Kamis, 31 Desember 2015

Pawn Sacrifice (2014)

Disamping menemukan Tuhan, tidak ada lagi yang lebih menggembirakan selain mendapati film menyejarah, kira-kira begitulah awalan untuk membuka film besutan Edward Zwick, Pawn Sacrifice (2014).

Dalam Pawn Sacrifice (2014), segala-galanya menarik, ganas dan ode tak berlebihan lain, singkatnya Zwick menjelaskan film ini diberi judul "Pawn Sacrifice" sebab dibelakang Bobby Fischer ada Henry Kissinger juga Richard Nixon, dibelakang Boris Spassky ada Leonid Brezhnev serta KGB (bukan Kelenjar Getah Bening tentu saja tapi Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti).

Kita tahu Pawn Sacrifice (2014) sepintas sederhana mengisahkan duel Fischer (diperankan Tobey Maguire) dengan Spassky (Live Schreiber) di papan catur Islandia tahun 1972. Namun kita juga tahu, bila mentaklid Zwick maka Pawn Sacrifice (2014) menjadi arena ide-ide yang tak lagi sederhana.

Edward Zwick menolak gamblang lagi tak serampangan kata-kata Fischer muda: "Pendapatku soal permainan, dua orang diatas papan catur, satu membuat langkah, yang lainnya juga melangkah, itu saja." Saya gunakan "Fischer muda" bukan tanpa disengaja, setali tiga uang dengan Karl Marx yang ditafsir sebagai Marx Muda dan Marx Tua atau Al-Ghazali fase Tahafut al Falasifah dan Al-Ghazali Ihya Ulumuddin, Fischer pun demikian, kita demikian, manusia demikian. Fischer pada bagian sentral film menjadi Fischer yang tak cukup "itu saja," tapi Fischer paranoid dengan tingkah rockstar yang mengalami psikosis delusional atas Soviet. Dalam salah satu suratnya kepada Regina Fischer (diperankan Robin Weigert), Bobby Fischer menyatakan "Komunis menginfeksi pikiranku dengan kata-kata yang terus mengulang." Sementara disudut lain, pengacara ajaib Fischer yang patriotik, Paul Marshall (Michael Stuhlbarg) berkata "Da Vinci dari Brooklyn melawan seluruh kekaisaran Soviet." logika patah Marshall seolah-olah berkata bahwa Robert James "Bobby" Fischer sendirian melawan Spassky sang Mesias, Sekjen Partai Komunis Brezhnev dan Badan Intelejen KGB. Tentu saja tidak demikian.

Kita tahu, 1972 adalah sebuah rentang periode ketegangan politik antara E Pluribus Unum Amerika dengan Palu Arit Soviet setelah kejatuhan Panji Swastika Jerman, era perang dingin; tanpa aksi militer langsung, ajang spionase dan propaganda yang akrab dengan nuklir, penyebab konflik regional krisis rudal Kuba dan penembak-jatuhan Korean Air Lines 007. Tahun 1972 adalah parade kompetisi olahraga sportif-tak sportif yang pengacara Fischer sebut sebagai "pembuktikan keunggulan intelektual."

Dihilir, Soviet roboh dihantam –dari dalam- liberalisasi prestroika/glasnost Gorbachev atau dalam bahasa salah satu dosen yang tidak membuat saya angkat topi; pembukaan keran-keran demokrasi. Spassky juga roboh dihantam keseksian Fischer pada babak ke-6.

Bagi Zwick, Pawn Sacrifice (2014) adalah antitesis telak kata-kata latin Gens Una Sumus (Kita adalah Saudara), film catur yang mengantitesis motto catur. Bagi saya, Pawn Sacrifice (2014) adalah karnaval kemenangan pena atas senjata.

Sabtu, 12 Desember 2015

Mommy (2014)

Resensi ini ditulis tepat setelah running text TVRI memberitakan satu pengendara Go-Jek ditusuk tukang parker di Kawasan Sunter Mall Jakarta atau persis setelah tadi siang Indonesia menyelesaikan hajat demokrasinya melalui Pilkada serentak.

Dengan alat peraga seadanya, tanpa perangkat lunak pengolah kata terbitan 1983 (Office Word) dan koneksi internet stabil. Mommy (2014) coba ditulis. Dirilis pada pertengahan September 2014, film garapan sutradara muda Kanada kelahiran 1989; Xavier Dolan-Tadros ini menuturkan kisah bagaimana ketangguhan seorang Ibu yang ditinggal mati suami (Diane Despres) membesarkan anak laki-laki (Steve Despres) pengidap Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau gangguan perkembangan aktivitas motorik yang menyebabkan anak-anak berbuat tidak lazim, meletup-letup dan berlebihan.

Sebuah plot cerita sederhana sebenarnya yang bahkan membuat Wikipedia memberikan porsi lebih besar untuk bagian nominasi dan penghargaannya ketimbang bagian plot cerita itu sendiri. Prix du Jury Cannes 2014, Best Foreign Film Cesar Awards ke-40, Best Film Jutra Award ke-17 dan banyak penghargaan lain yang tidak saya tulis.

Sederet penghargaan yang mungkin tidak diketahui oleh Juru Parkir Sunter Mall itu justru anehnya secara ajaib membawa saya pada pengetahuan bahwa penyebab telak Pilkada serentak tahun ini tidak seganas Pilkada sebelumnya adalah dampak dari pemberlakuan Undang-Undang 8 Tahun 2015 dimana pada Pasal 65 ayat (2) UU Pilkada ini disebutkan bahwa "kampanye difasilitasi oleh KPU dan didanai oleh APBD," berbeda radikal dengan kampanye sebelumnya dimana dana kampanye didanai oleh pasangan calon. Meski sama sekali tak berpangaruh pada saya atau Xavier Dolan, namun pengalihan sumber dana kampanye ini membuat adanya batas modal yang menyebabkan tidak terpublikasinya pasangan calon atau tidak lagi -meminjam bahasa Goenawan Mohamad-  seperti monyet dalam iklan kartu XL.

Iklan memang selamanya menarik, setengah kebodohan dan penyebab hilangnya kefokusan pada Mommy (2014), tapi saya tak gentar, iklan yang membuat kita membeli barang yang tak kita butuhkan itu bisa saja bukan penyebab tunggal pengemudi Go-Jek mengalami luka tusuk dan sayat di paha sebelah kiri, tetapi iklan jelas bertanggung jawab pada perilaku Diane yang mengejek dirinya sendiri dengan mengucap "pakaianku seperti sarapan anjing."

Diane "Die" Despres (diperankan Anne Dorval), wanita dengan takdir sejuta masalah itu meski menggunakan lidahnya secara serampangan dan mengindahkan salah satu anjuran Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Diane menjalani hidupnya sebagaimana seharusnya hidup.


Menjelang bagian akhir Mommy (2014), Diane berkata pada Kyla (diperankan Suzanne Clement), "… Kau tahu Kyla, aku mengirimnya kesana karena aku punya harapan. Aku penuh dengan harapan, paham? Dunia ini memang tidak memiliki ribuan harapan. Tapi aku ingin menganggap bahwa dunia ini penuh dengan orang yang penuh harapan setiap harinya. Sebaiknya begitu, karena orang yang penuh harapanlah yang bisa merubah sesuatu. Dunia yang penuh harapan dengan orang-orang tanpa harapan itu tidak ada gunanya. Aku melakukan apa yang harus aku lakukan, dengan cara itulah harapan akan tumbuh. Sehingga aku bisa menang sepanjang jalan. Jadi kue atau makanan kering?"

Minggu, 06 Desember 2015

Sophie Scholl (2005)

"Kos di apartemen dua kamar di Munich, Jl. St. Franz-Joseph No. 13 milik Schmidt tanya Mohr pada Sophie."

Saya pikir dititik inilah ujaran kenabian yang hendak disabdakan Sutradara Marc Rothemund dan Penulis Fred Breinersdorfer dalam film yang dinominasikan sebagai film berbahasa asing terbaik Oscar tahun 2005; Sophie Scholl – Die letzten Tage.

Robert Mohr (1897-1977), laki-laki rapi yang berprofesi sebagai interrogator Gestapo mengepalai komisi penyelidikan dan penangkapan “operasi intelektual” White Roses (Juni 1942 – Februari 1943) di Jerman. Mohr yang sebelumnya magang sebagai tukang jahit menginterogasi Sophie Scholl disebuah sesi lebih dari sehari untuk sampai pada sebuah kesimpulan atau lebih tepatnya dakwaan bahwa “apa yang kau (Sophie) dan kakakmu (Hans) lakukan dimasa peperangan adalah aksi menentang masyarakat.”

Seperti hal nya hidup dan kehidupan, “ke-seksi-an-nya” bukan terletak pada sebuah hasil melainkan pada proses-proses-nya. Seperti itu pula Sophie Scholl (2005), kita dengan mudah tentu saja dapat menebak Sophie dan Hans serta belakangan Christoph Hermann Probst akan didakwa bersalah, namun bagaimana luapan dingin argumen-argumen Sophie untuk menyatakan bahwa ia benar adalah sebuah keseksian.

Simak diantaranya percakapan berikut ini:
  • Mohr : "Kau mendambakan kemakmuran rakyat Jerman kan, Nona Scholl?"
  • Sophie : "Ya"
  • Mohr : "Kau tak merencanakan pemboman seperti Elser brengsek di pabrik bir Munich 1939? Kau memilih slogan yang keliru, tapi menggunakan cara-cara damai."
  • Sophie : "Lantas kenapa kau menghukum kami?"
  • Mohr : "Karena hukum, tanpa hukum maka tak ada Pemerintahan"
  • Sophie : "Hukum yang kau maksud yang membela hak orang bersuara… sebelum Hitler berkuasa tahun 1933. Sekarang, dibawah rezimnya, orang bersuara dipenjara dan dihabisi. Pemerintahan yang begitu?"
  • Mohr : "Jika kita tak mentaati hukum, apalagi yang harus dijadikan pijakan?"
  • Sophie : "Nuranimu"
  • Mohr : "Sungguh? Ini hukum dan ini kehidupan sosial. Sudah tugasku sebagai polisi untuk memeriksa perilaku masyarakat apa sesuai tidaknya dengan hukum… menyelesaikan masalah yang ada."
  • Sophie : "Hukum berubah-ubah, Nurani tidak."

Ini percakapan brilian yang tidak menghentikan saya pada kesimpulan lazim “Hukum berubah dan Nurani tidak,” tapi justru membawa pada pertanyaan-pertanyaan garang lanjutan semisal apa yang melatarbelakangi terbentuknya hukum, apa yang menyebabkan Negara ada, nurani bagaimanakah yang dimaksud Sophie, penyebab sudut pandang Mohr dan sebagainya. Beribu pengetahuan serta ingatan menarik berkumandang, kontrak sosial Jean Jacques Rousseau, Geneologi Moral Friedrich Nietzsche, film drama Kanada arahan Xavier Dolan sampai kepada hukum Al-Quran menurut menantu Gus Mus; Ulil Abshar-Abdalla.

Disinilah keseksian yang membuat manusia beradab dengan simpul tidak tahu apa-apa, disinilah tempat membunyai tiga tingkatan ilmu oleh Umar "Al Faruq" bin Khattab, disinilah loka penghayatan kata-kata Buaya Hamka, disinilah Sophie Magdalena Scholl akhirnya tewas diujung pisau besar Guillotine.