Minggu, 21 Juni 2015

The Counterfeiters (2007)

Film yang diangkat dari memoar Yahudi Slovakia, Adolf Burger ini umumnya mengisahkan tentang rencana Nazi –dengan nama Operasi Bernhard- untuk mengacaukan perekonomian Inggris dengan jalan penyelundupan poundsterling palsu dalam skala besar-besaran. Namun bagi saya The Counterfeiters (2007) adalah film dengan maklumat bahwa seniman akan lebih mampu bertahan hidup dibanding bukan-seniman dan dibalik kepengecutannya ternyata Heinrich Himmler juga bisa melakukan sesuatu yang berguna.

The Counterfeiters atau dalam bahasa aslinya Die Falscher (2007) dibuka dengan seorang pria tanpa kumis yang membawa satu koper penuh terisi uang, check in disebuah hotel diperkampungan Monako, berjudi di Kasino, meminum anggur, bercinta, dan saya hampir lupa; sapaan petugas hotel yang diabaikan: "Apa ini kunjungan pertama anda ke Monte Carlo?"

Pria tanpa kumis yang dulu berkumis itu, Solomon Smolianoff alias Soloman "Sally" Sorowitsch, Yahudi kelahiran Ukraina yang pada 1922 kabur dari Rusia dikarenakan ketidaktepatan posisi orang tua dalam Revolusi Rusia. Sorowitsch lantas menikah di Italia, memutuskan untuk hidup di Jerman dan bekerja sebagai seorang pemalsu sampai tertangkap oleh Friedrich Herzog, seorang aparat kriminal Berlin dari Departemen Pemalsuan.

Pasca penangkapan, Sorowitsch kemudian dikirim ke Kamp Konsentrasi Mauthausen di Linz, Austria dan lebih-kurang lima tahun kemudian berkat kompetensinya, bersama-sama dengan Adolf Burger, Kolya serta dua orang lainnya, Sorowitsch lantas dipindahkan ke Kamp Konsentrasi Sachsenhausen di Oranienburg, Jerman. Di "Saxon’s Houses" ini, Sorowitsch bertemu kembali dengan Friedrich Herzog yang sudah dipromosikan menjadi sturmbannfuhrer schutzstaffel Nazi dibawah garis komando Heinrich Luitpold Himmler.

Tidak seperti tahanan-tahanan yahudi, komunis, atau homoseksual lainnya di Saxon’s Houses, oleh sturmbannfuhrer Herzog, Sorowitsch, Burger, Kolya dan beberapa orang seniman –atau mengaku seniman- lainnya dipekerjakan pada Operasi Bernhard, disuguhi rokok serta diberikan kasur empuk, poundsterling palsu yang berhasil dibuat dihargai dengan satu papan tenis meja lengkap dengan bola dan bet plus kesempatan satu minggu sekali untuk mandi.

Sebuah kegemilangan bagi Sorowitsch, namun kemurungan bagi Burger. Berbeda dengan Sorowitsch yang “realistis,” Adolf Burger adalah seorang “idealis,” martil, berdedikasi atas komunisme, dan menangis saat bisa kembali melihat mesin cetak.

Ada satu kejadian menarik yang mencikal pertemanan Sorowitsch dan Burger; ketika itu Burger mendengar desas-desus bahwa dalam perjalanan menuju Saxon’s Houses, Sorowitsch memberikan jatah makannya kepada Kolya, dan Burger berujar "… kau beri kawanmu sepotong rotimu, … itu solidaritas" -didahului dengan kata-kata kriminal sejati adalah para kapitalis penghisap tentu saja,- dan Sorowitsch menjawab "itu sup."

Kejadian ini memang tidak menjadikan Burger lantas sebagai Soekarno dan Sorowitsch sebagai Hatta, namun dua motor ini menjadi penggerak inti Operasi Bernhard untuk kemudian menjadi berselisih ketika sturmbannfuhrer Herzog menugasi mereka membuat dolar palsu.

Tidak banyak yang tahu memang sudut lain dari Perang Dunia II (1939-1945), yang bisa berakhir lebih cepat dikarenakan keberhasilan Alan Turing memecahkan sandi Enigma dan atau keputusan –yang diinisiasi Adolf Burger- dilematis Soloman Sorowitsch untuk menunda-nunda mencetak dolar palsu.

Sabtu, 20 Juni 2015

Shutter Island (2010)

Mungkin ini ada kaitannya atau tidak ada kaitannya dengan istilah elan vital yang diperkenalkan Henri-Louis Bergson dan karenanya ada kaitan atau tidak ada kaitan pula dengan Catatan Pinggir Cinta Goenawan Mohamad yang dirilis Tempo 1 Juni 2015 lalu.

Tulis Goenawan, "… elan vital, dorongan hidup yang terus menerus mengalir dan tumbuh, bukan kehadiran yang statis. Ilmu, yang disusun intelek/nalar, tak akan mampu memahaminya. Nalar mampu menganalisis, menganalisis berarti mengurai, tapi untuk itu kita harus memandang sebuah proses yang bergerak terus seakan-akan mandek."

Jika disitu yang dimisalkan Bergson melalui Goenawan adalah "lagu," maka disini saya akan rupakan sebagai "film."

Intelek bisa mengurai sebuah film menjadi deretan nilai karakter yang mampu diukur lewat disiplin ilmu psikologi, intelek mampu mengurai plot cerita dengan kategorisasi dari prodi televisi dan film perguruan tinggi. Tapi dengan demikian, film akhirnya harus diperlakukan sebagai benda yang "berhenti." Dan persis disitu, kita kemudian tak dapat lagi menikmatinya. Film baru bisa "bergerak," menggetarkan bahkan menyentuh jika kita berangkat dari intuisi, intuisi yang dinyatakan Bergson melalui Goenawan dapat "bersua dan menangkap elan vital yang menggerakkan kehidupan."

Agaknya, hal itulah yang menghantui saya terus-menerus belakangan ini; elan vital yang menjadi mampet ketika dalam sajak sastrawan Bengali, Rabindranath Tagore dilukiskan sebagai "menyelam dan mencari mutiara" bukan "menghimpun batu dan menebarkannya."

"Menyelam dan mencari mutiara" yang lebih dekat maknanya kepada "kontrol" dan "ke-tidak spontan-an" justru malah memunculkan beban dan utang serta menunda saya untuk berangkat ke-antrian eksodus besar-besaran folder film Perancis, Iran, juga Amerika Latin. Oleh sebab itu, pada Shutter Island (2010) saya justru lebih memilih untuk hanya "menghimpun batu dan menebarkannya."

Shutter Island (2010) yang diadaptasi dari Novel Dennis Lehane tahun 2003, adalah sebuah film yang mengisahkan Edward Daniels yang menyelidiki kasus hilangnya pasien di rumah sakit jiwa Ashecliffe. Namun, tidak perlu menjadi jenius untuk tahu bahwa justru Edward Daniels –atau belakangan menjadi Andrew Laeddis- lah yang sebenarnya gila, akan tetapi bulu bergidik ketika membaca tulisan "Run" dan keterkejutan muncul ketika Shutter Island (2010) menjadi pengejawantahan paling serius peribahasa lama Indonesia "lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai."

Pada sebuah adegan singkat dan tampaknya oleh sutradara Martin Scorsese diperuntukkan untuk tidak terlalu diperhatikan, Edward Daniels atau Andrew Laeddis mengatakan "… Kau tahu, tempat ini membuatku berpikir… mana yang terburuk, hidup sebagai monster atau mati sebagai orang baik?"

Jumat, 19 Juni 2015

Leviathan (2014)

"… seperti hal nya Pangeran Agung St. Alexander Nevsky berkata: “Tuhan tidak bersabda dalam kekuatan, tapi kebenaran.” Dan dia benar, bukan dengan kekuatan, tapi dengan kasih sayang, bukan dengan amukan, tapi dengan kebijaksanaan Tuhan, bukan dengan amarah dan kebencian, tapi dengan keberanian. Kita berhasil mengusir banyak musuh dari agama dan tanah air kita. Tapi yang terpenting hari ini adalah kita harus memegang teguh iman kita. Dan juga selalu menyampaikan kebenaran. Kebenaran… adalah kehendak Tuhan. Kebenaran menggambarkan dunia dengan apa adanya tanpa gangguan. Tapi hanya bagi dia yang tahu kebenaran Tuhan-lah yang bisa menemukan kebenaran."
Khotbah yang panjang dan tidak selesai saya kutipkan itu, dengan khusuk didengar oleh Vadim Shelevyat; pejabat pemerintah di kota pesisi Rusia, tambun, kaya, rajin mengunjungi pemuka agama, mempunyai istri yang cantik dan anak yang tampak cerdas.

Hidup Vadim yang terlihat sempurna justru berbanding terbalik dengan Koyla; seorang suami dan seorang ayah yang rumah beserta tanah nya diambil alih oleh Negara. Tidak berhenti disitu, Istri yang berselingkuh dengan kawan baik, anak yang membenci ibu tiri, sampai dituduh membunuh istri sendiri adalah rangkaian kejadian-kejadian yang menghampiri Koyla.

Kisah Vadim dan Koyla inilah yang lantas oleh sutradara muda Rusia; Andrey Zvyaginstev dituangkan dalam Leviathan (2014). Dari judul nya, kita tentu mudah teringat pada buku filsuf empirisme Inggris; Thomas Hobbes, Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall and Civil yang terbit tahun 1651. Dan memang, ada kemiripan antara film Leviathan Zvyaginstev dengan buku Leviathan Hobbes.

Leviathan –baik sebagai film maupun buku- menuturkan kepada kita bahwa Negara benar-benar dapat berkuasa secara mutlak. Dengan dalih untuk kepentingan kota, tanah yang diwarisi turun temurun dan rumah yang dibangun Koyla oleh Negara (melalui Vadim) diambil alih dan hanya diberikan harga ganti rugi (atau jual beli) senilai 639.540 Ruble, sebuah harga yang jauh dibawah standar –setelah memperhitungkan ganti rugi atas produksi agrikultur- Koyla yang menuntut 3.500.000 Ruble. dan preseden buruk ini dapat dilakukan Negara dengan pengadilan yang tidak netral dan aparat keamanan yang korup.

Malah, entah kenapa saya justru mengingat cerita pendek Before the Law Novelis Jerman; Franz Kafka ketika Dmitriy Seleznyov –pengacara dan selingkuhan istri Koyla- mengunjungi kantor Jaksa dan berkata: "…Apa mereka semua tidak bekerja? Menurutmu ini tidak aneh?" Tanya Dmitry kepada seorang perempuan dan perempuan itu menjawab "Tidak.. hanya ada dua jaksa. Jaksa umum sedang sakit dan detektif sedang menangani kasus. Kau bisa mengirim surat atau pergi ke Pengadilan." "Baiklah, aku mengerti. Berikan aku surat penolakannya" Lanjut Dmitry yang dijawab oleh perempuan itu dengan "Sudah kubilang: aku tidak berwenang." Kondisi yang kurang lebih sama terjadi ketika Dmitry kemudian memutuskan untuk mendatangi kantor Pengadilan. "Halo, aku mau menemui Hakim" kata Dmitry, "tidak ada orang disini" sergah seorang petugas. "sama sekali?" Tanya Dmitry. "Ya" jawab petugas. "Tidak ada asisten atau sekretaris? Kapan mereka kesini?" lanjut Dmitry, dan petugas menjawab "Aku tidak tahu."

Begitulah Negara, yang diyakini oleh Hobbes –mengikuti Rousseau- muncul karena adanya sebuah kontrak sosial; du contract social yang dimungkinkan terjadi oleh sebab pencegahan atas homo homini lupus.

Bagaimanapun, Leviathan (2014) adalah sebuah kejeniusan dan kepekaan sosial Andrey Zvyaginstev dalam ritme kesederhanaan dan kenormalan hidup sehari-hari. Hal ini pula yang lantas mendorong saya untuk sesegara mungkin menyaksikan film Andrey lainnya; Elena (2011).

Sabtu, 13 Juni 2015

JFK (1991)

Penyair wanita kelahiran Amerika Ella Wheeler Wilcox, pernah menulis “mendiamkan perbuatan dosa ketika kita harus memprotesnya membuat seorang pengecut bukanlah manusia,” dan saya kira William Oliver Stone tahu persis makna kata-kata itu.
Oliver Stone, sutradara yang kerap dituduh kritikus mendistorsi sejarah dalam tiap film garapannya, membuka JFK (1991) dengan kata-kata Ella diatas.
JFK atau John Fitzgerald Kennedy adalah sebuah film yang tak hanya membincangkan Kennedy, tapi sebuah film padat dialog yang penuh sesak dengan sudut pandang sejarah.

Sekilas Tokoh.
“Jack” Kennedy. September 1936 terdaftar sebagai mahasiswa Harvard College dengan ketertarikan pada bidang filsafat politik. 1940 berhasil menyelesaikan tesis dengan judul “Appeasement in Munich” yang membahas tentang bagaimana partisipasi Britania Raya dalam sebuah perjanjian yang dihadiri oleh Adolf Hitler, Benito Mussolini, Neville Chamberlain dan Edouard Deladier untuk memutus nasib Cekoslovakia atau yang kemudian lebih dikenal dengan Perjanjian Munich. Tahun 1941 terkena diskualifikasi medis dari Angkatan Darat akibat penyakit punggung. Tahun 1953 atau ketika berumur 36 Tahun menikah dengan Jacqueline Bouvier yang mahir berkuda. 20 Januari 1961 diambil sumpah sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35 dengan pidato pelantikan “Semuanya tidak akan selesai dalam kurun seratus hari pertama, tidak pula dalam seribu hari pertama, tidak juga dalam masa pemerintahan ini, bahkan tidak dalam kurun hayat kita di planet ini.” 26 Juni 1963 menyampaikan pidato Ich bin ein Berliner (saya adalah warga Berlin) yang isinya mengkritik dan memberikan contoh kegagalan komunisme. 22 Maret 1962 menghapuskan hukuman mati. 22 November 1963 ditembak sekali ditenggorokan, sekali dipunggung atas, dan sekali dikepala.
Lee Harvey Oswald. Mempelajari literatur Sosialis di rak-rak berdebu perpustakaan. Tahun 1959 pergi ke Moskow, 1960 menetap di Belarusia, menjadi seoarang Marxis, bekerja di pabrik televisi dan menikahi perempuan kelahiran Rusia. Tidak puas dengan kehidupannya, 1962 kembali ke Amerika Serikat dan bekerja di Laboratorium Foto sambil menerima edisi demi edisi Koran Partai Komunis Amerika “The Worker.” Meski belakangan menjadi penggila Castro, banyak riset yang menyatakan Oswald adalah seorang agen ganda dan tidak kebetulan apabila saya tidak mempunyai kapasitas untuk lebih mendalami itu.
David Ferrie. Lahir di Cleveland, Ohio. Konon, memiliki keterampilan lima bahasa berbeda, Menderita Alopecia Areata yang menyebabkan hilangnya rambut dan meningkatnya berat badan. Tahun 1951 pindah ke New Orleans dan bekerja sebagai pilot untuk Eastern Air Lines. Menggambarkan diri sebagai seorang liberal, anti komunis, memusuhi Fidel Castro. Awal tahun 1961, menjadi “mitra bersemangat” eksil sayap kanan Cuba, Sergio Archacha Smith. 22 Februari 1967 ditemukan tewas diapartemennya setelah meninggalkan dua surat dimana salah satu suratnya berbunyi “bagi saya.. meninggalkan kehidupan ini adalah prospek yang manis.”
“Jim” Garrison. Memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Tulane University Law School pada tahun 1949. Sempat bekerja dua tahun untuk Federal Bureau of Investigation dibawah komando John Edgar Hoover. Kurun waktu tahun 1954 s.d. 1958 bekerja di Firma Hukum Kerrigan & Stiles.  1961 terpilih sebagai Jaksa Wilayah (DA) dengan selisih 6.000 suara melawan incumbent Richard Dowling.

Plot Cerita
Pukul 12.30 hari Jumat, 22 November 1963 Kennedy dibunuh di Dallas, Texas “oleh” (kata oleh dengan tanda kutip) Lee Harvey Oswald. Dua hari setelahnya, tepatnya pada tanggal 24 November 1963, Jacob Rubenstein atau yang lebih dikenal dengan nama “Jack Leon Ruby” menembak mati Oswald dalam sebuah siaran langsung televisi.
Tragedi inilah yang menjadi tulang punggung JFK, tragedi yang oleh Presiden Lyndon Johnson diselidiki via Komisi Warren untuk kemudian menghasilkan laporan tahun 1964 setebal 888 halaman dengan kesimpulan bahwa Oswald yang membunuh Kennedy dan Jack Rubby yang membunuh Oswald tidak terlibat dalam suatu komploton. Namun demikian, meski dipuji media mainstream sebagai suatu studi yang menyeluruh, oleh Jim Garrison yang dengan telaten membaca halaman demi halamannya, Laporan Warren dianggap penuh dengan kejanggalan-kejanggalan. Dengan bermodalkan film Abraham Zapruder yang copy aslinya dibuat oleh Majalah LIFE tahun 1967, Jim lantas melakukan investigasi mandiri dengan kesimpulan akhir yang justru lebih berwarna.

Empat Nilai yang Diwartakan JFK.
(1) Meski oleh kawan Jim, reputasi Willie O’Keefe dianggap lebih rendah daripada air kencing buaya, kesaksian tetaplah kesaksian. Atau secara lebih sederhana pepatah arab lama mengatakan undzur maa qoola wa la tandzur man qoola (lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan). Untuk diketahui Willie O’Keefe adalah seorang pria yang menjajakan pantat dan sekitarnya kepada pria.
(2) “…jika mereka bisa membunuh Presiden Amerika Serikat.. kamu kira mereka akan berpikir dua kali untuk seorang gadis panggung seperti aku?” –Baverly. Saya kira, inilah sikap dan argumen logis yang kita temui secara terus menerus setiap harinya. Bermain aman, mengekor orang banyak. dan Jim adalah sebuah kekecualian, Jim dengan kesadaran penuh memilih menyimpang. “…aku paham tekanan yang kamu alami, jangan berpikir bahwa aku tidak mengalaminya. Kita berdua mengalaminya” –Jim Garrison. Benar kata Seniman Lekra, Mas Pram, “dalam hidup, hanya satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”
(3) Saya tidak tahu memulai nilai ketiga JFK ini darimana, apakah dari de ja vu episod lumrah yang terjadi pada setiap laki-laki yang memutuskan untuk menikah atau dari kutipan teolog Denmark abad ke-19, “terkadang, cita-cita internal kita (keluarga) dapat menghalangi cita-cital sosial kita.” Namun tak jadi soal benar saya pikir, karena pada kenyataannya Elizabeth Garrison (istri Jim) tetap berujar “…kamu lebih peduli John Kennedy daripada keluargamu sendiri, sepanjang hari anak-anak bertanya dimana Ayah? Apa yang harus kukatakan pada anakmu?” dan Jim menjawab tegas “Aku tidak tahu… Kebenaran! Aku melakukan pekerjaanku untuk memastikan mereka tumbuh dewasa di Negara dimana keadilan tidak akan lenyap dan hanya berada didalam buku-buku sejarah. Seperti Dinosaurus atau Atlantis.” Agak menggantung memang.
(4) Dalam sebuah percakapan dengan Jim, X berujar: “Italia 48 kita menyerobot pemilu, Perancis 49 menghentikan pemogokan, berada di Vietnam 54, Indonesia 58, dan Tibet 59.” Menarik saya pikir jika kita coba telisik satu demi satu peristiwa yang terjadi di tahun-tahun tersebut.
-----

*Italia 48. Hari minggu tanggal 18 April 1948, sebuah Pemilihan Umum diselenggarakan di Italia. Pemilu yang diantaranya diikuti oleh Alcide De Gasperi (1881-1954) dari Partai Demokrasi Kristen, Palmiro Togliatti (1893-1964) diusung oleh koalisi sayap kiri front demokratik popular yang terdiri dari Partai Komunis Italia dan Partai Sosialis Italia, serta Ivan Matteo Lombardo (1902-1980) bekas Sekretaris Partai Sosialis Italia era 1946 s.d. 1947 yang kemudian membentuk mandiri Partai Persatuan Sosialis. Akan tetapi Pemilu ini tidaklah “italia” seutuhnya, Karena nyatanya persaingan yang terjadi tidak hanya terbatas pada Gasperi, Togliatti, atau Lombardo, namun juga melibatkan Uni Soviet dengan Amerika Serikat. Amerika yang khawatir –melalui Central Intelligence Agency, CIA- kemudian ambil bagian dalam upaya besar-besaran melemahkan demokrasi Italia 48, jika Pemilu berlangsung dengan cara yang salah, dan apabila tindakan subversi gagal, maka akan dilakukan intervensi milter secara langsung. Sebuah upaya untuk “menstabilkan Italia” katanya. Apa lacur, Italia menjadi “stabil,” Alcide De Gasperi dengan Partai-nya memperoleh 48,51% suara, Togliatti dan kamerad-kamerad Koalisi Kiri-nya 30,98% suara, sementara Ivan Matteo Lombardo dengan Persatuan-nya hanya 7,07% suara.
**Perancis 49. Dari hasil penelusuran dan akibat dari pengetahuan yang sedikit, saya tidak menemukan peristiwa yang secara spesifik membahas tentang “pemogokan” di Perancis kurun waktu tahun 1949 –mungkin sidang pembaca dapat membantu,- hanya sedikit petunjuk dari tulisan Marcel van der Linden tahun 1997 dengan judul Socialisme ou Barbarie (sosialisme atau kebiadaban) yang dimuat dalam sebuah situs kiri tanpa hak cipta yang kalimat lengkapnya saya kutipkan disini: “Selama periode 1947-49 terjadi gelombang pemogokan diseluruh Negeri (baca Perancis), yang saat ini didukung sepenuh hati oleh PCF (Partai Komunis Perancis) dan CGT (Federasi Serikat Buruh Perancis). Pihak Sosial Demokrat, didalam kalangannya sendiri mencoba meredam perlawanan pekerja. Secara keuangan mereka didukung CIA. Mereka berhasil memecah CGT dan membentuk federasi serikat buruh yang lebih “moderat” (Force Ouvriere). Meski kelompok ini tetap menjadi kelompok yang jauh lebih kecil ketimbang CGT, banyak anggota serikat buruh mengalami demoralisasi karena perpecahan.” Agak sedikit menyimpang memang, namun Linden justru membawa saya kepengetahuan-pengetahuan mengasyikkan selanjutanya, mulai dari Tokoh Cornelius Castoriadis (1922-1997) sampai kepada Monnet (1946-1950) dan Marshall Plan (1947-1951).
***Vietnam 54. Pantas saja X hanya menyatakan “berada” di Vietnam kepada Jim, karena pada dasarnya “berada” merupakan kata yang tidak memiliki nilai hegemoni. Tahun 1954, Amerika berada di Vietnam, lebih tepatnya di Vietnam Selatan yang mulanya dikuasai kaum nasionalis Vietnam dibawah rantai imperialisme Perancis dengan Kaisar Bo Dai ditampuk atasnya, sementara Vietnam Utara merupakan basis dari Viet Minh atau Liga Vietnam Merdeka –sebuah wadah perjuangan kaum komunis Vietnam- yang dipimpin oleh Ho Chi Minh. 7 Mei 1954, dibawah komando Jenderal Viet Minh, Vo Nguyen Giap, Benteng Dien Bien Phu berhasil direbut. Jatuhnya Benteng ini berdampak langsung pada semakin cepatnya proses Perjanjian Jenewa yang di tanggal 20 Juli 1954 (bedakan dengan Konvensi Jenewa 1949) menghasilkan garis besar kesimpulan diantaranya “Vietnam dibagi menjadi dua Negara bagian dengan garis batas lintang utara 17 derajat, dan untuk penyatuan Vietnam maka paling lambat bulan Juli 1956 akan diadakan Pemilihan Umum dibawah pengawasan Komisi Internasional.” Perjanjian tidak disikapi serius oleh kedua belah pihak. Vietnam Utara menyerang Vietnam Selatan – Vietnam Selatan beranggapan Pemilu hanya propaganda Komunis. Amerika Serikat yang sangat percaya dengan teori “domino” kemudian menempatkan 460.000 pasukan, Jet Tempur F-105, dan 100 opsir dibawah Jenderal Samuel Tankersley William untuk melatih tentara Vietnam Selatan. Namun, komunis Vietnam Utara justru semakin kuat dan posisi John F. Kennedy semakin sulit. Kennedy bersikeras, “Doktrin Kredibilitas” difatwakan, Kennedy ditembak mati di Dallas. Lyndon B. Johnson naik menggantikan Kennedy, membentuk operasi “Oplan 34-A” yang pada akhirnya juga gagal. Perang kalah yang berkepanjangan dan semakin tidak populer –bahkan dikalangan rakyat Amerika Sendiri- ini akhirnya membuat Richard M. Nixon –pengganti L.B. Johnson- mengumumkan berakhirnya Perang Vietnam pada tanggal 23 Januari 1973 dan menandatangani “Perjanjian Paris” tanggal 27 Januari 1973 yang isinya antara lain menyatakan “menarik pasukan Amerika Serikat dari Vietnam dan menyatukan kembali Vietnam selangkah demi selangkah melalui cara-cara damai.”
****Indonesia 58. “Otonomi yang luas” dan “Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah,” dua hal inilah yang sebenarnya menjadi latar belakang. Dua hal ini pulalah yang kemudian yang memunculkan kronik Dewan Banteng (20 Desember 1956), Dewan Gajah (22 Desember 1956), Dewan Garuda, Proklamasi Permesta (2 Maret 1957), dan terutama pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/PRRI (15 Februari 1958). Gejolak Daerah dengan Pusat ini terus dimonitor oleh Amerika Serikat, yang paling terkenal tentu saja adalah kata-kata Dwight D. Eisenhower “Don’t let Sukarno get tied up with the communists.” Adu taktik dilangsungkan, melihat gelagat Soekarno yang “agak ke-kiri-kira-an,” CIA lantas memasok 42.000 pucuk senapan serbu untuk PRRI/Permesta, membentuk “Task Force-75” yang bergerak ke Singapura dengan tujuan akhir lapangan minyak California Texas Oil Company (Caltex) di Riau. Premis yang dibangun adalah intervensi militer langsung dapat dilakukan untuk melindungi warga AS di Caltex. Namun, sebelum sempat mendarat, 5 Batalion Marinir dan 2 Kompi RPKAD –kini Kopassus- Indonesia sudah berhasil terlebih dahulu merebut Caltex. Di sudut lainnya, tentu saja turut terlibat peristiwa penembak-jatuhan pesawat pembom dan pengintai B-26 Invader (kini Douglas A-26 Invader) Amerika Serikat yang dikemudikan oleh Alan Lawrence Poppe. Untuk diketahui, Alan Poppe yang penyendiri ini ditahun-tahun sebelumnya pernah masuk ke kawasan Benteng Dien Bien Phu yang telah dikepung ketat oleh Viet Minh untuk menerjunkan suplai makanan.
*****Tibet 59. Orang Tibet yang dalam mitosnya merupakan hasil keturunan dari monyet dan batu raksasa adalah orang-orang yang berada diantara dua peradaban kuno (Cina-India) yang dibatasi oleh pegunungan Himalaya. Membicarakan Tibet tentu membicarakan Dalai Lama. Dalam bahasa mongol, “dalai” berarti “lautan”, dan dalam bahasa Tibet, “Lama” berarti “Guru.” Jadi jelaslah, jika –tidak seperti yang selama ini saya kira- “Dalai Lama” adalah sebuah gelar pemimpin spiritual merangkap “kepala pemerintahan” Tibet dan bukan nama. Dari hasil penelusuran, sampai saat ini setidaknya sudah terdapat 14 orang Dalai Lama dengan nama mulai dari Geden Drub sampai Tenzin Gyatso. Tenzin Gyatso inilah yang kemudian pada Tahun 1959 melarikan diri ke India dan mendirikan pemerintahan Tibet dalam pengasingan. Tahun 1959 juga dapat dibaca sebagai pemberontakan Tibet yang anti-Tiongkok dan anti-Komunis. Dalam sebuah resensi buku Revolusi Tibet (2008) karya Nurani Soyomukti, Ahmad Zaenurrofik yang juga menjadi Peneliti CSSR Surabaya, menyatakan “Tepatnya tanggal 10 Maret 1959, rakyat Tibet yang kebanyakan para biksu yang disokong secara finansial dan persenjataan oleh Amerika Serikat melalui CIA melakukan pemberontakan. Pemberontakan tersebut gagal, tetapi perjuangan untuk menentukan nasib sendiri tetap dilakukan melalui kampanye politik dengan tokoh utama Dalai Lama (Tenzin Gyatso) yang berkeliling dan berkunjung ke Negara-Negara barat.” Dalam kasus Tibet anda akan mendapatkan dua “fakta” berbeda serta saling berlawanan yang di olah media. Pro dan Kontra Dalai Lama. Dan saya tidak punya niatan untuk menuliskan itu, yang saya ingin tuliskan berikutnya adalah pernah ada seruan pemboikotan oleh rakyat Cina agar tidak berbelanja di jaringan toko retail (hypermarket) Carrefour. Pernah ada seorang profesor semiotik universitas Bologna anak seorang ahli akuntan yang menyatakan “Kejahatan bisa muncul dari Kesalehan.”

**

Kepustakaan: