Rabu, 26 September 2012

Kapitalisme yang mana?

**Andra Eka Putra

(Tanggapan terhadap Bebaskan Perempuan dari Belenggu Kapitalisme – Dr. Hastin Umi Anisah, SE MM)

Umumnya, sikap seorang muslim(ah) terhadap konsep-konsep yang datangnya dari Barat baik itu semisal pluralism, liberalism, demokrasi, sosialisme, atau kapitalisme adalah menerima, menerima dengan kritik/koreksi, menolak, atau menolak dengan kecaman. Pun tidak terkecuali dengan tulisan Dr. Hastin Umi Anisah, SE MM (dimuat dalam rubrik Opini Banjarmasin Post, Selasa, 6 September 2011) atau tulisan saya (baca: penulis) yang akan memberikan tanggapan terhadap tulisan tersebut berdasarkan “frame” nya masing-masing.

Dalam tulisan dengan judul bebaskan perempuan dari belenggu kapitalisme tersebut, Dr. Hastin menurut hemat penulis memberikan (1). Pengkategorian perempuan dimana pertama perempuan dipandang sebagai obyek/korban kapitalisme, kedua sebagai pegiat kapitalisme, ketiga sebagai muslimah, dan (2). Anjuran untuk memilih kategori ketiga, yaitu perempuan muslimah dengan sarana syariah islam untuk menaklukkan kapitalisme.

Namun, tidakkah islam sendiri kompetibel dengan kapitalisme hingga tidak perlu saling takluk-mentaklukkan?

Sebelum melangkah lebih jauh hal yang perlu diingat, yaitu tulisan ini bukan merupakan sebuah upaya untuk menjustifikasikan kecocokan islam dengan kapitalisme, akan tetapi lebih kepada sebuah argumen yang lain dengan menggunakan metode dan kacamata yang lain pula.

Dalam konteks Indonesia dulu, perjumpaan islam dengan kapitalisme maupun sosialisme menurut sisi historisnya jauh sebelum Indonesia itu sendiri merdeka. Berdasarkan data sejarah yang ada, pada abad ke-19, ada sebuah perkumpulan pribumi yang di ketuai oleh Haji Omar Said Cokroaminoto yaitu Syarekat Islam atau yang sebelumnya di kenal dengan nama Syarekat Dagang Islam (SDI). Kata “dagang” secara gamblang tentunya menunjukkan perkumpulan ini konsen utamanya adalah ekonomi dengan sistem sosialistik (Lihat: H.O.S. Cokroaminato – Islam dan Sosialisme, 1938). Pada masa itu, kaum muslim lebih merasa nyaman dengan gagasan-gagasan sosialisme karena dari sisi psikologis sosialisme dipandang mencerminkan perlawanan terhadap imperialisme dan kemapanan ketimbang kapitalisme yang dianggap menampung kekuatan-kekuatan penguasa Kolonialisme Belanda. Maka akibatnya watak sebahagian besar pribumi terjajah menjadi sangat reaktif terhadap kapitalisme.

Kemudian dalam konteks Indonesia sekarang, tumbuh semacam sikap antagonis (hasil turunan sikap reaktif tadi) muslim terhadap kapitalisme dikarenakan sebuah persepsi keliru (pandangan simplistis) terhadap kapitalisme dimana kapitalisme diidentikkan dengan alat kosmetik, senam wajah, minuman bersoda, merk dan kelembaban lipstik, metting, makanan siap saji, cara berbicara dan yang lain-lain sehingga kapitalisme dianggap sebagai sebuah pola hidup yang materialistik atau hedonis yang ujung-ujungnya mengakibatkan kapitalisme sering dianggap sebagai biang keladi kemiskinan.

LALU kembali pada pertanyaan diatas, Kompetibel kah islam dengan kapitalisme?

Jawabnya bisa negatif maupun positif, hal ini tentu tergantung dari “frame” mana kita berangkat, aksara min hau lail / lebih dari dua pendapat biasa dikenal dalam fiqih. Untuk itu lah maka diperlukan -dalam bahasa filsafat: Ontologi, Epistemologi, serta Aksiologi dari Islam dan Kapitalisme sendiri.

Islam, adalah the way of life dengan seperangkat nilai yang digali dari Al Qur’an, hadist, dan penafsiran – penafsirannya. Sementara, secara sederhana Kapitalisme adalah (roda) sistem ekonomi dimana seseorang (individu) diberikan kebebasan “memiliki” dan “mengontrol” hartanya.

Ketika dua definisi diatas dikonfrontir, maka secara teoristis sepanjang yang penulis ketahui (mohon dikoreksi apabila keliru) tidak ada satu ayat-pun dalam Al Qur’an yang melarang seseorang untuk memiliki harta lalu kemudian mengontrolnya, bahkan islam sangat menghormati hak milik (harta). Hal ini tercermin dari Khulyatin Homsa atau lima prinsip yang terdapat dalam fiqih yaitu: (1). An Nafs - Kehidupan, (2). Ad Din – Agama, (3). Al Araf – Kehormatan, (4). An Nash – Keturunan, dan (5) Al Rial – Harta.

Atau kesesuaian salah satu kriteria kapitalis dimana manusia dipandang sebagai mahluk ekonomi (Homo Economicus) dengan hadist berikut yang menggambarkan pentingnya mencari rezeki (jihad ekonomi): Rasulullah saw bersabda, “wahai manusia, sesungguhnya rezeki telah dibagi-bagi. Seseorang tidak akan meninggalkan rezeki yang telah diperuntukkan baginya. Maka carilah rezeki itu dengan baik” (Ibnu Abbas).

Secara praktis/historis islam lahir di Mekkah, dimana kota Mekkah pada saat itu apabila musim dingin penduduk nya pergi ke Yaman sedang musim panas ke Damaskus. Tingginya mobilitas penduduk (utamanya untuk berdagang) ini merupakan cerminan dari motif homo economicus yang kita kenal pada kapitalisme tadi. Masalah yang muncul, jika dilihat secara sehat sebenarnya ada pada titik “ditribusi” hak milik (harta) atau penimbunan harta dimana dalam islam sangat dilarang yang dicerminkan dari perkataan Rasulullah “Orang yang mendatangkan barang diberi rezeki dan orang yang menimbun barang dilaknat” (Lihat: Syaikh Musa Zanjani – Madinah Balaghah, hal 615, 2010). Dititik distribusi ini lah sangat sangat berkaitan erat dengan keadilan, dalam filsafat dikenal dengan Distributif Justice. Pertanyaan selanjutnya yang ingin penulis kemukan adalah bukan pada bagaimana distributif Justice itu dilakukuan (pembahasan mungkin lain kali pada artikel yang lain pula), tapi tahap sebelumnya yaitu bagaimana cara paling cepat untuk megumpulkan kekayaan: yakni bisa dengan ekonomi terbuka, liberal, atau kapitalis seperti yang sedang kita bahas. Secara sederhana disinilah asas dari konsep Negara maju yang menggunakan sistem Walfare State (Negara Kesejahteraan) yakni mengumpulkan kekayaan terlebih dahulu baru mendistribusikannya.

CARA-CARA PENGUMPULAN harta dari Kapitalis yang karena kebebasan dan kecepatannya inilah yang disalah-tafsirkan orang per orang sebagai kegiatan proses pengumpulan harta dengan menghalalkan segala cara termasuk usaha eksploitasi baik terhadap manusia (yang kemudian dikritik habis-habisan oleh Karl Marx) ataupun alam (dikritik Mahatma Gandhi) yang dikoreksi oleh islam. Artinya hubungan kekompetibelan islam dengan kapitalisme atau islam menerima kapitalisme dengan koreksi-koreksi. Misal, silahkan mencari kekayaan tapi dengan jalan yang jujur (jihad ekonomi).

Selain itu, sepanjang yang penulis ketahui lagi dalam konteks ekonomi islam, kemuculannya bukan dikarenakan persoalan seperti kesenjangan sosial, distributife justice atau hal lainnya tetapi lebih cendrung kepada persoalan “riba”.

Jadi dengan menggunakan pola pikir dilektika, terlihat islam kompetibel dengan kapitalisme tapi lebih kepada kapitalisme “bermoral” atau kapitalisme “tanpa riba”.

Sekali lagi penulis ingatkan, tulisan ini tidak merupakan sebuah upaya penjustifikasian kecocokan islam dengan kapitalisme tapi murni berupa tanggapan atau “cara memandang dari sudut yang lain” islam (yang dalam dtulisan Dr. Hastin diwakili oleh muslimah) menaklukkan kapitalisme.

Pada akhirnya, sudah saatnya muslim(ah) muda belajar membuka diri dengan menyikapi ajaran – ajaran baik yang datangnya dari timur maupun barat secara sehat, tidak memandang islam sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 masehi dengan jalan ijtihad (jihad akal) berkelanjutan, dan tentunya memperlakukan Muhammad saw sebagai Qudwah Hasanah atau panutan yang wajib dikuti.


Seandainya kemiskinan itu berwujud,
maka akan kubunuh ia berkali-kali (Sayyidina Ali)

Kamis, 13 September 2012

Dekontruksi dalam Reformasi Birokrasi

Andra Eka Putra

Kajian mengenai kinerja birokrasi publik, utamanya yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, memiliki nilai yang sangat strategis. Informasi mengenai kinerja birokrasi dan faktor-faktok pembentuknya amat penting untuk diketahui agar kebijakan yang holistik untuk memperbaiki kinerja birokrasi bisa dirumuskan. Pengalaman menunjukkan bahwa selama ini berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kinerja birokrasi kurang menghasilkan perubahan yang signifikan.


Jadi, secara gamblang bisa diasumsikan bahwa (meminjam max weber) “rasionalisme birokrasi” jalan ditempat dan bahkan birokrasi cendrung telah mengubah dirinya bagaikan (meminjam Thomas Hobbes) “Leviathan atau monster raksasa” yang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan Negara.

Tulisan ini terlebih dahulu secara singkat mecoba memetakan patologi birokrasi di Indonesia dengan pengidentifikasian pada variabel-varibel sejarah, budaya, serta politik yang turut membentuk pola perilaku birokrasi dewasa ini.

Peninjauan akar historis sejarah pertumbuhan birokrasi (era kerajaan dan era penjajahan Belanda) sangat penting dilakukan untuk menjelaskan the state of the art dari birokrasi. Hal ini diperlukan guna melihat sejauh mana ketersinambungan antara birokrasi masa kerajaan serta birokrasi kolonial Belanda dengan birokrasi pada masa sekarang. Pada masa kerajaan dikenal adanya kaum aristokrat (priyayi) yang merupakan aparat birokrasi dari pemerintahan pada masa tersebut, paradigma yang dianut aparat birokarsi pada masa kerajaan ini adalah memposisikan diri sebagai penguasa yang harus dilayani oleh kelas sosial dibawahnya yakni masyarakat secara umum. Perwujudan konkrit dari bentuk pelayanan yang dilakukan masyarakat adalah dengan memberikan upeti kepada kaum aristokrat (priyayi) sebagai wujud nyata kepatuhan seorang hamba kepada rajanya. Sebangun dengan paradigma birokrasi masa kerajaan, birokrasi pada masa kolonial Belanda pun dibangun dengan paradigma yang sama yakni birokrasi lebih menempatkan diri sebagai penguasa didaerah (pangreh praja) dengan persepsi birokrasi daerah merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah pusat (kultur feodal). Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu sengaja merekrut mantan pegawai birokrasi kerajaan yang digaji dengan menggunakan tanah bengkok, yang kemudian diganti dengan menggunakan sistem uang. Perubahan sistem penggajian ini merupakan awal dari pengenalan uang oleh birokrasi, sekaligus guna menjamin loyalitas pegawai birokrasi kepada pemerintahan Belanda.

Dalam konteks birokrasi sekarang, meski sudah mengalami perubahan nama dari pangreh praja ke pamong praja, namun sayangnya tidak dibarengi dengan perubahan fundamental paradigma aparat birokrasi itu sendiri, malah secara global paradigma birokrasi sekarang merupakan hasil akumulasi paradigma bercorak kerajaan dengan kultur feodal Belanda. Paradigma yang selalu ingin “dilayani” daripada “melayani” masyarakat secara implisit terus dipertahankan sehingga kinerja pelayanan yang diberikan sangat tidak public accountable dan jauh dari kepentingan publik. Selain itu jika kita cermati kronologis birokrasi diatas, pemberian “upeti” pada birokrasi kerajaan inilah yang merupakan cikal dari korupsi atau pungutan liar yang dilakukan birokrasi kepada masyarakat yang ingin memperoleh akses pelayanan secara cepat dari birokrasi.

Selain itu, secara politik, birokrasi di Indonesia juga memiliki kecendrungan kurang mencerminkan komitmen politik yang bertanggung jawab kepada publik, akan tetapi lebih diorientasikan kepada pimpinan. Contoh paling nyata adalah saat ini masih sering ditemukan aparat birokrasi yang sulit bersikap kritis kepada pimpinannya dan umumnya memiliki nilai pada kepentingan pimpinan bukan publik. Padahal esensinya kritik dari dalam berguna sebagai kontrol internal dari birokrasi itu sendiri.

Konsekuensi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dengan patologi birokrasi diatas diantaranya adalah (1) akuntabilitas birokrasi hanya untuk pejabat diatasnya, bukan kepada publik (2) prestasi kerja aparat birokrasi dimata pimpinan hanya dilihat seberapa besar “loyalitasnya” (3) aparat birokrasi ditingkat bawah hanya berupaya untuk selalu menjaga kepuasan pimpinan (ABS: asal bapak senang), dan (4) aparat birokrasi yang tidak sepaham dengan garis poliitik pimpinannya tidak mendapatkan jabatan yang strategis dalam sistem karirnya.

Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari usaha pemetaan secara singkat patologi birokrasi ini adalah birokrasi masih sangat dipengaruhi oleh budaya “paternalisme” yang cendrung mendorong pejabat birokrasi untuk lebih berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan, menempatkan dirinya sebagai penguasa, dan memperlakukan para pengguna jasa (masyarakat) sebagai objek pelayanan yang membutuhkan bantuannya.

Kemudian, secara garis besar, persoalan birokrasi di Indonesia dapat ditinjau dari tiga perspektif yaitu sistem (peraturan perundang-undangan dan kebijakan), kelembagaan, dan sumber daya manusia. Dari sisi peraturan perundang-undangan, banyak peraturan yang dinilai sudah out of date sehingga tidak atau kurang sesuai dengan perkembangan lingkungan global dewasa ini. Meskipun UU No 18 tahun 1961 tentang pokok-pokok kepegawaian sudah diubah menjadi UU No. 8 Tahun 1974 dan karena implikasi dari otonomi daerah diubah kembali dengan UU No. 43 Tahun 1999, namun sebagian besar peraturan pelaksanaannya masih belum disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Contoh misal pada PP No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian PNS/DP3, unsur yang digunakan untuk tolak ukur kinerja pegawai sangat sumir apabila dikaitkan dengan pekerjaan nyata sehari-hari karena unsur tersebut sangat sulit diukur. Akibatnya, penilaian yang dihasilkan kurang mencerminkan perbedaan antara PNS berkinerja baik atau sebaliknya. Selain itu karena sulit diukur tadi (mengawang-ngawang) maka mendorong DP3 cendrung menjadi sebuah isian formalitas. Selain itu pada PP No. 15/1979 (Daftar Urut Kepangkatan PNS), PP No 51/1992 (Pemberian Gaji PNS), dan PP No.12/2002 (Kenaikan Pangkat PNS) yang tidak menitikberatkan pada kinerja dan prestasi kerja yang dihasilkan. Kemudian kenaikan pangkat PNS (selain pangkat pilihan) bersifat regular, artinya setiap 4 tahun sekali secara otomatis akan mengalami kenaikan pangkat terlepas apakah kinerja yang bersangkutan baik atau tidak.

Jadi secara gamblang, PP-PP tersebut bisa dikatakan kurang sesuai dengan aturan dari UU No.43/1999 (Pokok Kepegawaian) itu sendiri, dimana pada pasal 12 ayat 2 dinyatakan “…. pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.” Selain itu apa yang diamanatkan oleh UU No. 43/1999 untuk membentuk Komisi Kepegawaian Negara (Pasal 13 ayat 3) sampai sekarang juga belum dilaksanakan.

Dari perspektif kelembagaan, banyaknya instansi yang menangani kepegawaian (Kemenpan & RB, LAN, BKN, serta Kemendagri) belum mempunyai pembagian kewenangan yang tegas sehingga meyebabkan kebijakan yang dikeluarkan oleh satu instansi kerap kali mengalami tumpang tindih dengan kebijakan dari instansi lainnya. Artinya antara instansi tersebut belum terdapat adanya pembagian tugas dan kewenangan yang jelas dalam perumusan kebijakan kepegawaian sehingga pada tahap pengimplementasiannya kebijakan yang diterbitkan kurang dapat berjalan secara efektif.

Sisi kapasitas sumber daya manusia dimulai dari proses rekruitmennya dimana idealnya pemerintah daerah membuat manpower planning untuk jangka panjang yang memetakan secara komprehensif terhadap kebutuhan PNS baik kualifikasi pendidikan, keahlian, jumlah, distribusi menurut instansi dan kriteria lain yang mengacu pada visi/misi pembangunan daerah. Ketidakadaan manpower planning turut berimplikasi pada ketidaksesuaian kompetensi pegawai dengan pekerjaannya yang menyebabkan inefesiensi dalam birokrasi.

Atas dasar kerangka berpikir seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pemerintah hendaknya menerapkan kebijkan REFORMASI BIROKRASI yang mampu mengubah lingkungan dan kondisi internal birokrasi menjadi kondusif bagi adanya pelayanan publik yang efisien, responsif dan akuntabel. 

Salah satu solusi yang bisa dijadikan acuan bagi penerapan konsep reformasi birokrasi di Indonesia adalah: (1)perubahan fundamental paradigma aparat birokrasi dari “dilayani” ke “melayani”. (2)mengelola secara sehat (meminjam Osborne & Plastrik) “Lima DNA Birokrasi” yaitu misi, akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan, dan budaya. (3)restrukturisasi ruang lingkup manajeman PNS (termasuk peraturan perundang-undangannya) dimulai dari perencanaan kebutuhan, rekruitmen, beban kerja, pola karir, promosi, mutasi, pengukuran kinerja, remunerasi serta pendidikan/pelatihan. (4)anggaran birokrasi yang lebih didasarkan pada input (kebutuhan) diubah menjadi anggaran yang berorientasi pada output (hasil). (5)ditumbuh-kembangkannya sikap kritis masyarakat sebagai metode check and balance terhadap birokrasi sebagai upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel.

Terakhir ada baiknya jika tulisan ini ditutup dengan sebuah kutipan “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan satu orang manusia yang serakah” (Mahatma Gandhi).

Senin, 23 Juli 2012

Menyigi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 Tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan


Andra Eka Putra
 
***“… Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku semuanya” masih ingatkah pembaca dengan lirik lagu tersebut? Ya, lirik lagu Indonesia Raya. Jika sudah demikian bagaimana jika pertanyaan awal tadi penulis ganti dengan masih bermaknakah lirik lagu tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini maka penulis ingin mengajak pembaca terlebih dahulu untuk meresapi “nilai” yang ingin dikemukakan oleh W.R. Supratman selaku pencipta dari lirik lagu tersebut. Jika memperhatikan susunan kata pada lirik Indonesia Raya dimana Supratman memulainya dari tanah, negeri, bangsa, dan kemudian rakyat maka secara sederhana “Nilai dasar” itu adalah “jika ingin menghidupi rakyatmu, hidupilah terlebih dahulu bangsamu, jika ingin menghidupi bangsamu hidupilah terlebih dahulu negerimu, dan jika ingin menghidupi negerimu hidupilah terlebih dahulu tanahmu”, menghidupi tanah sama halnya dengan menghidupi rakyat: itu poin pentingnya.

Dari data yang ada, rupa-rupanya tanah di Indonesia tidak “hidup”, Sampai tahun 2005 saja dari hasil penelitian Sallamudin Daeng dkk dalam bukunya “SBY Mundur: Pertanggungjawaban Politik Pemuda Indonesia” (2011) mencatat bahwa 90% dari luas total tanah diseluruh Indonesia dialokasikan untuk kepentingan penanaman modal asing, jadi patut ditulis dengan kondisi tanah Indonesia yang tidak “hidup”  maka kecil kemungkinan rakyat Indonesia dapat “hidup.” Namun penulis disini tidak ingin terlalu jauh berada di (katakanlah) ranah “apresiasi sastra”, oleh itu maka penulis ingin menggiring pembaca ke ranah akar fundamen-nya yaitu apa yang sesungguhnya menjadi penyebab tanah di Indonesia tidak “hidup”.

Sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 1 ayat (3) Konstitusi kita bahwasanya Negara kita adalah Negara Hukum, maka produk hukum yang sangat erat kaitannya dengan pemaparan diatas adalah UU RI No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang kemudian mengacu pada Teori Jenjang Norma Hukum Hans Nawiasky dan Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka penulis kerucutkan kembali menjadi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan.

Bagian Peraturan Daerah (Perda) inilah yang ingin penulis kaji dengan melakukan tinjauan secara umum yang mana tulisan ini nantinya juga merupakan sebuah surat terbuka bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

***
Sebagaimana telah diketahui luas, Peraturan Perundang-undangan umumnya dibagi menjadi tiga muatan, yaitu (1) Bagian menimbang, (2) Bagian mengingat, dan (3) Bagian memutuskan-menetapkan. Secara sederhana bagian menimbang (juga biasanya disebut konsiderans) merupakan bagian yang berisi pertimbangan aspek filosofis, aspek sosiogis, dan aspek yuridis dibuatnya peraturan perundang-undangan, bagian mengingat merupakan dasar hukum, dan bagian memutuskan-menetapkan merupakan hasil akhir yang mana menjadi keputusan untuk kemudian ditetapkan dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dari definisi sederhana tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bagian fundamental dari sebuah peraturan perundang-undangan terletak pada bagian “menimbang” karena pada bagian inilah yang menjelaskan latar belakang atau tujuan dari kenapa suatu perundang-undangan tersebut dibuat.

Berangkat dari kontruksi logika diatas, maka latar belakang atau tujuan dari dibuatnya Perda Prov. Kalsel No. 10/2010 dapat dilihat dibagian menimbang pada Perda tersebut yang mana secara tegas disebutkan (penulis kutip utuh):
a.    Bahwa dalam rangka meningkatkan penanaman modal guna mendukung pembagunan perlu diciptakan suatu kondisi yang menjamin kepastian hukum, kemudahan pelayanan dan perizinan kepada para penanam modal;
b.    Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 176 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah, diperlukan landasan yuridis sebagai pedoman pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal kepada masyarakat dan/atau penanam modal di daerah dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah;
c.    Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan;

Dalam kacamata penulis, bagian “menimbang” dari Perda Prov. Kalsel No. 10 tahun 2010 ini cendrung bersifat “kontroversial”, kenapa demikian? karena dari 3 (tiga) poin yang disebutkan diatas tidak ada satu patah katapun yang menyinggung tentang kesejahteraan masyarakat. Tidak seperti umumnya Perda-Perda Penanaman Modal Provinsi lain semisal Perda Provinsi Jawa Tengah No.7 Tahun 2010 yang mana pada bagian menimbangnya (poin a) secara jelas mencantumkan “…kesejahteraan masyarkat” atau juga indukan dari Perda-Perda Provinsi tentang Penanaman Modal tersebut yakni UU RI No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana bagian menimbangnya (poin a) menyebutkan “…untuk mewujudkan masyarkat adil dan makmur.”

Baik UU RI No. 25 Tahun 2007 atau Perda Provinsi Jateng No. 7 Tahun 2010 tadi sama-sama dilatarbelakangi dan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dan atau untuk kesejahteraan masyarakat, sementara pada Perda Provinsi Kalsel No. 10 tahun 2010 hal tersebut tidak disebutkan secara jelas dan yang disebutkan justru hanya (poin a) “…guna mendukung pembangunan.”

Memang, jika mengacu pada UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU tersebut tidak mengatur atau mewajibkan pencantuman kata “kesejahteraan, adil, maupun makmur” pada bagian “menimbang” secara eksplisit, namun sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 5 UU yang sama maka Peraturan Perundang-undangan harus dibentuk berdasarkan Kejelasan Tujuan. Artinya dibentuknya Peraturan Perundang-undangan tersebut haruslah jelas bertujuan untuk apa dan untuk siapa?

Jadi, kembali kepada Peraturan Daerah Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan yang tidak mencantumkan “kesejahteraan masyarakat” sebagai tujuan dan hanya mencantumkan “penanam modal guna mendukung pembangunan”  maka pertanyaan penting selanjutanya adalah apakah pembangunan koheren dengan kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting dikemukakan karena bisa saja ada argumen yang menyatakan pembangunan tentu terotomatisasi langsung akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat. Oleh itu maka bagian berikut dari tulisan ini akan mengkaji hal tersebut.

***
Dewasa ini, setelah (katakanlah) “keruntuhan” faham-faham kiri, sadar atau tidak sadar maka ilmu pengetahuan cendrung diproduksi, dikontruksi serta dimonopoli oleh faham kanan, pun tidak terkecuali dengan teori pembangunan yang menjadi aspek bahasan, ketimpangan wacana global ini menyebabkan dikeberinya teori pembangunan kiri semisal neo-marxisme serta diinjeksikannya “penyebaran bibit” teori-teori pembangunan kanan semisal neo-klasik yang digawangi oleh Hicks dan utamanya Milton Friedman yang barang tentu berimplikasi langsung pada “tumbuh suburnya pohon-pohon” kapitalisme, “bibit subur” itu tumbuh diantaranya dalam teori pembangunan W.W. Rostow yang sekarang sedang awam digunakan.
Rostow menyatakan tahapan-tahapan dalam pembangunan dibagi menjadi lima tahapan yaitu: (1) Masyarakat tradisional (2) Prakondisi tinggal landas (3) Tinggal landas (4) Pematangan, dan (5) Konsumsi massa yang berlebihan (Kevin P. Clements, Teori Pembangunan: Dari Kiri ke Kanan, 1999).

Dari sini, nanti kita akan menemukan “benang merah” antara teori pembangunan Rostow dengan logika umum pembangunan di Indonesia umumnya tak terkecuali logika pembangunan yang juga terdapat dalam Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010.

Oleh itu, berangkat dari pembagian lima tahapan dalam pembangunan oleh Rostow tadi, maka indikator yang digunakan untuk mengukur sudah sejauh mana tahapan pembangunan adalah konsumsi masyarakat. Artinya semakin tinggi konsumsi masyarakat maka dipandang sebagai semakin meninggi pula tahapan pembangunan yang telah dicapai. Nah, untuk meningkatkan konsumsi masyarakat tersebut maka diperlukan kebutuhan akan investasi atau penanaman modal. Disinilah kemudian yang menjadi “benang merah” antara teori pembangunan Rostow dengan logika umum pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia – Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini tercermin secara jelas misal dalam Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 dimana penanaman modal digunakan untuk mendukung pembangunan. Dan kemudian terkait dengan pertanyaan sebelumnya yakni apakah pembangunan (yang menjadi latar belakang Perda Prov. Kalsel No. 10 tahun 2010) koheren dengan kesejahteraan masyarakat maka rupa-rupanya implikasi dari penggunaan “logika pembangunan Rostow” tadi alih-alih mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun justru malah memunculkan membengkaknya pengangguran, kemiskinan serta ketimpangan pendapatan.

Apa sebab? karena konsekuensi* (*bagian inilah yang sangat jarang diwacanakan secara “sehat” kepada publik, karena “dibatasinya” akses pengetahuan sebagai wujud monopoli pengetahuan faham kanan: neo klasik, strukturalis, etc) dari logika pembangunan Rostow ini berorientasikan kepada Pendapatan Per Kapita masyarakat (lanjutan dari konsumsi masyarakat) yang barang tentu akan sangat erat sekali kaitannya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pada titik inilah kemudian kita mengenal apa yang dinamakan strategi pertumbuhan.

Dengan menerapakan strategi pertumbuhan yang terlalu menekankan kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka pilihan pembangunanpun tentunya akan lebih diorientasikan kepada sektor-sektor yang mempunyai peluang kemungkinan lebih besar untuk menghasilkan output yang lebih tinggi, efisien dan juga massal. Hal ini terbukti misal pada Pasal 8 ayat (2) Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 dimana disebutkan “…diarahkan pula kepada bidang-bidang usaha prioritas atau usaha unggulan.” Problemnya adalah definisi dari apa itu usaha prioritas atau usaha unggulan tidak dijabarkan secara jelas pada Pasal 1 yang menjadi ketentuan umum Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010. Dengan tidak dibikinnya garis definisi yang tegas maka usaha prioritas atau usaha unggulan tersebut akan menimbulkan “multitafsir” yang oleh karena itu jika usaha prioritas atau usaha unggulan tersebut dihadapkan pada pilihan pembangunan padat modal atau pembangunan padat tenaga kerja maka barang tentu pembangunan padat modal-lah yang menjadi prioritas karena pada karakter pembangunan jenis ini penggunaan tekhnologi lebih diutamakan dan juga umumnya menghasilkan output yang lebih besar, serta lebih efisien.

Pilihan pembangunan padat modal pada kenyataannya memang ampuh untuk menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang “spektakuler”, namun pada kenyataannya juga justru jenis karakter pembangunan yang seperti inilah yang menimbulkan membengkaknya pengangguran oleh karena tidak terserapnya tenaga kerja (teknologi lebih diutamakan). Dari titik krusial ini (baca: pengangguran) maka pada akhirnya akan menghasilkan “kemiskinan individu” dan membentuk masyarakat daerah domisili penganggur, disisi lain individu-individu penanam modal dan masyarakat perkotaan semakin intensif mendapatkan akumulasi keuntungan. Pola seperti inilah yang menjadi aktor utama dalam menggali jurang daerah maju (kota) yang semakin kaya sementara daerah terbelakang (desa) semakin tertinggal, menimpangkan pendapatan masyarakat dimana si-kaya akan semakin kaya dan si-miskin akan semakin miskin, atau -meminjam istilah Karl Marx- menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia oleh manusia”: la’exploitation de la’homme per la’homme.

Oleh itulah jika yang dimaksudkan Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 mengenai mendukung “pembangunan” itu (tapi) mengacu pada logika umum pembangunan diatas, maka bisa dikatakan jawaban dari apakah ada kekoherenan antara pembangunan dengan kesejahteraan masyarakat tidak mutlak ada. Dan jika sudah demikian, patutlah kiranya masyarakat mempertanyakan apakah “motif” yang melatarbelakangi dan atau menjadi tujuan dari pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 Tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan ini. Patutlah kiranya Pemerintah – Pemerintah Daerah dalam membentuk sebuah Peraturan Perundang-undangan murni mempunyai “tujuan” untuk mensejahterakan masyarakatnya, karena logika dasar kenapa kita ber-Negara adalah tentu dus untuk sejahtera.

Sebagai “mistar” bagaimana harusnya “jiwa” yang dimiliki suatu Peraturan Perundang-undangan utamanya yang terkait dengan pembangunan bisa kita lihat pada Orde Lama Soekarno, semisal TAP MPRS No. II Tahun 1960 dimana bagian “menimbangnya” (poin b) secara tegas mengatakan “… untuk menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau Masyarakat Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh manusia, guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat;” Lihatlah, betapa mulia tujuan Peraturan Perundang-undanganan itu, kemana semangat “Soekarno” itu sekarang, kemana semangat “Tan Malaka”, semangat “Hatta”, semangat “Sjahrir” dan atau semangat “Pendiri Bangsa” yang lain yang menuntut Merdeka 100%,

… atau jangan-jangan nyatanya kita memang tidak pernah “Merdeka?”

***
Begitulah kira-kira langkah awal penulis dalam usaha penyigian terhadap Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 tentang penanaman modal, dimana jika diteoritiskan dan diilmiahkan ternyata pembangunan tidak selalu mesti koheren dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk itu besar harapan penulis khususnya dan masyarakat umumnya ada upaya dari Pemeritah Daerah Provinsi Kalsel untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 setidak-tidaknya dengan mencantumkan “kesejahteraan masyarakat” sebagai tujuan dan niatan awal dibentuknya Peraturan Daerah ini.