telah menyusun sebuah ikrar pemuda yang bunyinya hampir sama dengan sumpah pemuda tahun 1928 kelak. Perbedaannya hanya terletak pada sila ketiga yakni “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa melajoe”. Namun rancangan ini tidak disetujui oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa bahasa persatuan itu haruslah Bahasa Indonesia. Usulan Yamin ditolak dan peserta kongres sepakat untuk menunda penetapan sampai kongres berikutnya. Dua tahun kemudian, tepatnya sabtu 27 oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond Lapangan Banteng, rapat pertama kongres pemuda II dilaksanakan. Kongres yang diketuai Soegondo Djodjopoespito dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) ini berlangsung di tiga tempat di Jakarta yang ditutup pada tanggal 28 oktober 1982 di Gedung Kramat Raya 106. Dikongres Pemuda II inilah Yamin bersedia merubah kata “melajoe” itu menjadi “indonesia”. Dikongres ini pula untuk pertama kalinya diperdengarkan instrumental lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Soepratman. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres yang dikenal dengan sebutan Soempah Pemoeda :
Pertama.
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua.
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga.
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGDJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
Begitulah, ikrar ini kemudian menjadi patokan dari sikap yang diambil organisasi-organisasi pemuda, mereka meleburkan diri pada sesuatu yang baru. Kematangan sikap dan kebualatan nilai tercapai. Karenanya peristiwa tersebut dikenang dan dirayakan. Ikrar ini bukanlah suatu hasil perenungan kontemplatif belaka, tetapi didahului oleh pencarian, konflik dan pertentangan bahkan pengorbanan.
Makna
Teks Sumpah Pemuda yang di sebut-sebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai puisi besar itu adalah pokok pikiran yang netral. Ia (baca: Sumpah Pemuda) belum berkehendak akan kemerdekaan, ia baru menyatakan, kita adalah bangsa Indonesia dengan tanah air dan bahasa yang satu. Kalaulah ada (hasrat untuk) kemerdekaan, maka itu kemungkinan berupa tafsir bahwa Sumpah Pemuda di dalam ceruknya menghendaki Indonesia yang merdeka. “hasrat” yang tersembunyi ini membutuhkan waktu tujuh belas tahun untuk mencapai bentuknya yang sempurna. Barulah setelah itu, bangsa Indonesia benar-benar menandaskan isi jiwanya. “kami bangsa indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia... (Proklamasi 1945)”.

Bila ditelaah lebih lanjut, berbahasa satu, berbangsa satu, bertanah air satu bukanlah sekedar kata yang remeh, melainkan terkandung makna totalitas aminnya sebuah perlawanan demi kedaulatan dan martabat yang memiliki konsekuensi logis kerelaan dalam berkorban guna mencapai cita-cita bersama yaitu terbebas dari penjajahan. Visi kesatuan jelas dan bukan keterkotak-kotakan atau lebih-lebih hanya menomorsatukan kepentingan kelompok atau golongan, tidak! Sama sekali tidak. Inilah yang disebut nasionalisme yang mewujud dalam tataran identitas bersama. Nasionalisme ini merupakan kontruksi yang dibangun dan dipelihara posteriori. Maka, sebagai suatu konstruksi posteriori, nasionalisme harus dijaga-dipelihara dan ditumbuh kembangkan. Selain itu, nasion sebagai sesuatu yang imagined adalah entitas abstrak yang berisikan bayangan-bayangan, cita-cita, dan harapan-harapan bahwa nasion akan tumbuh semakin kuat dan mampu memberikan perlindungan, kenyamanan serta kesejahteraan hidup.

Sumpah pemuda telah diletakkan untuk melandasi, kemerdekaan dari penjajah asing telah direbut, bangsa telah berdiri, kompas perjalanan cita-cita bangsa telah disiapkan para pendiri negara, pandangan hidup telah disertakan, sekarang apakah semua itu telah dimaknai sesuai adanya.

Ahli Waris
Dalam konteks kekinian, Sumpah Pemuda seakan cendrung menjadi sebuah kegiatan seremonial menggembirakan yang sekaligus mengandung kecemasan, seperti “pesta demokrasi” itu, walaupun ada pesta tapi sering diiringi dengan apa yang namanya “sumbangan sukarela” atau “stiker”. Bagaimana tidak, realita yang ada sekarang perbedaan malah mulai menimbulkan gangguan, kita seolah kembali tersekat-sekat, jurang perbedaan vertikal-horizontal semakin melebar dalam banyak hal. Nilai sakral Sumpah Pemuda berubah menjadi sekedar terapi psikologis untuk menghalangi erosi kebangsaaan, inilah mengapa seremoni seakan jadi penting karena (diharapkan) mampu mendamaikan perbedaan sesuai dengan slogan: Bhineka Tunggal Ika ...hanya itu.
Meminjam kata Sophan Sophian “Nasionalisme kita sekarang di Titik Nol,” sedikit berpikir untuk bangsa, banyak berpikir untuk memperkaya diri sendiri, memperkaya kelompoknya. Pemimpin kurang (tidak) memberikan contoh, sementara generasi muda sendiri cendurung kurang (tidak) punya pengertian yang tulus tentang nasionalisme. Tidak ada lagi keyakinan Soekarno “seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia”. Di masa Soempah Pemoeda dulu, pemuda adalah mereka yang berjuang untuk mewujudkan Indonesia merdeka, mereka bertindak bukan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk ideologi, agama, partai, kelompok etnik, kelas sosial, tetapi untuk cita-cita Indonesia. Pemuda seperti inilah yang dimaksud Sir Henry Dunant ketika menyatakan sebuah negara tidak akan pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan. Pemuda yang punya will kuat meninggalkan manusia kecil untuk kemudian berkembang menjadi MANUSIA dengan awalan “M” BESAR bukan pemuda-pemudaan, atau pemuda bapakisme.
Pemuda perlu bertanya kepada dirinya sendiri, “siapakah saya?” Apakah saya seorang pemuda yang harus selalu realistis dan bersedia menerima kompromi-kompromi prinsipal dan tidak boleh punya idealisme yang muluk-muluk? Apakah saya seorang pemuda yang mesti mutlak patuh pada setiap keputusan dalam ormas saya, atau pemimpin-pemimpin saya? Apakah saya seorang pemuda yang besar dari ingar-bingar hedonisme? Ataukah saya seorang pemuda yang sedang belajar dalam hidup dan mencoba terus-menerus berkembang dan menilai secara kritis segala situasi walaupun pengetahuan dan pengalaman saya terbatas? (Siapakah saya? Soe Hok Gie, dokumentasi Dr Arief Budiman)
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwasanya setiap zaman punya generasinya sendiri, realitas-realitasnya sendiri, cita-cita dan idealisme masa kanak-kanak acap kali sering berbenturan dengan progresi hidup yang semakin serba penuh tuntuntan. Tidak jarang sebenarnya ketika seorang pemuda yang datang dengan penuh takjub pada gerbang perguruan tinggi, ia berpikir untuk memasuki dunia baru, dunia untuk membuat field work bagi kemajuan bangsa. Ambil contoh seorang mahasiswa antropologi yang datang dengan cita-cita membuat fieldwork di pedalaman Kalimantan atau Papua, seorang mahasiswa hukum yang datang dengan ide-ide yang sarat tentang rule of law. Selang waktu beberapa tahun, mahasiswa-mahasiswa tersebut akhirnya mengetahui bahwa tak mungkin ada “fieldwork” di pedalaman Kalimantan atau Papua dan harus puas dengan skripsi tentang masyarakat tukang buah-buahan di pasar, dan mahasiswa fakultas hukum mengetahui bahwa diatas hukum terdapat hukum yang tidak tertulis: uang dan garong-garong yang punya koneksi. ****

Begitulah kekuasaan, rutinitas yang seringkali membuat orang yang mendudukinya semakin hari semakin berjarak dengan cita-cita bersama. Kursi yang cendrung melenakan, seolah-olah memiliki kemampuan untuk membuat orang beranjak lupa terhadap cita-cita awal perjuangannya. Ego dan kepentingan pribadi yang dahulu berhasil dikalahkan demi kepentingan bangsa perlahan kembali bertahta. Hal semacam inilah yang menyebabkan kesejahteraan (rakyat) tidak kunjung meluas.

Untuk itu, selain will yang kuat dibutuhkan pula konsistensi yang yang tidak kalah kuat. Para pemuda, baik yang berada di lingkar kekuasaan maupun yang ditepi kekuasan harus mampu membangun komitmen untuk kemudian dipelihara agar setiap aktivitas dan langkahnya tetap digerakkan oleh idealisme dan tidak digerakkan oleh kepentingan terhadap materi.

Delapan puluh dua tahun silam, para pemuda bersumpah untuk bangsanya. Kini, bagaimana rupa kegelisahan kita memikirkan bangsa ini; atau giliran kita bersumpah untuk menjaga Soempah Pemoeda itu, mereka yang telah mewariskan sebuah bangsa bernama: Indonesia.