Begitulah
biasanya para penduduk kampung rejoso, kampung kecil di jombang, jawa
timur. memanggilnya. Badannya yang hitam
berbanding terbalik dengan rambutnya yang memutih, jenggot dan kumis dibiarkan
tumbuh liar, kerutan wajah disana sini, kantung mata, dan kaki yang sudah tak
lengkap melengkapi penampilan ke-petaniannya.
Kaki kirinya
telah hilang, peristiwa ini terjadi sekitar 12 tahun lalu, sewaktu cak imin
masih bekerja di surabaya sebagai kuli kopra. Penghasilan dari mem-buruh yang
jauh dari pas-pasan selalu berhasil tidak mencukupi cak imin dan kawan-kawannya.
Hingga sampai suatu ketika pabrik berteriak, hari itu rabu, agustus 1998 nyaring
terdengar suara cak imin dan kawan-kawannya, salah satunya dari herman, pria marxisme
asal bantul-yogyakarta pecinta puisi, pecinta Miyala, dan segeralah ia mulai membacakanya,
kopi
masuk gula keluar, kapuk dibeli gula dijual
semenjak
pagi sudah begitu, sampai petang baru berhenti
lelah
penat tidak terasa, demikian asyik menulis harta
bukan
harta punya sendiri, hanya harta punya majikan
harta
sendiri hanya tenaga, tenaga badan dan pikiran
kalbu
pecah merasa susah, hamba buruh apa dikata
kata
itu kami habisi, hamba buruh sudah berani
hidup
buruh.. hidup buruh.. hidup buruh...
“hidup”
sahut kawanannya yang lain ketika herman selesai membaca, dan setiap kali
herman meneriakkan kata hidup, kata yang sama dengan lebih banyak gema akan
selalu muncul dari kawanannya, hidup disusul hidup, begitu seterusnya. Dan
dimana cak imin? Barang tentu dia dipos terdepan dan bertindak sebagai
“pengawal” untuk kawan-kawannya, cak imin memang begitu, tak pernah takut,
walau ia tak mengenal karya karya Miyala, Khairil, Marx sebaik herman, namun ia
selalu merasa ada dorongan dari dalam dirinya, dorongan dari hati kecilnya,
dorongan yang selalu membuatnya menjadi seorang berani. Dan dorongan ini
pulalah yang membuatnya kehilangan salah satu kakinya, dua timah panas hinggap
dikaki kirinya. Dua timah panas mahal hingga membuat cak imin tak mampu
membayar harga ganti amputasi.
Begitulah
98, 1998 yang dikenal dengan jargon “tangkap” nya, cak imin cukup beruntung
karena aparat tangkap mau berbaik hati melihat dua lubang di kaki kirinya, dan
jika melihat bentuk kesan wajah yang jauh melebihi umurnya yang sebenarnya sudah
pembawaan lahir, pastilah orang dengan mudah mengidentifikasi cak imin sebagai
orang tua lagi tak berdaya. Kesan yang membuat aparat tangkap acuh tak acuh.
sementara herman yang walaupun usianya saat itu sudah 43 tahun, namun akibat
pita suara yang nyaring, ditambah perawakan tinggi besar hasil olahan fitnes
kampung, serta kesan wajah mudanya, ditangkaplah ia oleh aparat tangkap.
“Tapi
itu dulu nak,” gumam cak imin lirih kepada putra satu-satunya, “jauh dulu
sebelum bapak mengenal ibumu yang dikuburan itu. Sekarang tidurlah, sudah
larut, besok kamu mesti sekolah, biar bisa jadi orang berguna, sudah terlau
banyak orang pintar nak” sementara foto kelurga satu-satunya yang dimiliki cak
imin hanya diam memandang sedu.
********
“Allahuakbar
Allahuakbar... Allahu...” suara subuh muadzin membangunkan cak imin yang baru 2
jam tidur selepas shalat malamnya. Setelah ucapan dua kali salam penanda akhir
shalat subuhnya, cak imin segera membaca surat yang menjadi hati al-quran untuk
dikirimkan kepada istri dan anak nya yang sudah lama meninggal. Pukul 6 dini
hari, cak imin bersiap-siap pergi kesawah. Cangkul, Segelas kopi, dan 4 batang rokok
berlabel sejati, menjadi bekal nya
sampai kira kira matahari mulai meninggi. Diperjalanan, setelah sebelumnnya
membeli satu bungkus nasi seadanya, cak imin berpas-pasan dengan sekawanan anak
, “pagi cak imin” ujar salah satu anak” yang seketika itu pula dengan senyum
ramah terdengar suara berat milik cak imin “pagi pagi”. Tiba-tiba salah satu
anak yang lain nyeletuk “wahh.. seandainya saja dulu bung karno bukan
jalan-jalan kebandung ya, tapi ke rejoso dan bertemu dengan cak imin, mungkin bukan
marhaenisme yang akan kita kenal, tapi iminisme” “hahaha” tawa anak anak
lainnya menyusul meninggalkan cak imin yang bingung karena tak paham, tapi
akhirnya memutuskan untuk tertawa juga meski sedikit kecut.
Kopi
yang tinggal ampasnya, rokok yang tinggal puntungnya, dan nasi yang tinggal
bungkusnya menjadi teman si matahari yang sudah tepat diatas kepala. Bayangan
seorang pria buntung dengan cangkul dipundaknya menghiasi jalan pulang yang
biasanya ditempuh cak imin. Cak imin memang lebih suka mengambil jalan memutar
bila pulang, meski sedikit lebih jauh, namun jalan ini mengantarnya ke
pekuburan umum tempat anak laki-laki tunggal dan istrinya beristirahat. Istri
yang sangat di sayanginya, istri yang pernah berprofesi sama seperti Nur
Hidayah, wanita tulungagung, jawa timur, kelahiran 35 tahun silam.
Lepas
maghrib, nur berdandan, lipstik tebal, pupur, naik ojek ke gunung bolo, lalu
menjajakan seks. Ia tak memilih pekerjaan itu, akan tetapi suaminya, sutrisno,
yang menikah dengan perempuan lain tak memberinya nafkah terutama untuk
membesarkan kelima anak mereka. Film dokumenter yang dibuat ucu agustin ini
memang mengisahkan kehidupan seorang pelacur. Pelacur seperti nur tak harus
merasa nista. Pelacur seperti nur tak akan kita “kirim” ke neraka. Memang pelacur
tak semuanya seperti nur dan nur juga tak seperi semuanya pelacur. Namun bagaimana
agama akan punya arti bila tak memandang hormat kepada wajah nur? Wajah seorang
ibu yang mengais dari nasib untuk mengubah hidup anak-anaknya? Dengan melacur
ia rata-rata mendapat Rp 30 ribu semalam, dengan memecah batu (pekerjaan nur
sebelum maghrib) ia dapat Rp 400 ribu sebulan. Dengan itu ia berhasil mengirim
tegar, anaknya yang berusia 6 tahun ke sebuah TK Katolik, dengan itu ia
membantu hidup anak-anaknya yang lain, nur sering bilang “ mereka harus
sekolah, mereka ndak boleh mengulangi hidup emaknya.” Ini contoh tentang
harapan dalam hidup yang remang-remang, tegak diatas kaki sendiri.
Setelah
membersihkan apa yang perlu dibersihkan di makam istrinya, cak imin lantas
mengamati nisan istrinya lekat lekat, sama seperti izrail yang sedari tadi
mengamatinya.
-------
Pelaihari, 2 Maret 2010
-------
Pelaihari, 2 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar