Rabu, 26 September 2012

Kapitalisme yang mana?

**Andra Eka Putra

(Tanggapan terhadap Bebaskan Perempuan dari Belenggu Kapitalisme – Dr. Hastin Umi Anisah, SE MM)

Umumnya, sikap seorang muslim(ah) terhadap konsep-konsep yang datangnya dari Barat baik itu semisal pluralism, liberalism, demokrasi, sosialisme, atau kapitalisme adalah menerima, menerima dengan kritik/koreksi, menolak, atau menolak dengan kecaman. Pun tidak terkecuali dengan tulisan Dr. Hastin Umi Anisah, SE MM (dimuat dalam rubrik Opini Banjarmasin Post, Selasa, 6 September 2011) atau tulisan saya (baca: penulis) yang akan memberikan tanggapan terhadap tulisan tersebut berdasarkan “frame” nya masing-masing.

Dalam tulisan dengan judul bebaskan perempuan dari belenggu kapitalisme tersebut, Dr. Hastin menurut hemat penulis memberikan (1). Pengkategorian perempuan dimana pertama perempuan dipandang sebagai obyek/korban kapitalisme, kedua sebagai pegiat kapitalisme, ketiga sebagai muslimah, dan (2). Anjuran untuk memilih kategori ketiga, yaitu perempuan muslimah dengan sarana syariah islam untuk menaklukkan kapitalisme.

Namun, tidakkah islam sendiri kompetibel dengan kapitalisme hingga tidak perlu saling takluk-mentaklukkan?

Sebelum melangkah lebih jauh hal yang perlu diingat, yaitu tulisan ini bukan merupakan sebuah upaya untuk menjustifikasikan kecocokan islam dengan kapitalisme, akan tetapi lebih kepada sebuah argumen yang lain dengan menggunakan metode dan kacamata yang lain pula.

Dalam konteks Indonesia dulu, perjumpaan islam dengan kapitalisme maupun sosialisme menurut sisi historisnya jauh sebelum Indonesia itu sendiri merdeka. Berdasarkan data sejarah yang ada, pada abad ke-19, ada sebuah perkumpulan pribumi yang di ketuai oleh Haji Omar Said Cokroaminoto yaitu Syarekat Islam atau yang sebelumnya di kenal dengan nama Syarekat Dagang Islam (SDI). Kata “dagang” secara gamblang tentunya menunjukkan perkumpulan ini konsen utamanya adalah ekonomi dengan sistem sosialistik (Lihat: H.O.S. Cokroaminato – Islam dan Sosialisme, 1938). Pada masa itu, kaum muslim lebih merasa nyaman dengan gagasan-gagasan sosialisme karena dari sisi psikologis sosialisme dipandang mencerminkan perlawanan terhadap imperialisme dan kemapanan ketimbang kapitalisme yang dianggap menampung kekuatan-kekuatan penguasa Kolonialisme Belanda. Maka akibatnya watak sebahagian besar pribumi terjajah menjadi sangat reaktif terhadap kapitalisme.

Kemudian dalam konteks Indonesia sekarang, tumbuh semacam sikap antagonis (hasil turunan sikap reaktif tadi) muslim terhadap kapitalisme dikarenakan sebuah persepsi keliru (pandangan simplistis) terhadap kapitalisme dimana kapitalisme diidentikkan dengan alat kosmetik, senam wajah, minuman bersoda, merk dan kelembaban lipstik, metting, makanan siap saji, cara berbicara dan yang lain-lain sehingga kapitalisme dianggap sebagai sebuah pola hidup yang materialistik atau hedonis yang ujung-ujungnya mengakibatkan kapitalisme sering dianggap sebagai biang keladi kemiskinan.

LALU kembali pada pertanyaan diatas, Kompetibel kah islam dengan kapitalisme?

Jawabnya bisa negatif maupun positif, hal ini tentu tergantung dari “frame” mana kita berangkat, aksara min hau lail / lebih dari dua pendapat biasa dikenal dalam fiqih. Untuk itu lah maka diperlukan -dalam bahasa filsafat: Ontologi, Epistemologi, serta Aksiologi dari Islam dan Kapitalisme sendiri.

Islam, adalah the way of life dengan seperangkat nilai yang digali dari Al Qur’an, hadist, dan penafsiran – penafsirannya. Sementara, secara sederhana Kapitalisme adalah (roda) sistem ekonomi dimana seseorang (individu) diberikan kebebasan “memiliki” dan “mengontrol” hartanya.

Ketika dua definisi diatas dikonfrontir, maka secara teoristis sepanjang yang penulis ketahui (mohon dikoreksi apabila keliru) tidak ada satu ayat-pun dalam Al Qur’an yang melarang seseorang untuk memiliki harta lalu kemudian mengontrolnya, bahkan islam sangat menghormati hak milik (harta). Hal ini tercermin dari Khulyatin Homsa atau lima prinsip yang terdapat dalam fiqih yaitu: (1). An Nafs - Kehidupan, (2). Ad Din – Agama, (3). Al Araf – Kehormatan, (4). An Nash – Keturunan, dan (5) Al Rial – Harta.

Atau kesesuaian salah satu kriteria kapitalis dimana manusia dipandang sebagai mahluk ekonomi (Homo Economicus) dengan hadist berikut yang menggambarkan pentingnya mencari rezeki (jihad ekonomi): Rasulullah saw bersabda, “wahai manusia, sesungguhnya rezeki telah dibagi-bagi. Seseorang tidak akan meninggalkan rezeki yang telah diperuntukkan baginya. Maka carilah rezeki itu dengan baik” (Ibnu Abbas).

Secara praktis/historis islam lahir di Mekkah, dimana kota Mekkah pada saat itu apabila musim dingin penduduk nya pergi ke Yaman sedang musim panas ke Damaskus. Tingginya mobilitas penduduk (utamanya untuk berdagang) ini merupakan cerminan dari motif homo economicus yang kita kenal pada kapitalisme tadi. Masalah yang muncul, jika dilihat secara sehat sebenarnya ada pada titik “ditribusi” hak milik (harta) atau penimbunan harta dimana dalam islam sangat dilarang yang dicerminkan dari perkataan Rasulullah “Orang yang mendatangkan barang diberi rezeki dan orang yang menimbun barang dilaknat” (Lihat: Syaikh Musa Zanjani – Madinah Balaghah, hal 615, 2010). Dititik distribusi ini lah sangat sangat berkaitan erat dengan keadilan, dalam filsafat dikenal dengan Distributif Justice. Pertanyaan selanjutnya yang ingin penulis kemukan adalah bukan pada bagaimana distributif Justice itu dilakukuan (pembahasan mungkin lain kali pada artikel yang lain pula), tapi tahap sebelumnya yaitu bagaimana cara paling cepat untuk megumpulkan kekayaan: yakni bisa dengan ekonomi terbuka, liberal, atau kapitalis seperti yang sedang kita bahas. Secara sederhana disinilah asas dari konsep Negara maju yang menggunakan sistem Walfare State (Negara Kesejahteraan) yakni mengumpulkan kekayaan terlebih dahulu baru mendistribusikannya.

CARA-CARA PENGUMPULAN harta dari Kapitalis yang karena kebebasan dan kecepatannya inilah yang disalah-tafsirkan orang per orang sebagai kegiatan proses pengumpulan harta dengan menghalalkan segala cara termasuk usaha eksploitasi baik terhadap manusia (yang kemudian dikritik habis-habisan oleh Karl Marx) ataupun alam (dikritik Mahatma Gandhi) yang dikoreksi oleh islam. Artinya hubungan kekompetibelan islam dengan kapitalisme atau islam menerima kapitalisme dengan koreksi-koreksi. Misal, silahkan mencari kekayaan tapi dengan jalan yang jujur (jihad ekonomi).

Selain itu, sepanjang yang penulis ketahui lagi dalam konteks ekonomi islam, kemuculannya bukan dikarenakan persoalan seperti kesenjangan sosial, distributife justice atau hal lainnya tetapi lebih cendrung kepada persoalan “riba”.

Jadi dengan menggunakan pola pikir dilektika, terlihat islam kompetibel dengan kapitalisme tapi lebih kepada kapitalisme “bermoral” atau kapitalisme “tanpa riba”.

Sekali lagi penulis ingatkan, tulisan ini tidak merupakan sebuah upaya penjustifikasian kecocokan islam dengan kapitalisme tapi murni berupa tanggapan atau “cara memandang dari sudut yang lain” islam (yang dalam dtulisan Dr. Hastin diwakili oleh muslimah) menaklukkan kapitalisme.

Pada akhirnya, sudah saatnya muslim(ah) muda belajar membuka diri dengan menyikapi ajaran – ajaran baik yang datangnya dari timur maupun barat secara sehat, tidak memandang islam sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 masehi dengan jalan ijtihad (jihad akal) berkelanjutan, dan tentunya memperlakukan Muhammad saw sebagai Qudwah Hasanah atau panutan yang wajib dikuti.


Seandainya kemiskinan itu berwujud,
maka akan kubunuh ia berkali-kali (Sayyidina Ali)

Kamis, 13 September 2012

Dekontruksi dalam Reformasi Birokrasi

Andra Eka Putra

Kajian mengenai kinerja birokrasi publik, utamanya yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, memiliki nilai yang sangat strategis. Informasi mengenai kinerja birokrasi dan faktor-faktok pembentuknya amat penting untuk diketahui agar kebijakan yang holistik untuk memperbaiki kinerja birokrasi bisa dirumuskan. Pengalaman menunjukkan bahwa selama ini berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kinerja birokrasi kurang menghasilkan perubahan yang signifikan.


Jadi, secara gamblang bisa diasumsikan bahwa (meminjam max weber) “rasionalisme birokrasi” jalan ditempat dan bahkan birokrasi cendrung telah mengubah dirinya bagaikan (meminjam Thomas Hobbes) “Leviathan atau monster raksasa” yang mengerikan sebagai perwujudan nyata dari kekuasaan Negara.

Tulisan ini terlebih dahulu secara singkat mecoba memetakan patologi birokrasi di Indonesia dengan pengidentifikasian pada variabel-varibel sejarah, budaya, serta politik yang turut membentuk pola perilaku birokrasi dewasa ini.

Peninjauan akar historis sejarah pertumbuhan birokrasi (era kerajaan dan era penjajahan Belanda) sangat penting dilakukan untuk menjelaskan the state of the art dari birokrasi. Hal ini diperlukan guna melihat sejauh mana ketersinambungan antara birokrasi masa kerajaan serta birokrasi kolonial Belanda dengan birokrasi pada masa sekarang. Pada masa kerajaan dikenal adanya kaum aristokrat (priyayi) yang merupakan aparat birokrasi dari pemerintahan pada masa tersebut, paradigma yang dianut aparat birokarsi pada masa kerajaan ini adalah memposisikan diri sebagai penguasa yang harus dilayani oleh kelas sosial dibawahnya yakni masyarakat secara umum. Perwujudan konkrit dari bentuk pelayanan yang dilakukan masyarakat adalah dengan memberikan upeti kepada kaum aristokrat (priyayi) sebagai wujud nyata kepatuhan seorang hamba kepada rajanya. Sebangun dengan paradigma birokrasi masa kerajaan, birokrasi pada masa kolonial Belanda pun dibangun dengan paradigma yang sama yakni birokrasi lebih menempatkan diri sebagai penguasa didaerah (pangreh praja) dengan persepsi birokrasi daerah merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah pusat (kultur feodal). Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu sengaja merekrut mantan pegawai birokrasi kerajaan yang digaji dengan menggunakan tanah bengkok, yang kemudian diganti dengan menggunakan sistem uang. Perubahan sistem penggajian ini merupakan awal dari pengenalan uang oleh birokrasi, sekaligus guna menjamin loyalitas pegawai birokrasi kepada pemerintahan Belanda.

Dalam konteks birokrasi sekarang, meski sudah mengalami perubahan nama dari pangreh praja ke pamong praja, namun sayangnya tidak dibarengi dengan perubahan fundamental paradigma aparat birokrasi itu sendiri, malah secara global paradigma birokrasi sekarang merupakan hasil akumulasi paradigma bercorak kerajaan dengan kultur feodal Belanda. Paradigma yang selalu ingin “dilayani” daripada “melayani” masyarakat secara implisit terus dipertahankan sehingga kinerja pelayanan yang diberikan sangat tidak public accountable dan jauh dari kepentingan publik. Selain itu jika kita cermati kronologis birokrasi diatas, pemberian “upeti” pada birokrasi kerajaan inilah yang merupakan cikal dari korupsi atau pungutan liar yang dilakukan birokrasi kepada masyarakat yang ingin memperoleh akses pelayanan secara cepat dari birokrasi.

Selain itu, secara politik, birokrasi di Indonesia juga memiliki kecendrungan kurang mencerminkan komitmen politik yang bertanggung jawab kepada publik, akan tetapi lebih diorientasikan kepada pimpinan. Contoh paling nyata adalah saat ini masih sering ditemukan aparat birokrasi yang sulit bersikap kritis kepada pimpinannya dan umumnya memiliki nilai pada kepentingan pimpinan bukan publik. Padahal esensinya kritik dari dalam berguna sebagai kontrol internal dari birokrasi itu sendiri.

Konsekuensi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dengan patologi birokrasi diatas diantaranya adalah (1) akuntabilitas birokrasi hanya untuk pejabat diatasnya, bukan kepada publik (2) prestasi kerja aparat birokrasi dimata pimpinan hanya dilihat seberapa besar “loyalitasnya” (3) aparat birokrasi ditingkat bawah hanya berupaya untuk selalu menjaga kepuasan pimpinan (ABS: asal bapak senang), dan (4) aparat birokrasi yang tidak sepaham dengan garis poliitik pimpinannya tidak mendapatkan jabatan yang strategis dalam sistem karirnya.

Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari usaha pemetaan secara singkat patologi birokrasi ini adalah birokrasi masih sangat dipengaruhi oleh budaya “paternalisme” yang cendrung mendorong pejabat birokrasi untuk lebih berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan, menempatkan dirinya sebagai penguasa, dan memperlakukan para pengguna jasa (masyarakat) sebagai objek pelayanan yang membutuhkan bantuannya.

Kemudian, secara garis besar, persoalan birokrasi di Indonesia dapat ditinjau dari tiga perspektif yaitu sistem (peraturan perundang-undangan dan kebijakan), kelembagaan, dan sumber daya manusia. Dari sisi peraturan perundang-undangan, banyak peraturan yang dinilai sudah out of date sehingga tidak atau kurang sesuai dengan perkembangan lingkungan global dewasa ini. Meskipun UU No 18 tahun 1961 tentang pokok-pokok kepegawaian sudah diubah menjadi UU No. 8 Tahun 1974 dan karena implikasi dari otonomi daerah diubah kembali dengan UU No. 43 Tahun 1999, namun sebagian besar peraturan pelaksanaannya masih belum disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Contoh misal pada PP No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian PNS/DP3, unsur yang digunakan untuk tolak ukur kinerja pegawai sangat sumir apabila dikaitkan dengan pekerjaan nyata sehari-hari karena unsur tersebut sangat sulit diukur. Akibatnya, penilaian yang dihasilkan kurang mencerminkan perbedaan antara PNS berkinerja baik atau sebaliknya. Selain itu karena sulit diukur tadi (mengawang-ngawang) maka mendorong DP3 cendrung menjadi sebuah isian formalitas. Selain itu pada PP No. 15/1979 (Daftar Urut Kepangkatan PNS), PP No 51/1992 (Pemberian Gaji PNS), dan PP No.12/2002 (Kenaikan Pangkat PNS) yang tidak menitikberatkan pada kinerja dan prestasi kerja yang dihasilkan. Kemudian kenaikan pangkat PNS (selain pangkat pilihan) bersifat regular, artinya setiap 4 tahun sekali secara otomatis akan mengalami kenaikan pangkat terlepas apakah kinerja yang bersangkutan baik atau tidak.

Jadi secara gamblang, PP-PP tersebut bisa dikatakan kurang sesuai dengan aturan dari UU No.43/1999 (Pokok Kepegawaian) itu sendiri, dimana pada pasal 12 ayat 2 dinyatakan “…. pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.” Selain itu apa yang diamanatkan oleh UU No. 43/1999 untuk membentuk Komisi Kepegawaian Negara (Pasal 13 ayat 3) sampai sekarang juga belum dilaksanakan.

Dari perspektif kelembagaan, banyaknya instansi yang menangani kepegawaian (Kemenpan & RB, LAN, BKN, serta Kemendagri) belum mempunyai pembagian kewenangan yang tegas sehingga meyebabkan kebijakan yang dikeluarkan oleh satu instansi kerap kali mengalami tumpang tindih dengan kebijakan dari instansi lainnya. Artinya antara instansi tersebut belum terdapat adanya pembagian tugas dan kewenangan yang jelas dalam perumusan kebijakan kepegawaian sehingga pada tahap pengimplementasiannya kebijakan yang diterbitkan kurang dapat berjalan secara efektif.

Sisi kapasitas sumber daya manusia dimulai dari proses rekruitmennya dimana idealnya pemerintah daerah membuat manpower planning untuk jangka panjang yang memetakan secara komprehensif terhadap kebutuhan PNS baik kualifikasi pendidikan, keahlian, jumlah, distribusi menurut instansi dan kriteria lain yang mengacu pada visi/misi pembangunan daerah. Ketidakadaan manpower planning turut berimplikasi pada ketidaksesuaian kompetensi pegawai dengan pekerjaannya yang menyebabkan inefesiensi dalam birokrasi.

Atas dasar kerangka berpikir seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pemerintah hendaknya menerapkan kebijkan REFORMASI BIROKRASI yang mampu mengubah lingkungan dan kondisi internal birokrasi menjadi kondusif bagi adanya pelayanan publik yang efisien, responsif dan akuntabel. 

Salah satu solusi yang bisa dijadikan acuan bagi penerapan konsep reformasi birokrasi di Indonesia adalah: (1)perubahan fundamental paradigma aparat birokrasi dari “dilayani” ke “melayani”. (2)mengelola secara sehat (meminjam Osborne & Plastrik) “Lima DNA Birokrasi” yaitu misi, akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan, dan budaya. (3)restrukturisasi ruang lingkup manajeman PNS (termasuk peraturan perundang-undangannya) dimulai dari perencanaan kebutuhan, rekruitmen, beban kerja, pola karir, promosi, mutasi, pengukuran kinerja, remunerasi serta pendidikan/pelatihan. (4)anggaran birokrasi yang lebih didasarkan pada input (kebutuhan) diubah menjadi anggaran yang berorientasi pada output (hasil). (5)ditumbuh-kembangkannya sikap kritis masyarakat sebagai metode check and balance terhadap birokrasi sebagai upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel.

Terakhir ada baiknya jika tulisan ini ditutup dengan sebuah kutipan “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan satu orang manusia yang serakah” (Mahatma Gandhi).