Yang
mutlak harus diingat, kata Captain disini bukan diperuntukkan untuk sosok tua super
fiktif dengan tameng yang dianggap menyimbolkan patriotisme, tapi untuk sosok
ayah yang memimpin gerombolan rimba menghabisnikmati hari dengan berburu
kijang, memanjat tebing, membaca buku, memainkan musik dan tidur dibawah
bintang. Agak mempunyai basis ide yang sama saya kira dengan Into The Wild
(2007), bedanya Alexander Supertramp tak lagi bujang, tapi sudah beristri
dengan enam orang anak.
Ben
Cash (Viggo Mortensen) dengan jambang tentu saja, memimpin Bodevan, Kielyr,
Vespyr, Rellian, Zaja dan Nai untuk tinggal dihutan menjauhi hiruk pikuk laku
konsumtif. Akan menjadi sangat biasa kiranya jika sebuah film bertutur tentang
keluhuran konsep "pembangkangan agung" Sosiolog Jerman Herbert Marcuse, dan Matt
Ross tak ingin menjadi biasa, sebab itu ia membawa Ben turung gunung (baik
secara makna kata atau makna sebenarnya) dengan momen pemakaman Leslie Cash
yang membunuh dirinya dengan menyayat urat nadi.
Turun
gunungnya Ben dalam amatan saya membuat Captain Fantastic (2006) menjadi begitu
brutal, seksi dan penuh gairah. Keluruhan konsep membentur aspal jalanan.
Sebagai
contoh, di bagian adegan ketika Dave bertanya tentang pemasukan pada Ben. Dalam
pola pikir sederhana, hidup dihutan bentara tentu membawa dampak pada
ketidakbekerjaan formal individu dan karenanya tak bergaji, sementara ada enam
orang anak yang harus dipertanggungjawabi baik dari segi sandang, papan, pangan.
Ben menjawab "kami hanya membeli barang
yang kami butuhkan." Ini sangat mengena saya kira, baik saya pribadi maupun
manusia-manusia pada umumnya yang justru lebih disibukkan dengan memenuhi
keinginannya ketimbang kebutuhannya. Analisis lebih jauh soal ini pernah
dijabarkan Filolog Jerman Friedrich Nietzshe, namun dalam pemahaman singkat
saya ketika kita dahaga sebenarnya kita cukup memerlukan air putih dan bukan
Coca Cola.
Selain
kebutuhan primer diatas, tanggung jawab orang tua utamanya ayah tak hanya selesai
disitu, dan ini yang dipertajam oleh Harper istri dave, "mereka harus sekolah, mereka harus belajar tentang dunia" terang
Harper. dan Ben lantas menanyai Jackson (13 tahun) anak Harper UU HAM yang oleh
Jackson dijawab dengan "sesuatu yang
memakan biaya." Sementara Zaja (8 tahun) setelah ditanyai Ben menjawab "tanpa UU HAM kita mungkin akan seperti di
Cina, disini setidaknya penggeledahan ada suratnya, kita punya kebebasan
berbicara." Setidaknya jawaban dua bocah itu memproyeksikan pada kita
bagaimana nalar yang disebut Filsuf Austria Ivan Illich sebagai belenggu
sekolah.
Captain
Fantastic (2016) memang banyak mengemas Marx, Trotsky, Pol Pot, saluran kemih Uretra, Buddhisme dll, maksud saya ada segudang pengetahuan di sini. Terlepas dari Ben
dan anak-anaknya yang merayakan hari kelahiran Noam Chomsky. Sungguh ingin rasanya
berhenti menulis tepat dititik ini, agar Captain Fantastic (2016) terlihat sempurna,
namun karena kesempurnaan memang hanya omong kosong maka saya lanjutkan tulisan
ini dengan menuliskan bahwa diakhir cerita Ben mencukur jambangnya setelah
berbincang dengan Jack.