Sabtu, 07 April 2012

Cak Imin

Begitulah biasanya para penduduk kampung rejoso, kampung kecil di jombang, jawa timur.  memanggilnya. Badannya yang hitam berbanding terbalik dengan rambutnya yang memutih, jenggot dan kumis dibiarkan tumbuh liar, kerutan wajah disana sini, kantung mata, dan kaki yang sudah tak lengkap melengkapi penampilan ke-petaniannya.
Kaki kirinya telah hilang, peristiwa ini terjadi sekitar 12 tahun lalu, sewaktu cak imin masih bekerja di surabaya sebagai kuli kopra. Penghasilan dari mem-buruh yang jauh dari pas-pasan selalu berhasil tidak mencukupi cak imin dan kawan-kawannya. Hingga sampai suatu ketika pabrik berteriak, hari itu rabu, agustus 1998 nyaring terdengar suara cak imin dan kawan-kawannya, salah satunya dari herman, pria marxisme asal bantul-yogyakarta pecinta puisi, pecinta Miyala,  dan segeralah ia mulai membacakanya,
kopi masuk gula keluar, kapuk dibeli gula dijual
semenjak pagi sudah begitu, sampai petang baru berhenti
lelah penat tidak terasa, demikian asyik menulis harta
bukan harta punya sendiri, hanya harta punya majikan
harta sendiri hanya tenaga, tenaga badan dan pikiran
kalbu pecah merasa susah, hamba buruh apa dikata
kata itu kami habisi, hamba buruh sudah berani
hidup buruh.. hidup buruh.. hidup buruh...

“hidup” sahut kawanannya yang lain ketika herman selesai membaca, dan setiap kali herman meneriakkan kata hidup, kata yang sama dengan lebih banyak gema akan selalu muncul dari kawanannya, hidup disusul hidup, begitu seterusnya. Dan dimana cak imin? Barang tentu dia dipos terdepan dan bertindak sebagai “pengawal” untuk kawan-kawannya, cak imin memang begitu, tak pernah takut, walau ia tak mengenal karya karya Miyala, Khairil, Marx sebaik herman, namun ia selalu merasa ada dorongan dari dalam dirinya, dorongan dari hati kecilnya, dorongan yang selalu membuatnya menjadi seorang berani. Dan dorongan ini pulalah yang membuatnya kehilangan salah satu kakinya, dua timah panas hinggap dikaki kirinya. Dua timah panas mahal hingga membuat cak imin tak mampu membayar harga ganti amputasi.

Begitulah 98, 1998 yang dikenal dengan jargon “tangkap” nya, cak imin cukup beruntung karena aparat tangkap mau berbaik hati melihat dua lubang di kaki kirinya, dan jika melihat bentuk kesan wajah yang jauh melebihi umurnya yang sebenarnya sudah pembawaan lahir, pastilah orang dengan mudah mengidentifikasi cak imin sebagai orang tua lagi tak berdaya. Kesan yang membuat aparat tangkap acuh tak acuh. sementara herman yang walaupun usianya saat itu sudah 43 tahun, namun akibat pita suara yang nyaring, ditambah perawakan tinggi besar hasil olahan fitnes kampung, serta kesan wajah mudanya, ditangkaplah ia oleh aparat tangkap.

“Tapi itu dulu nak,” gumam cak imin lirih kepada putra satu-satunya, “jauh dulu sebelum bapak mengenal ibumu yang dikuburan itu. Sekarang tidurlah, sudah larut, besok kamu mesti sekolah, biar bisa jadi orang berguna, sudah terlau banyak orang pintar nak” sementara foto kelurga satu-satunya yang dimiliki cak imin hanya diam memandang sedu.

********

“Allahuakbar Allahuakbar... Allahu...” suara subuh muadzin membangunkan cak imin yang baru 2 jam tidur selepas shalat malamnya. Setelah ucapan dua kali salam penanda akhir shalat subuhnya, cak imin segera membaca surat yang menjadi hati al-quran untuk dikirimkan kepada istri dan anak nya yang sudah lama meninggal. Pukul 6 dini hari, cak imin bersiap-siap pergi kesawah. Cangkul, Segelas kopi, dan 4 batang rokok berlabel sejati, menjadi bekal nya sampai kira kira matahari mulai meninggi. Diperjalanan, setelah sebelumnnya membeli satu bungkus nasi seadanya, cak imin berpas-pasan dengan sekawanan anak , “pagi cak imin” ujar salah satu anak” yang seketika itu pula dengan senyum ramah terdengar suara berat milik cak imin “pagi pagi”. Tiba-tiba salah satu anak yang lain nyeletuk “wahh.. seandainya saja dulu bung karno bukan jalan-jalan kebandung ya, tapi ke rejoso dan bertemu dengan cak imin, mungkin bukan marhaenisme yang akan kita kenal, tapi iminisme” “hahaha” tawa anak anak lainnya menyusul meninggalkan cak imin yang bingung karena tak paham, tapi akhirnya memutuskan untuk tertawa juga meski sedikit kecut.

Kopi yang tinggal ampasnya, rokok yang tinggal puntungnya, dan nasi yang tinggal bungkusnya menjadi teman si matahari yang sudah tepat diatas kepala. Bayangan seorang pria buntung dengan cangkul dipundaknya menghiasi jalan pulang yang biasanya ditempuh cak imin. Cak imin memang lebih suka mengambil jalan memutar bila pulang, meski sedikit lebih jauh, namun jalan ini mengantarnya ke pekuburan umum tempat anak laki-laki tunggal dan istrinya beristirahat. Istri yang sangat di sayanginya, istri yang pernah berprofesi sama seperti Nur Hidayah, wanita tulungagung, jawa timur, kelahiran 35 tahun silam.

Lepas maghrib, nur berdandan, lipstik tebal, pupur, naik ojek ke gunung bolo, lalu menjajakan seks. Ia tak memilih pekerjaan itu, akan tetapi suaminya, sutrisno, yang menikah dengan perempuan lain tak memberinya nafkah terutama untuk membesarkan kelima anak mereka. Film dokumenter yang dibuat ucu agustin ini memang mengisahkan kehidupan seorang pelacur. Pelacur seperti nur tak harus merasa nista. Pelacur seperti nur tak akan kita “kirim” ke neraka. Memang pelacur tak semuanya seperti nur dan nur juga tak seperi semuanya pelacur. Namun bagaimana agama akan punya arti bila tak memandang hormat kepada wajah nur? Wajah seorang ibu yang mengais dari nasib untuk mengubah hidup anak-anaknya? Dengan melacur ia rata-rata mendapat Rp 30 ribu semalam, dengan memecah batu (pekerjaan nur sebelum maghrib) ia dapat Rp 400 ribu sebulan. Dengan itu ia berhasil mengirim tegar, anaknya yang berusia 6 tahun ke sebuah TK Katolik, dengan itu ia membantu hidup anak-anaknya yang lain, nur sering bilang “ mereka harus sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emaknya.” Ini contoh tentang harapan dalam hidup yang remang-remang, tegak diatas kaki sendiri.

Setelah membersihkan apa yang perlu dibersihkan di makam istrinya, cak imin lantas mengamati nisan istrinya lekat lekat, sama seperti izrail yang sedari tadi mengamatinya.

-------
Pelaihari, 2 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar