Senin, 15 Mei 2017

The Founder (2016)

Secara garis besar, saya kira film sejarah restoran cepat saji McDonald's ini merupakan bentuk brutal dari sekularisasi istiqamah. Ray Kroc yang semasa remaja (bersama Walter Elias "Walt" Disney) bekerja sebagai sopir ambulans palang merah, pada usia 52 tahun masih menjadi seorang sales mesin milkshake untuk kemudian pada akhirnya membangun imperium makanan cepat saji sebanyak 1600 restoran di 50 negara bagian Amerika dan 5 negara asing dengan pendapatan tahunan mencapai 700 juta dolar.

Bagaimana bisa? Persis seperti Ronald Wilson Reagan yang menjadi Gubernur California di usia 56 tahun, Ray Kroc di usia yang tampaknya terlalu tua untuk hal apapun itu mengergaji stigma dengan satu kata: Ketekunan. Kroc mentaklid tesis Clarence Floyd Nelson yang meraung di tengah malam buta pada sebuah hotel kelas melati; "Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang dapat mengambil tempat dari ketekunan. Bakat tidak akan bisa sebab ada banyak orang bertalenta yang tidak berhasil, kejeniusan tidak akan bisa sebab orang jenius yang tidak dihargai adalah sesuatu yang klise, pendidikan tidak akan bisa sebab dunia ini penuh dengan orang bodoh berpendidikan."

Sebab itu, alih-alih bertutur banyak tentang Dick McDonald dan Mac McDonald yang sejatinya adalah pembuka gerai pertama McDonald's, The Founder justru menyorot McDonald's dari sudut Ray Kroc yang memaku konsep waralaba untuk McDonald's. Jadi tak ada elaborasi mendalam atas simbol lengkungan emas McD atau sistem speedee restoran yang sangat revolusioner dizaman itu, hanya ketekunan-ketekunan yang berisi milkshake bubuk bermerk Inst-A-Mix, Yahudi yang menjual Kitab Katolik, adu gulat pengacara, dan gugatan datar perceraian di meja makan.

Meski demikian, saya menyukai Ray justru kerena ia tak sempurna. Dibalik ambisi selalu ada penglihatan luas. Ditengah keterbatasan kontrak kerja dengan McDonald bersaudara yang membuat Ray menggadai rumah, Ray justru melihat apa yang tidak dilihat Dick dan Mac, Ray melihat McD bukan lagi sebagai bisnis penjualan burger tapi bisnis properti atas tanah. Semakin banyak retoran McD semakin banyak tanah dimiliki Franchise Realty Corporation kepunyaan Ray Kroc. Singkatnya Ray berkata pada McDonald bersaudara; "kalian mempunyai kuasa penuh atas apa yang terjadi di dalam restoran, tetapi di luar? atas? bawah? otoritasmu hanya sampai pintu saja." Metode Ray –yang diinisiasi oleh Harry Sonneborn- ini menggelincirkan McDonald bersaudara sampai pada tingkat larangan menggunakan nama mereka sendiri untuk berdagang.

Diakhir cerita ada adegan menarik, ketika Dick McDonald bertanya kenapa Ray tidak "mencuri" McDonald's dari pertama kali mereka bertemu, Ray menjawab "ada satu hal yang membuat McDonald’s istimewa yakni namanya, itu nama yang mulia, dia dapat menjadi apapun yang kamu inginkan, tidak terbatas tapi terbuka lebar. Dibandingkan dengan Kroc, apa itu Kroc? Apakah kamu mau makan ditempat bernama Kroc, Kroc kedengaran seperti suara orang Slavic bodoh." Adegan ini saya kira menjadi sebuah nyanyi bisu untuk kita bersama yang faktanya pada saat ini dari popok bayi sampai nisan kuburan terikat dengan merk. Bedebah lah.

Minggu, 26 Maret 2017

Captain Fantastic (2016)

Yang mutlak harus diingat, kata Captain disini bukan diperuntukkan untuk sosok tua super fiktif dengan tameng yang dianggap menyimbolkan patriotisme, tapi untuk sosok ayah yang memimpin gerombolan rimba menghabisnikmati hari dengan berburu kijang, memanjat tebing, membaca buku, memainkan musik dan tidur dibawah bintang. Agak mempunyai basis ide yang sama saya kira dengan Into The Wild (2007), bedanya Alexander Supertramp tak lagi bujang, tapi sudah beristri dengan enam orang anak.

Ben Cash (Viggo Mortensen) dengan jambang tentu saja, memimpin Bodevan, Kielyr, Vespyr, Rellian, Zaja dan Nai untuk tinggal dihutan menjauhi hiruk pikuk laku konsumtif. Akan menjadi sangat biasa kiranya jika sebuah film bertutur tentang keluhuran konsep "pembangkangan agung" Sosiolog Jerman Herbert Marcuse, dan Matt Ross tak ingin menjadi biasa, sebab itu ia membawa Ben turung gunung (baik secara makna kata atau makna sebenarnya) dengan momen pemakaman Leslie Cash yang membunuh dirinya dengan menyayat urat nadi.

Turun gunungnya Ben dalam amatan saya membuat Captain Fantastic (2006) menjadi begitu brutal, seksi dan penuh gairah. Keluruhan konsep membentur aspal jalanan.

Sebagai contoh, di bagian adegan ketika Dave bertanya tentang pemasukan pada Ben. Dalam pola pikir sederhana, hidup dihutan bentara tentu membawa dampak pada ketidakbekerjaan formal individu dan karenanya tak bergaji, sementara ada enam orang anak yang harus dipertanggungjawabi baik dari segi sandang, papan, pangan. Ben menjawab "kami hanya membeli barang yang kami butuhkan." Ini sangat mengena saya kira, baik saya pribadi maupun manusia-manusia pada umumnya yang justru lebih disibukkan dengan memenuhi keinginannya ketimbang kebutuhannya. Analisis lebih jauh soal ini pernah dijabarkan Filolog Jerman Friedrich Nietzshe, namun dalam pemahaman singkat saya ketika kita dahaga sebenarnya kita cukup memerlukan air putih dan bukan Coca Cola.

Selain kebutuhan primer diatas, tanggung jawab orang tua utamanya ayah tak hanya selesai disitu, dan ini yang dipertajam oleh Harper istri dave, "mereka harus sekolah, mereka harus belajar tentang dunia" terang Harper. dan Ben lantas menanyai Jackson (13 tahun) anak Harper UU HAM yang oleh Jackson dijawab dengan "sesuatu yang memakan biaya." Sementara Zaja (8 tahun) setelah ditanyai Ben menjawab "tanpa UU HAM kita mungkin akan seperti di Cina, disini setidaknya penggeledahan ada suratnya, kita punya kebebasan berbicara." Setidaknya jawaban dua bocah itu memproyeksikan pada kita bagaimana nalar yang disebut Filsuf Austria Ivan Illich sebagai belenggu sekolah.

Captain Fantastic (2016) memang banyak mengemas Marx, Trotsky, Pol Pot, saluran kemih Uretra, Buddhisme dll, maksud saya ada segudang pengetahuan di sini. Terlepas dari Ben dan anak-anaknya yang merayakan hari kelahiran Noam Chomsky. Sungguh ingin rasanya berhenti menulis tepat dititik ini, agar Captain Fantastic (2016) terlihat sempurna, namun karena kesempurnaan memang hanya omong kosong maka saya lanjutkan tulisan ini dengan menuliskan bahwa diakhir cerita Ben mencukur jambangnya setelah berbincang dengan Jack.