Pukul 02.05 dini
hari. Lampu-lampu diberanda depan dan dua kamar selain kamarku telah
dipadamkan. Tanpa sadar sedari tadi rupa-rupanya dikamar kacauku, kipas anginku
yang tak bisa lagi dikatakan barang luks yang
tubuhnya penuh dengan sisa noda lengket dari mainan tempel anak-anak yang
mereka biasa sebut dengan power rangers, yang
kaki kurusnya sudah teramputasi hingga memerlukan rak buku sebagai penyangga, tak
henti-hentinya berputar. Yahh, tak berhenti berputar sepanjang pasokan listrik
PLN kita mengalir.
Usianya memang jauh
lebih muda dariku, bahkan dari adikku yang masih bersekolah di sekolah dasar.
“ahh, ingat adikku aku juga jadi ingat sesuatu,” akan kuceritakan sedikit.
Sesuatu ini berawal disebuah sore, ketika kulihat adikku bersama teman-teman 6
tahunnya bertepuk tangan sambil meneriaki “banci...banci...banci” kepada
seorang pria, ahh bukan wanita kupikir bila melihat dari caranya berjalan dan caranya
berdandan, tapi setelah kulihat lebih jelas otot-otot pada betis kakinya, aku
bersedia berpikir ulang. Akupun segera menghampiri mereka lalu menasehati kalau
tindakan mereka itu salah karena menyakiti hati orang lain. “tapi ia kan memang
banci kak” susul adikku sejurus kemudian dengan raut wajah samar-samar
menantang disusul dengan raut wajah mengamini teman-temannya. “begini..begini”
kataku sambil tersenyum, “sakitkah hati kalian kalau kalian diteriaki jelek
berulangkali serta ditepuktangani walaupun kenyataanya kalian memang jelek”
sambil kulirik adikku setengah bercanda. “kita semua sama, sederajat dan
manusia hanya ada satu jenis. Jenis Manusia. Hormatilah! Jadi jangan mengejek,
toh kita juga belum tentu lebih baik daripada ia” Dengan mudah mereka
kujinakkan pikirku, dasar anak-anak. Tapi tak sempat lama kunikmati
kemenanganku, muncul celotehan adikku berikutnya “kalau hanya ada satu jenis
manusia, kenapa mereka tidak bisa hidup rukun kak? Kalau mereka semua sama
kenapa mereka merepotkan diri untuk saling membenci kak?” “mmm...” kuisap
rokokku agar memudahkan kinerja otakku, “nanti kalian perlahan mengerti ketika
tiba saat kalian tinggalkan masa kanak-kanak kalian,” jawabku sekenanya. “dan
sekarang lebih baik kalian pulang, sudah hampir maghrib, sudah waktunya kalian
mandi dan berhenti bermain bukan.” setelah hanya tinggal kudapati
punggung-punggung mereka aku bergumam lirih “rasa-rasanya kadang memang masa
kanak-kanak lah masa yang paling normal ketimbang masa-masa sesudahnya, tapi ntahlah”
sambil kuisap rokok untuk yang kedua kalinya.
Kembali ke usia
kipas anginku, aku lupa persisnya, tapi seingatku dia lahir dipertengahan tahun
2007-an. Tanggal ulang tahunnya? Jangan kau tanya kawan, mengingat tahunnya
saja aku repot. Tapi tak papa lah, kita sepakat saja dia berulang tahun di 13
April. Ahh kenapa kau bertanya lagi kawan? Bukankah kau juga tau kalau
kebenaran objektif adalah fake, yang
ada kan kesepakatan dari subjektif-subjektif yang kemudian
diobjektif-objektifkan, maka sepakatlah! Negara kita negara demokrasi,
demokrasi tak mengenal hitam dan putih, demokrasi hanya mengenal banyak, dan
mengutip Goenawan Muhammad bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya. Jadi
aku tak akan berbohong kalau aku bohong soal tanggal lahir kipas anginku,
karena jujur aku lupa. Tapi aku tak akan berbohong soal ini, soal kenapa aku
memilih april sebagai bulan lahir kipas anginku.
“Banyak cerita
dari kata april” ujarku, salah satunya bulan yang identik dengan bulan
kebohongan, “april-mop” teriak temanku dengan aksen suaranya yang menyebut
huruf “R” malah terdengar seperti huruf “L” setelah berhasil mengelabuiku
perihal kasus adam dan istrinya yang turun kedunia gara gara memakan buah. Kadang
aku geli sendiri mengingat guyonan masa kecilku tentang Adam memakan satu yang
kemudian menjadi Jakun pada pria dewasa, dan Hawa memakan dua yang kemudian
menjadi payudara wanita yang bisa kita lihat tumbuh sejak di sekolah menengah
pertama bahkan di akhir sekolah dasar! Zaman memang semakin cepat berubah
kukira, seingat data kepala yang mulai mengabur tentang masa laluku, dulu teman-teman
wanita awal sekolah menengah pertama ku dadanya masih tampak rata, akan tetapi
anak perempuan sekarang di akhir sekolah dasar sudah menonjol meski terkesan
ditonjol-tonjolkan. “mungkin anak perempuan sekarang mengamalkan ritual
mengusap payudara mereka dengan air teh hangat di pagi hari” kataku.
Di April juga, sehari
sebelum tanggal yang sama dengan hari lahir kipas anginku yang kukarang-karang,
malam milenium ketujuh silam di gedung putih Washington, Elie Wiesel berpidato
didepan mantan Presiden Clinton dan anggota kongres 1999. “ehh.. ternyata dia
(baca: kipas angin) masih memperhatikanku” bicaraku dalam hati. dia terus
bertiup yang membuatku cukup tak kepanasan. Menemani jari-jari yang sedang asik
bercanda dengan tombol-tombol komputer. Jari-jari yang apabila dilipat
kelingking, manis, serta jempolnya dengan meninggalkan tengah dan telunjuk tetap
mengacung maka akan membentuk huruf “V” sebagai tanda victory atau peace.
Isyarat Jari (finger’s sign) yang
pernah digunakan Churchil, Nixon dan Perempuan Iraq yang sedang berada dalam
kemenangan atau menginginkan suasana kedamaian. Jari-jari yang apabila hanya
meninggalkan acungan telunjuk dan kelingking yang membentuk formasi seperti
tanduk hingga disebut metal horns
lantas menjadi isyarat penanda tak resmi “aku rocker”. Jari-jari yang hanya
cukup dengan satu acungan tengah dapat membuat tulang hidung seorang Hooligans patah di Inggris sana.
Sebagian isi
pidatonya kira-kira seperti ini “Akan lebih mudah jika kita memalingkan wajah
dari para korban, agar kita bisa terus bekerja, bermimpi, berharap. Lagipula
rasanya janggal untuk terlibat dalam penderitaan orang lain.” Pidato ini
mengisahkan pengalaman pribadi Elie dalam menyoroti kaum tertindas dan tersisih
diseluruh dunia.
Perihal “bahaya
pengabaian” yang menjadi judul dari keseluruhan isi pidato Elie malam itu, kisah
seorang seniman gagal yang dulu hidupnya menggelandang bisa kita jadikan
rujukan. Seniman gagal yang kemudian kita kenal dengan nama Adolf Hitler,
seniman gagal yang otaknya sukses diracun opium jenis superioritas arya dan
alkohol memabukkan jenis benci yahudi berlebihan, dengan pasukan SS (scutzstaffel)-nya yang legendaris,
seniman gagal ini membantai jutaan yahudi dalam kamp-kamp konsentrasi. “tak ada
kokokan ayam, tak ada kicauan burung, tak ada gonggongan anjing. Semua sama, “Abai.”
Memang tidak semua abai, dalam film-film seperti The Pianist atau Valkyrie,
bisa kita lihat masih ada orang yang
bernurani. Film Cekoslovakia And The
Fifth Rider Is Fear yang jujur belum pernah kutonton tapi kuperoleh
resensinya di sekali lagi Soe Hok-gie pun bercerita tentang hal yang sama.
Diceritakan seorang dokter yahudi yang dilarang praktik oleh Nazi, setelah
berjuang melawan dirinya sendiri, maka akhirnya ia memutusan untuk menolong
seorang partisan yang luka walau tau akibat apa yang mengancam dirinya. Tapi, cukup
banyakkah sifat seperti dokter yahudi itu? cukup banyakkah sifat seperti
Kolonel Klaus von Stauffenberg? Jawab adikku “tentu lebih sering keheningan malam yang
muncul layaknya rutinitas terbit tenggelam matahari biasa.” Lantas Kita?
Ntahlah.. yang pasti satu hal yang tidak tunduk pada mayoritas adalah nurani
seseorang. Satu lagi, “aku tak berbicara
soal dia hitam dan dia putih disini. Maksudku selalu ada ruang untuk yang
kelabu.”
Begitulah,
pengabaian memang begitu menggoda, bahkan memikat, tapi normalkah kita ketika
kita menikmati hidangan kalkun lezat dan segelas anggur, lingkungan disekitar
kita mengalami pergolakan yang mengerikan? sudah begitu banyak kekerasan, begitu
banyak kebohongan, begitu banyak kemiskinan, begitu banyak kelaparan, begitu
banyak akar, sudah begitu banyak pengabaian.
Setengah
berbisik aku berkata “kipas anginku..” kuamati dia kali ini lekat-lekat,
fisikmu memang tak begitu menarik dan malah hampir cacat, umurmu pun belum
genap 3 tahun malah. Tapi menyoal kegunaan, kuakui umur 22 tahun ku kalah telak.
ketelanjangan kudapati disini, yang tak memakai jubah atas nama agama, yang tak
memakai sarung atas nama budaya, dan yang tak memakai setelan jas atas nama hukum.
Tak ada pamrih dalam pengorbananmu. Seperti lilin, membiarkan tubuhnya terbakar
untuk kemudian kehilangan nyawa demi tujuan satu tujuan esa, menerangi
pemiliknya.
“Udin !!!”
teriak kantukku tiba-tiba. Ahhh.. datang juga kau sialan, darimana saja kau
tanyaku?
--------
Pelaihari,
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar