Senin, 13 Oktober 2014

The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro (2014)



Soundtrack sekuel kedua dari The Amazing Spider-Man ini tidak “sekeren” pendahulunya. Jika pada seri satu kita bisa mendapati “suara tenor” nya Christopher Anthony John Martin dalam ‘Til Kingdom Come, Rise of Electro bagi saya tidak memberikan kesan apa-apa, sebagai seorang komposer film yang telah beberapa kali memenangi dan menjadi nominasi Academy, Grammy, Satellite dan Golden Globe Awards, Hans Zimmmer terlalu hambar. “…I Feel Disappointed” ujar soundtrackgeek.com; sebuah situs yang mengkaji film scores dan mereviews soundtrack.

Disamping hambar dalam musiknya, Rise of Electro juga dangkal dalam segi cerita. Alex Kurtzman dan Roberto Orci, menulis ulang cerita dengan tafsiran yang hanya cocok untuk dinikmati anak sekolah menengah pertama, padahal superhero tentu tak hanya milik mereka. Anda bayangkan saja, sebuah cerita monoton dengan rentetan adegan kehebohan teknologi, dialog yang tidak layak diingat, dan tokoh lebay yang tidak natural. Oh.. God! Groucho Marx benar ketika menyatakan televisi sangat mendidik, sebab ketika dinyalakan, akan membuat orang pergi keruangan lain untuk membaca buku.

Singkat kata, Spider-Man (masih diperankan Andrew Garfield) mempunyai dua musuh baru; Green Goblin (Dane DeHaan) dan Electro (Jamie Foxx), dan keduanya berhasil dikalahkan. Disini, saya tertarik untuk mengkaji Electro a.k.a. Max Dillon ketimbang Rise of Electro, dan saya lebih tertarik lagi untuk mengaji Max Dillon sebagai sesosok manusia daripada Electro.

Seperti diceritakan, Max Dillon adalah seorang teknisi listrik culun yang bekerja pada Oscorp Industries. Dengan selera berpakaian yang begitu buruk, mestinya Max mudah diingat oleh rekan sekantornya, akan tetapi justru sebaliknya; Max di-Abai-kan (dengan “A” besar), bahkan ketika Max mengalami dan menjadi korban kecelakaan yang menyebabkan ia berubah menjadi Electro. File data pribadinya dihapus, kejadiannya dirahasiakan, dan semua kembali berjalan normal.

Salah satu diantara sangat-sangat sedikit kejadian menarik; di Oscorp Industries, tanpa disengaja Max berada satu Lift dengan Gwen Stacy (Perempuan Peter Parker, diperankan Emma Stone), Max ingin ke lantai 74 dan Gwen ke lantai 63. Lantas, terjadilah percakapan berikut:
Max : “Aku Max, Max Dillon”
Gwen : “Aku Gwen”
Max : “Senang bertemu denganmu”
Gwen : “Sekarang hari ulang tahunmu?” (melirik keselebaran yang dibawa Max)
Max : “Oh, ya. Teman-temanku membuat selebaran ini. Aku merayakan ulang tahunku di klab besar”
Gwen : “Wauw..”
Max : “Aku ingin mengundangmu, tapi daftar tamunya sudah penuh”
Gwen : “Oh, aku paham. Tapi, terima kasih banyak”
Max : “Pasti keren dilihat seluruh dunia seperti itu” (melihat siaran televisi didalam lift)
Gwen : “Spider-Man menolong?
Max : “Spider-Man pernah menyelamatkan ku sekali. Dari semua orang di kota ini, dia menyelamatkan…. Diriku. Dia bilang membutuhkan ku.
Gwen : (pintu lift terbuka) “senang bertemu denganmu, Max”
Max : (kaget) “Tunggu, dia mengingat namaku.”
Bagi saya, percakapan diatas menunjukkan beberapa hal, yakni:
  • Bagi orang yang terpinggirkan, berbohong dengan cara yang bombastis adalah sebuah kewajaran
  • Max adalah orang yang benar-benar terabaikan, ia senang bukan kepalang ketika Gwen mau mengingat namanya, seperti sebuah keajaiban. 
  • Max mencari pengakuan atas eksistensi dirinya melalui kebutuhan orang lain atasnya.
Dari situasi sikologis yang dialami Max, setidak-tidaknya akan memunculkan dua kondisi yakni yang pertama, Max akan menjaga keras kebutuhan –juga bisa dibaca sebagai kepercayaan- orang lain atasnya (lihat bagian dalam Rise of Electro, ketika Spider-Man dan Harry Osborn menyatakan membutuhkan Max, dampaknya Max menjadi seorang spidey fanaticism dan Max memutuskan untuk berkolaborasi dengan Harry), dan yang kedua, jika kepercayaan tersebut kembali direnggut darinya, maka Max tidak lagi menjadi Max, tapi sebagai Electro absolut (lihat bagian ketika Electro yang awalnya masih mempunyai sifat-sifat Max merasa dikecewakan oleh Spider-Man, dampaknya sisa-sisa sifat Max memudar, yang ada hanyalah kebrutalan Electro).

“Kebrutalan,” hanya itulah yang kita dapat dari “pengabaian,” jauh sebelum Rise of Electro (2014), pada tahun 1999; didepan William Jefferson Clinton dan anggota kongres, filsuf serta aktivis politik kelahiran Rumania; Eliezer Wiesel menyampaikan pidato legendarisnya mengenai betapa memikat dan berbahayanya pengabaian.

Saya kutipkan disini: “akan lebih muda jika kita memalingkan wajah dari para korban, agar kita bisa terus bekerja, bermimpi, dan berharap. Lagipula, rasanya janggal untuk terlibat dalam penderitaan orang lain. ….tapi, normalkah kita ketika kita menikmati hidangan kalkun lezat dan segelas anggur, sementara lingkungan disekitar kita mengalami pergolakan yang mengerikan?”

Saya berandai-andai, jika saja para pegawai Oscorp Industries mengetahui pidato Elie, Max tentu akan tetap menjadi Max, dan jikapun Max telah menjadi Electro, saya yakin ia tetap akan mati dan dikenang sebagai Max Dillon.

**
Pelaihari, 13 Oktober 2014

Sabtu, 11 Oktober 2014

Nothing But The Truth (2008)

“Dalam hidup, semua hal mempunyai alasan…”  

kalimat itulah yang langsung melekat kuat ketika saya menamatkan film besutan pria lulusan Akedemi Militer Amerika Serikat kelahiran Israel, Rod Lurie. Selain menulis dan menyutradarai film, Lurie juga menulis buku Once Upon a Time in Hollywood: Moviemaking, Con Gomes, and Murder in Glitter City yang terbit tahun 1995 lalu.

Film ketiga dari empat film Lurie ini -The Contender (2000), The Last Castle (2001), Nothing But The Truth (2008), dan Straw Dogs (2011)- diplot secara sederhana dengan alur yang sebenarnya tidak terlalu luar biasa namun sukar ditebak dan anda akan terkejut dibagian akhirnya. Hal-hal yang lalu lalang dikehidupan sehari-hari semisal prinsip, tanggung jawab, konsekuensi, integritas, hukum, keamanan negara, seks, atau selera berpakaian dibungkus dan diceritakan kembali oleh Lurie dalam Rachel Armstrong (diperankan Kate Beckinsale); seorang reporter perempuan yang setiap hari selasa mempunyai kolom di Harian Capital Sun Times.

Saya ingin memulai adegan film ini dari sebuah bus, dan lalu lapangan sepakbola yang digunakan Allison Van Doren (Kristen Bough). “well, tak ada yang suka bertahan” kata Rachel pada Erica Van Doren (Vera Farmiga) yang tengah asik melihat anaknya; Allison, bermain bola. “Bisa kita bicara berdua?” lanjut Rachel, “Ya tentu, aku hanya khawatir jika dia melihatku pergi” sambung Erica. Dari percakapan inilah apa yang hendak dikisahkan Nothing But The Truth dimulai, Rachel bertanya pada Erica apakah ia agen CIA yang menjalankan misi mencari fakta di Venezuela terkait upaya pembunuhan atas Presiden Lyman.

Lyman setidaknya ditembak dengan tiga kali tembakan, dan tiga minggu kemudian –sebagai respon Lyman atas laporan CIA-  pesawat tempur Amerika menyerang pangkalan udara Venezuela.

Hal yang mengejutkan, berdasarkan “sumber” yang diperoleh Rachel, Erica adalah agen CIA yang menulis laporan yang menyatakan bahwa Venezuela tidak bertanggung jawab atas tiga kali tembakan terhadap Presiden Lyman. Artinya, peristiwa buruk jika warga Negara mengetahui bahwa pemerintahnya menggerakkan pesawat tempur berdasarkan angan-angan.
dan, Rachel Armstrong memberitakannya….

Tapi saya tak akan tergoda untuk terlalu jauh bercerita, yang menarik bagi saya adalah bagaimana “nalar” yang bekerja dibelakangnya sehingga “semua menjadi tampak benar” jika Nothing But The Truth dilihat dari kacamata Rachel, Ray Armstrong (Suami Rachel, diperankan David Schwimmer), dan Patton Dubois (Jaksa Khusus Negara yang ditunjuk untuk menyelidiki kebocoran Laporan Erica, diperankan oleh Matt Dillon).

Nalar bagi Patton Dubois adalah nalar bayani, nalar bagi Ray adalah nalar burhani, dan nalar bagi Rachel adalah nalar irfani. Trilogi nalar -dipopulerkan cendikiawan muslim Maroko; Abid al-Jabiri (1936-2010)- ini lah saya gunakan untuk menyigi nalar yang bekerja pada Nothing But The Truth.

Saya bisa bayangkan, betapa kacaunya jika Nothing But The Truth dijalankan dengan patron yang berbeda, misal tokoh Ray dengan basis nalar burhani, diganti dengan Ray berbasis nalar irfani, yang justru akan menjadi korban adalah Timmy Armstrong (anak laki-laki dari Ray dan Rachel, diperankan Preston Bailey) yang akan tumbuh besar dengan ibu yang sedang di Penjara. Tentu saya tidak menyarankan agar setiap suami menyelingkuhi istrinya yang sedang depresi di penjara, tapi apa yang dipilih Ray adalah pilihan Ayah yang rasional yang memikirkan masa depan Timmy tanpa perlu AXA Mandiri.

Dubois yang bekerja berdasarkan teks tertulis, dan kaidah-kaidah hukum, tidak mungkin diganti dengan Dubois yang bekerja atas dasar intuisi/Zdauq, jika dipaksakan tentu Rachel akan bebas dan menjadi contoh buruk bagaimana begitu mudah dan tidak terselesaikannya gangguan atas stabilitas Negara. Begitu pun dengan Rachel yang menggunakan nalar irfani, jika diganti dengan katakanlah Rachel dengan nalar burhani, maka Nothing But The Truth sebagai sebuah film akan selesai dalam durasi waktu hanya kurang lebih empat menit dua puluh satu detik.

Dari dua paragraf diatas, terlihat bahwa kelangsungan Nothing But The Truth sangat ditentukan oleh kesesuaian dari tiga nalar yang bekerja dibelakangnya dengan sepengetahuan dan ukuran yang ditetapkan oleh Lurie. Semua mempunyai peran, semua mempunyai arti, dan semua mempunyai alasan masing-masing. Mengibiri salah satunya adalah hanya sebuah kebodohan. Rod Lurie tak sendirian disini, al-Qamar ayat ke-49 menyatakan “sesungguhnya, kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

Apa arti sebuah “ukuran” atau lebih tepatnya sampai sejauh mana “ukuran” tersebut?

Meski Albert Burnside (pengacara Rachel, diperankan Alan Alda) sudah berkata manis, saya kutipkan disini: “karena aku membela Rachel Armstrong, bukan sebuah prinsip” dan “mulanya, aku piker Rachel dan Prinsip adalah dua buah bagian, tapi ternyata ia satu,” bagi Lurie, ukuran sudah ditetapkan, dan ukuran itu ada pada durasi satu jam tiga puluh enam menit tiga puluh tiga detik ketika Rachel memutuskan untuk berbicara dengan Albert.

Albert Burnside memang seorang yang mengerti kata-kata untuk diingat, ia berujar “seseorang bisa menjalani kehidupan yang baik, menjadi terhormat, dan berbuat amal, …tapi pada akhirnya, jumlah orang yang datang pada pemakamannya umumnya tergantung pada cuaca.”

**
Pelaihari, 11 Oktober 2014