Sabtu, 07 April 2012

Kata ayahku Tuhan kesepian?

Alegori yang dirujuk Rumi dalam fihi ma fihi (bagian 50 dengan judul karena tak ada yang lebih indah dari-Mu, aku bawakan cermin untuk-Mu, 271), Yusuf, putra Yakub, menerima sahabat lama yang baru saja kembali dari perjalanan panjang. ketika ditanyai hadiah yang telah dibawa dari perjalanannya, sang sahabat menjawab bahwa dia mencari kemana mana hadiah untuk Yusuf, tetapi tidak mampu menemukan apapun yang sesuai karena tidak ada sesuatupun yang tidak dimiliki Yusuf. Akhirnya dia menyadari bahwa satu satunya hadiah yang pantas bagi Yusuf adalah cermin yang mampu memantulkan keindahan Yusuf. *)

*) Yusuf dikenal sebagai keindahan yang sempurna, pengejawantahan paling sempurna dari keindahan Ilahi dalam bentuk manusia. karena ketampanannya, Zulaikha istri Potiphar, jatuh cinta padanya.

Serupa dengan cerita itu, suatu ketika manusia akan ditanyai Tuhan tentang hadiah apa yang akan dibawanya dari persinggahan dunia ini. satu satunya jawaban yang mampu dibuat manusia tanpa akan meniadakan rasa kehinaan adalah menhadiahi Tuhan dengan cermin mengkilap sempurna. cermin itu akan memantulkan keindahan Tuhan yang luar biasa. cermin itu adalah hati manusia. ketika sambungan material perunggu dan lapisan karat pada hasrat dirinya dilenyapkan dari permukaan cermin hati, maka hati manusia akan mampu memantulkan keadaan Ilahi. dan tujuan Tuhan didalam penciptaan kemudian akan terselesaikan, karena Tuhan lantas akan mampu melihat pantulan diri-Nya dan mengetahui diri-Nya. (yang mengenal dirinya, yang mengenal Tuhannya, hal. 26-27)

Tuhan bersabda dalam sebuah hadis qudsi yang kerap dikutip para sufi, "Aku adalah harta karun terpendam dan ingin dikenali, maka Aku ciptakan makhluk agar Aku dapat dikenali"
(spiritualitas dan tradisi sufisme Rumi dalam yang mengenal dirinya, yang mengenal Tuhannya, hal. 20)

Tuhan memang kesepian nak, kesepian. karena itu ia butuh kamu, butuh ayah. dan jadilah kamu lewat bantuan ibumu.

-------
Pelaihari, 19 Februari 2010

Cak Imin

Begitulah biasanya para penduduk kampung rejoso, kampung kecil di jombang, jawa timur.  memanggilnya. Badannya yang hitam berbanding terbalik dengan rambutnya yang memutih, jenggot dan kumis dibiarkan tumbuh liar, kerutan wajah disana sini, kantung mata, dan kaki yang sudah tak lengkap melengkapi penampilan ke-petaniannya.
Kaki kirinya telah hilang, peristiwa ini terjadi sekitar 12 tahun lalu, sewaktu cak imin masih bekerja di surabaya sebagai kuli kopra. Penghasilan dari mem-buruh yang jauh dari pas-pasan selalu berhasil tidak mencukupi cak imin dan kawan-kawannya. Hingga sampai suatu ketika pabrik berteriak, hari itu rabu, agustus 1998 nyaring terdengar suara cak imin dan kawan-kawannya, salah satunya dari herman, pria marxisme asal bantul-yogyakarta pecinta puisi, pecinta Miyala,  dan segeralah ia mulai membacakanya,
kopi masuk gula keluar, kapuk dibeli gula dijual
semenjak pagi sudah begitu, sampai petang baru berhenti
lelah penat tidak terasa, demikian asyik menulis harta
bukan harta punya sendiri, hanya harta punya majikan
harta sendiri hanya tenaga, tenaga badan dan pikiran
kalbu pecah merasa susah, hamba buruh apa dikata
kata itu kami habisi, hamba buruh sudah berani
hidup buruh.. hidup buruh.. hidup buruh...

“hidup” sahut kawanannya yang lain ketika herman selesai membaca, dan setiap kali herman meneriakkan kata hidup, kata yang sama dengan lebih banyak gema akan selalu muncul dari kawanannya, hidup disusul hidup, begitu seterusnya. Dan dimana cak imin? Barang tentu dia dipos terdepan dan bertindak sebagai “pengawal” untuk kawan-kawannya, cak imin memang begitu, tak pernah takut, walau ia tak mengenal karya karya Miyala, Khairil, Marx sebaik herman, namun ia selalu merasa ada dorongan dari dalam dirinya, dorongan dari hati kecilnya, dorongan yang selalu membuatnya menjadi seorang berani. Dan dorongan ini pulalah yang membuatnya kehilangan salah satu kakinya, dua timah panas hinggap dikaki kirinya. Dua timah panas mahal hingga membuat cak imin tak mampu membayar harga ganti amputasi.

Begitulah 98, 1998 yang dikenal dengan jargon “tangkap” nya, cak imin cukup beruntung karena aparat tangkap mau berbaik hati melihat dua lubang di kaki kirinya, dan jika melihat bentuk kesan wajah yang jauh melebihi umurnya yang sebenarnya sudah pembawaan lahir, pastilah orang dengan mudah mengidentifikasi cak imin sebagai orang tua lagi tak berdaya. Kesan yang membuat aparat tangkap acuh tak acuh. sementara herman yang walaupun usianya saat itu sudah 43 tahun, namun akibat pita suara yang nyaring, ditambah perawakan tinggi besar hasil olahan fitnes kampung, serta kesan wajah mudanya, ditangkaplah ia oleh aparat tangkap.

“Tapi itu dulu nak,” gumam cak imin lirih kepada putra satu-satunya, “jauh dulu sebelum bapak mengenal ibumu yang dikuburan itu. Sekarang tidurlah, sudah larut, besok kamu mesti sekolah, biar bisa jadi orang berguna, sudah terlau banyak orang pintar nak” sementara foto kelurga satu-satunya yang dimiliki cak imin hanya diam memandang sedu.

********

“Allahuakbar Allahuakbar... Allahu...” suara subuh muadzin membangunkan cak imin yang baru 2 jam tidur selepas shalat malamnya. Setelah ucapan dua kali salam penanda akhir shalat subuhnya, cak imin segera membaca surat yang menjadi hati al-quran untuk dikirimkan kepada istri dan anak nya yang sudah lama meninggal. Pukul 6 dini hari, cak imin bersiap-siap pergi kesawah. Cangkul, Segelas kopi, dan 4 batang rokok berlabel sejati, menjadi bekal nya sampai kira kira matahari mulai meninggi. Diperjalanan, setelah sebelumnnya membeli satu bungkus nasi seadanya, cak imin berpas-pasan dengan sekawanan anak , “pagi cak imin” ujar salah satu anak” yang seketika itu pula dengan senyum ramah terdengar suara berat milik cak imin “pagi pagi”. Tiba-tiba salah satu anak yang lain nyeletuk “wahh.. seandainya saja dulu bung karno bukan jalan-jalan kebandung ya, tapi ke rejoso dan bertemu dengan cak imin, mungkin bukan marhaenisme yang akan kita kenal, tapi iminisme” “hahaha” tawa anak anak lainnya menyusul meninggalkan cak imin yang bingung karena tak paham, tapi akhirnya memutuskan untuk tertawa juga meski sedikit kecut.

Kopi yang tinggal ampasnya, rokok yang tinggal puntungnya, dan nasi yang tinggal bungkusnya menjadi teman si matahari yang sudah tepat diatas kepala. Bayangan seorang pria buntung dengan cangkul dipundaknya menghiasi jalan pulang yang biasanya ditempuh cak imin. Cak imin memang lebih suka mengambil jalan memutar bila pulang, meski sedikit lebih jauh, namun jalan ini mengantarnya ke pekuburan umum tempat anak laki-laki tunggal dan istrinya beristirahat. Istri yang sangat di sayanginya, istri yang pernah berprofesi sama seperti Nur Hidayah, wanita tulungagung, jawa timur, kelahiran 35 tahun silam.

Lepas maghrib, nur berdandan, lipstik tebal, pupur, naik ojek ke gunung bolo, lalu menjajakan seks. Ia tak memilih pekerjaan itu, akan tetapi suaminya, sutrisno, yang menikah dengan perempuan lain tak memberinya nafkah terutama untuk membesarkan kelima anak mereka. Film dokumenter yang dibuat ucu agustin ini memang mengisahkan kehidupan seorang pelacur. Pelacur seperti nur tak harus merasa nista. Pelacur seperti nur tak akan kita “kirim” ke neraka. Memang pelacur tak semuanya seperti nur dan nur juga tak seperi semuanya pelacur. Namun bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang hormat kepada wajah nur? Wajah seorang ibu yang mengais dari nasib untuk mengubah hidup anak-anaknya? Dengan melacur ia rata-rata mendapat Rp 30 ribu semalam, dengan memecah batu (pekerjaan nur sebelum maghrib) ia dapat Rp 400 ribu sebulan. Dengan itu ia berhasil mengirim tegar, anaknya yang berusia 6 tahun ke sebuah TK Katolik, dengan itu ia membantu hidup anak-anaknya yang lain, nur sering bilang “ mereka harus sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emaknya.” Ini contoh tentang harapan dalam hidup yang remang-remang, tegak diatas kaki sendiri.

Setelah membersihkan apa yang perlu dibersihkan di makam istrinya, cak imin lantas mengamati nisan istrinya lekat lekat, sama seperti izrail yang sedari tadi mengamatinya.

-------
Pelaihari, 2 Maret 2010

Kisah Sebuah Kipas Angin

Pukul 02.05 dini hari. Lampu-lampu diberanda depan dan dua kamar selain kamarku telah dipadamkan. Tanpa sadar sedari tadi rupa-rupanya dikamar kacauku, kipas anginku yang tak bisa lagi dikatakan barang luks yang tubuhnya penuh dengan sisa noda lengket dari mainan tempel anak-anak yang mereka biasa sebut dengan power rangers, yang kaki kurusnya sudah teramputasi hingga memerlukan rak buku sebagai penyangga, tak henti-hentinya berputar. Yahh, tak berhenti berputar sepanjang pasokan listrik PLN kita mengalir.
Usianya memang jauh lebih muda dariku, bahkan dari adikku yang masih bersekolah di sekolah dasar. “ahh, ingat adikku aku juga jadi ingat sesuatu,” akan kuceritakan sedikit. Sesuatu ini berawal disebuah sore, ketika kulihat adikku bersama teman-teman 6 tahunnya bertepuk tangan sambil meneriaki “banci...banci...banci” kepada seorang pria, ahh bukan wanita kupikir bila melihat dari caranya berjalan dan caranya berdandan, tapi setelah kulihat lebih jelas otot-otot pada betis kakinya, aku bersedia berpikir ulang. Akupun segera menghampiri mereka lalu menasehati kalau tindakan mereka itu salah karena menyakiti hati orang lain. “tapi ia kan memang banci kak” susul adikku sejurus kemudian dengan raut wajah samar-samar menantang disusul dengan raut wajah mengamini teman-temannya. “begini..begini” kataku sambil tersenyum, “sakitkah hati kalian kalau kalian diteriaki jelek berulangkali serta ditepuktangani walaupun kenyataanya kalian memang jelek” sambil kulirik adikku setengah bercanda. “kita semua sama, sederajat dan manusia hanya ada satu jenis. Jenis Manusia. Hormatilah! Jadi jangan mengejek, toh kita juga belum tentu lebih baik daripada ia” Dengan mudah mereka kujinakkan pikirku, dasar anak-anak. Tapi tak sempat lama kunikmati kemenanganku, muncul celotehan adikku berikutnya “kalau hanya ada satu jenis manusia, kenapa mereka tidak bisa hidup rukun kak? Kalau mereka semua sama kenapa mereka merepotkan diri untuk saling membenci kak?” “mmm...” kuisap rokokku agar memudahkan kinerja otakku, “nanti kalian perlahan mengerti ketika tiba saat kalian tinggalkan masa kanak-kanak kalian,” jawabku sekenanya. “dan sekarang lebih baik kalian pulang, sudah hampir maghrib, sudah waktunya kalian mandi dan berhenti bermain bukan.” setelah hanya tinggal kudapati punggung-punggung mereka aku bergumam lirih “rasa-rasanya kadang memang masa kanak-kanak lah masa yang paling normal ketimbang masa-masa sesudahnya, tapi ntahlah” sambil kuisap rokok untuk yang kedua kalinya.
Kembali ke usia kipas anginku, aku lupa persisnya, tapi seingatku dia lahir dipertengahan tahun 2007-an. Tanggal ulang tahunnya? Jangan kau tanya kawan, mengingat tahunnya saja aku repot. Tapi tak papa lah, kita sepakat saja dia berulang tahun di 13 April. Ahh kenapa kau bertanya lagi kawan? Bukankah kau juga tau kalau kebenaran objektif adalah fake, yang ada kan kesepakatan dari subjektif-subjektif yang kemudian diobjektif-objektifkan, maka sepakatlah! Negara kita negara demokrasi, demokrasi tak mengenal hitam dan putih, demokrasi hanya mengenal banyak, dan mengutip Goenawan Muhammad bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya. Jadi aku tak akan berbohong kalau aku bohong soal tanggal lahir kipas anginku, karena jujur aku lupa. Tapi aku tak akan berbohong soal ini, soal kenapa aku memilih april sebagai bulan lahir kipas anginku.
“Banyak cerita dari kata april” ujarku, salah satunya bulan yang identik dengan bulan kebohongan, “april-mop” teriak temanku dengan aksen suaranya yang menyebut huruf “R” malah terdengar seperti huruf “L” setelah berhasil mengelabuiku perihal kasus adam dan istrinya yang turun kedunia gara gara memakan buah. Kadang aku geli sendiri mengingat guyonan masa kecilku tentang Adam memakan satu yang kemudian menjadi Jakun pada pria dewasa, dan Hawa memakan dua yang kemudian menjadi payudara wanita yang bisa kita lihat tumbuh sejak di sekolah menengah pertama bahkan di akhir sekolah dasar! Zaman memang semakin cepat berubah kukira, seingat data kepala yang mulai mengabur tentang masa laluku, dulu teman-teman wanita awal sekolah menengah pertama ku dadanya masih tampak rata, akan tetapi anak perempuan sekarang di akhir sekolah dasar sudah menonjol meski terkesan ditonjol-tonjolkan. “mungkin anak perempuan sekarang mengamalkan ritual mengusap payudara mereka dengan air teh hangat di pagi hari” kataku.
Di April juga, sehari sebelum tanggal yang sama dengan hari lahir kipas anginku yang kukarang-karang, malam milenium ketujuh silam di gedung putih Washington, Elie Wiesel berpidato didepan mantan Presiden Clinton dan anggota kongres 1999. “ehh.. ternyata dia (baca: kipas angin) masih memperhatikanku” bicaraku dalam hati. dia terus bertiup yang membuatku cukup tak kepanasan. Menemani jari-jari yang sedang asik bercanda dengan tombol-tombol komputer. Jari-jari yang apabila dilipat kelingking, manis, serta jempolnya dengan meninggalkan tengah dan telunjuk tetap mengacung maka akan membentuk huruf “V” sebagai tanda victory atau peace. Isyarat Jari (finger’s sign) yang pernah digunakan Churchil, Nixon dan Perempuan Iraq yang sedang berada dalam kemenangan atau menginginkan suasana kedamaian. Jari-jari yang apabila hanya meninggalkan acungan telunjuk dan kelingking yang membentuk formasi seperti tanduk hingga disebut metal horns lantas menjadi isyarat penanda tak resmi “aku rocker”. Jari-jari yang hanya cukup dengan satu acungan tengah dapat membuat tulang hidung seorang Hooligans patah di Inggris sana.
Sebagian isi pidatonya kira-kira seperti ini “Akan lebih mudah jika kita memalingkan wajah dari para korban, agar kita bisa terus bekerja, bermimpi, berharap. Lagipula rasanya janggal untuk terlibat dalam penderitaan orang lain.” Pidato ini mengisahkan pengalaman pribadi Elie dalam menyoroti kaum tertindas dan tersisih diseluruh dunia.
Perihal “bahaya pengabaian” yang menjadi judul dari keseluruhan isi pidato Elie malam itu, kisah seorang seniman gagal yang dulu hidupnya menggelandang bisa kita jadikan rujukan. Seniman gagal yang kemudian kita kenal dengan nama Adolf Hitler, seniman gagal yang otaknya sukses diracun opium jenis superioritas arya dan alkohol memabukkan jenis benci yahudi berlebihan, dengan pasukan SS (scutzstaffel)-nya yang legendaris, seniman gagal ini membantai jutaan yahudi dalam kamp-kamp konsentrasi. “tak ada kokokan ayam, tak ada kicauan burung, tak ada gonggongan anjing. Semua sama, “Abai.” Memang tidak semua abai, dalam film-film seperti The Pianist atau Valkyrie, bisa kita lihat masih ada orang yang bernurani. Film Cekoslovakia And The Fifth Rider Is Fear yang jujur belum pernah kutonton tapi kuperoleh resensinya di sekali lagi Soe Hok-gie pun bercerita tentang hal yang sama. Diceritakan seorang dokter yahudi yang dilarang praktik oleh Nazi, setelah berjuang melawan dirinya sendiri, maka akhirnya ia memutusan untuk menolong seorang partisan yang luka walau tau akibat apa yang mengancam dirinya. Tapi, cukup banyakkah sifat seperti dokter yahudi itu? cukup banyakkah sifat seperti Kolonel Klaus von Stauffenberg? Jawab adikku  “tentu lebih sering keheningan malam yang muncul layaknya rutinitas terbit tenggelam matahari biasa.” Lantas Kita? Ntahlah.. yang pasti satu hal yang tidak tunduk pada mayoritas adalah nurani seseorang. Satu lagi, “aku tak berbicara soal dia hitam dan dia putih disini. Maksudku selalu ada ruang untuk yang kelabu.”
Begitulah, pengabaian memang begitu menggoda, bahkan memikat, tapi normalkah kita ketika kita menikmati hidangan kalkun lezat dan segelas anggur, lingkungan disekitar kita mengalami pergolakan yang mengerikan? sudah begitu banyak kekerasan, begitu banyak kebohongan, begitu banyak kemiskinan, begitu banyak kelaparan, begitu banyak akar, sudah begitu banyak pengabaian.
Setengah berbisik aku berkata “kipas anginku..” kuamati dia kali ini lekat-lekat, fisikmu memang tak begitu menarik dan malah hampir cacat, umurmu pun belum genap 3 tahun malah. Tapi menyoal kegunaan, kuakui umur 22 tahun ku kalah telak. ketelanjangan kudapati disini, yang tak memakai jubah atas nama agama, yang tak memakai sarung atas nama budaya, dan yang tak memakai setelan jas atas nama hukum. Tak ada pamrih dalam pengorbananmu. Seperti lilin, membiarkan tubuhnya terbakar untuk kemudian kehilangan nyawa demi tujuan satu tujuan esa, menerangi pemiliknya.
“Udin !!!” teriak kantukku tiba-tiba. Ahhh.. datang juga kau sialan, darimana saja kau tanyaku?
--------
Pelaihari, 2010