Rabu, 29 Juni 2016

The Big Short (2015)

Bukan di sebuah meja Cocobolo, di setelan jas Jep Gambardella, atau bahkan mungkin diatas kapal perang, tapi percakapan dengan hulu ledak acapkali terkokang pada bar dan aspal dimana kebenaran seperti puisi dan kebanyakan orang tidak menyukai puisi. Satu sabda diantara sekian sabda Adam McKay dalam The Big Short (2015) yang diangkat dari buku non-fiksi sosiolog Michael Lewis terbitan 15 Maret 2010.

Dengan garang, McKay menampilkan Mark Baum (diperankan Steve Carell), Ben Rickert (Brad Pitt) serta Michael Burry (Christian Bale) sebagai sosok-sosok yang harusnya punya hak penuh mengatakan "sudah aku bilang kan" pada siapapun ketika krisis Kredit Perumahan Rakyat mengguncang ekonomi Amerika dan lantas Dunia pada 2007-2008 lalu.

Saya yang tak hidup di Amerika dan tak memahami mortgage-backed securities, collateralized debt obligations, atau singliyone tertegun menyaksikan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) mempunyai dampak serupa dengan Schutzstaffel (SS) Nazi Heinrich Himmler. Perbedaannya, jika SS dibagi dalam sayap politis Allgemeine dan sayap militer Waffen, maka KPR yang menggiring sistemik kearah Kredit Tanpa Agunan (KTA) terbagi kedalam sistem anuitas yang membuat pembayaran bunga lebih besar daripada pokok utang, pembebanan pada debitur biaya notaris yang dipilih bank, hingga penjelasan klausul kontrak yang dilakukan saat akad kredit bukan saat penawaran kredit.

Tentu saja Lewis juga Mckay saya kira tak membaca hasil Rakornas MUI 2003 yang memutuskan semua transaksi yang berjalan atas dasar sistem bunga, sudah memenuhi unsur-unsur riba yang diharamkan. Namun The Big Short (2015) yang menuturkan bagaimana dunia perbankan bekerja tampak berkelindan dengan hasil rakornas itu meski dalam domain yang berlainan.

Samuel Langhorne Clemens yang lebih dikenal dengan nama pena Mark Twain menulis "bukan yang tak kau ketahui yang membuatmu dalam kesulitan, namun yang tak kau ketahui pastilah yang membuatmu dalam kesulitan."

Demikian.

Minggu, 26 Juni 2016

Birdman (2014)

"Ketika aku pergi, dia meminum racun tikus" ucap Terri, dia mendekap lengannya dengan tangannya. "mereka membawanya ke sebuah rumah sakit di Santa Fe. Disana tempat kami tinggal saat itu, sekitar sepuluh mil jauhnya. Mereka menyelamatkan nyawanya. Tapi gusinya jadi rusak karenanya."

Nukilan dialog diatas adalah bentuk kekurangutuhan lainnya dari cerita pendek What We Talk About When We Talk About Love (1981) karya Raymond Carver. Cerpen yang menarasikan ulang tentang kegaduhan bagaimana idealnya menafsir cinta (Logika lewat tokohnya; Mel McGinnis atau Emosi melalui tokoh Terri Teresa) sembari ditemani es batu, Gin dan air tonik. Cerita khas Amerika dengan jalan cerita sederhana lagi manusiawi yang menjadi ganjil dan sesak tantangan ketika diadaptasi oleh Alejandro Gonzales Inarritu kedalam komedi gelap Birdman (2014) dimana Riggan Thomson (diperankan Micahael Keaton) menembak hidungnya sendiri.

Darah tertumpah secara harfiah dan metaforis dari artis juga penonton. Darah asli yang telah lama hilang dari nadi teater Amerika tulis Tabitha Tabby Dickinson dalam Kebaikan Tak Terduga dari Ketidaktahuan, sebuah ulasan 500 kata yang ditulis Tabby di Koran Times sebagai apresiasi atas Riggan.

Diceritakan Alejandro, mantan aktor superhero birdman; Riggan Thomson terjatuh dalam pementasan drama dengan ocehan-ocehan filosofis. Bamm! Sebuah benturan kebudayaan, dari perjuangan menyelamatkan umat manusia kedalam situasi normal sehari-hari disebuah meja makan. Jika kita pada umumnya akan sulit istinja pagi hari, Riggan justru melompat dari jendela rumah sakit untuk meninggalkan kesuksesan.

Kesimpulan memang telah diambil, tapi keganjilan-keganjilan laku di sisa hidup Riggan adalah sebuah keseksian belaka.