**Andra Eka Putra
(Tanggapan terhadap Bebaskan Perempuan dari Belenggu Kapitalisme – Dr. Hastin
Umi Anisah, SE MM)
Umumnya, sikap seorang
muslim(ah) terhadap konsep-konsep yang datangnya dari Barat baik itu semisal
pluralism, liberalism, demokrasi, sosialisme, atau kapitalisme adalah menerima,
menerima dengan kritik/koreksi, menolak, atau menolak dengan kecaman. Pun tidak
terkecuali dengan tulisan Dr. Hastin Umi Anisah, SE MM (dimuat dalam rubrik
Opini Banjarmasin Post, Selasa, 6 September 2011) atau tulisan saya (baca:
penulis) yang akan memberikan tanggapan terhadap tulisan tersebut berdasarkan
“frame” nya masing-masing.
Dalam tulisan dengan judul bebaskan perempuan dari belenggu kapitalisme
tersebut, Dr. Hastin menurut hemat
penulis memberikan (1). Pengkategorian perempuan dimana pertama perempuan
dipandang sebagai obyek/korban kapitalisme, kedua sebagai pegiat kapitalisme,
ketiga sebagai muslimah, dan (2). Anjuran untuk memilih kategori ketiga, yaitu perempuan
muslimah dengan sarana syariah islam untuk menaklukkan kapitalisme.
Namun, tidakkah islam sendiri
kompetibel dengan kapitalisme hingga tidak perlu saling takluk-mentaklukkan?
Sebelum melangkah lebih jauh
hal yang perlu diingat, yaitu tulisan ini bukan merupakan sebuah upaya untuk
menjustifikasikan kecocokan islam dengan kapitalisme, akan tetapi lebih kepada
sebuah argumen yang lain dengan menggunakan metode dan kacamata yang lain pula.
Dalam konteks Indonesia dulu,
perjumpaan islam dengan kapitalisme maupun sosialisme menurut sisi historisnya
jauh sebelum Indonesia itu sendiri merdeka. Berdasarkan data sejarah yang ada,
pada abad ke-19, ada sebuah perkumpulan pribumi yang di ketuai oleh Haji Omar Said
Cokroaminoto yaitu Syarekat Islam atau yang sebelumnya di kenal dengan nama Syarekat
Dagang Islam (SDI). Kata “dagang” secara gamblang tentunya menunjukkan
perkumpulan ini konsen utamanya adalah ekonomi dengan sistem sosialistik
(Lihat: H.O.S. Cokroaminato – Islam dan Sosialisme, 1938). Pada masa itu, kaum
muslim lebih merasa nyaman dengan gagasan-gagasan sosialisme karena dari sisi psikologis
sosialisme dipandang mencerminkan perlawanan terhadap imperialisme dan
kemapanan ketimbang kapitalisme yang dianggap menampung kekuatan-kekuatan
penguasa Kolonialisme Belanda. Maka akibatnya watak sebahagian besar pribumi
terjajah menjadi sangat reaktif terhadap kapitalisme.
Kemudian dalam konteks
Indonesia sekarang, tumbuh semacam sikap antagonis (hasil turunan sikap reaktif
tadi) muslim terhadap kapitalisme dikarenakan sebuah persepsi keliru (pandangan
simplistis) terhadap kapitalisme dimana kapitalisme diidentikkan dengan alat
kosmetik, senam wajah, minuman bersoda, merk dan kelembaban lipstik, metting,
makanan siap saji, cara berbicara dan yang lain-lain sehingga kapitalisme
dianggap sebagai sebuah pola hidup yang materialistik atau hedonis yang
ujung-ujungnya mengakibatkan kapitalisme sering dianggap sebagai biang keladi kemiskinan.
LALU kembali pada pertanyaan
diatas, Kompetibel kah islam dengan kapitalisme?
Jawabnya bisa negatif maupun
positif, hal ini tentu tergantung dari “frame” mana kita berangkat, aksara min
hau lail / lebih dari dua pendapat biasa dikenal dalam fiqih. Untuk itu lah
maka diperlukan -dalam bahasa filsafat: Ontologi,
Epistemologi, serta Aksiologi dari Islam dan Kapitalisme sendiri.
Islam, adalah the way of life dengan seperangkat nilai
yang digali dari Al Qur’an, hadist, dan penafsiran – penafsirannya. Sementara,
secara sederhana Kapitalisme adalah (roda) sistem ekonomi dimana seseorang
(individu) diberikan kebebasan “memiliki” dan “mengontrol” hartanya.
Ketika dua definisi diatas
dikonfrontir, maka secara teoristis sepanjang yang penulis ketahui (mohon
dikoreksi apabila keliru) tidak ada satu ayat-pun dalam Al Qur’an yang melarang seseorang untuk memiliki harta lalu
kemudian mengontrolnya, bahkan islam sangat menghormati hak milik (harta). Hal
ini tercermin dari Khulyatin Homsa atau lima prinsip yang terdapat dalam fiqih
yaitu: (1). An Nafs - Kehidupan, (2). Ad Din – Agama, (3). Al Araf –
Kehormatan, (4). An Nash – Keturunan, dan (5) Al Rial – Harta.
Atau kesesuaian salah satu
kriteria kapitalis dimana manusia dipandang sebagai mahluk ekonomi (Homo
Economicus) dengan hadist berikut yang menggambarkan pentingnya mencari rezeki
(jihad ekonomi): Rasulullah saw bersabda, “wahai manusia, sesungguhnya rezeki
telah dibagi-bagi. Seseorang tidak akan meninggalkan rezeki yang telah
diperuntukkan baginya. Maka carilah rezeki itu dengan baik” (Ibnu Abbas).
Secara praktis/historis
islam lahir di Mekkah, dimana kota Mekkah pada saat itu apabila musim dingin
penduduk nya pergi ke Yaman sedang musim panas ke Damaskus. Tingginya mobilitas
penduduk (utamanya untuk berdagang) ini merupakan cerminan dari motif homo
economicus yang kita kenal pada kapitalisme tadi. Masalah yang muncul, jika
dilihat secara sehat sebenarnya ada pada titik “ditribusi” hak milik (harta) atau
penimbunan harta dimana dalam islam sangat dilarang yang dicerminkan dari
perkataan Rasulullah “Orang yang mendatangkan barang diberi rezeki dan orang
yang menimbun barang dilaknat” (Lihat: Syaikh Musa Zanjani – Madinah Balaghah, hal
615, 2010). Dititik distribusi ini lah sangat sangat berkaitan erat dengan
keadilan, dalam filsafat dikenal dengan Distributif
Justice. Pertanyaan selanjutnya yang ingin penulis kemukan adalah bukan
pada bagaimana distributif Justice itu
dilakukuan (pembahasan mungkin lain kali pada artikel yang lain pula), tapi
tahap sebelumnya yaitu bagaimana cara paling cepat untuk megumpulkan kekayaan: yakni
bisa dengan ekonomi terbuka, liberal, atau kapitalis seperti yang sedang kita
bahas. Secara sederhana disinilah asas dari konsep Negara maju yang menggunakan
sistem Walfare State (Negara
Kesejahteraan) yakni mengumpulkan kekayaan terlebih dahulu baru
mendistribusikannya.
CARA-CARA PENGUMPULAN harta
dari Kapitalis yang karena kebebasan dan kecepatannya inilah yang disalah-tafsirkan orang per orang
sebagai kegiatan proses pengumpulan harta dengan menghalalkan segala cara
termasuk usaha eksploitasi baik terhadap manusia (yang kemudian dikritik
habis-habisan oleh Karl Marx) ataupun alam (dikritik Mahatma Gandhi) yang
dikoreksi oleh islam. Artinya hubungan kekompetibelan islam dengan kapitalisme
atau islam menerima kapitalisme dengan koreksi-koreksi. Misal, silahkan mencari
kekayaan tapi dengan jalan yang jujur (jihad ekonomi).
Selain itu, sepanjang yang
penulis ketahui lagi dalam konteks ekonomi islam, kemuculannya bukan
dikarenakan persoalan seperti kesenjangan sosial, distributife justice atau hal lainnya tetapi lebih cendrung kepada
persoalan “riba”.
Jadi dengan menggunakan pola
pikir dilektika, terlihat islam kompetibel dengan kapitalisme tapi lebih kepada
kapitalisme “bermoral” atau kapitalisme “tanpa riba”.
Sekali lagi penulis
ingatkan, tulisan ini tidak merupakan sebuah upaya penjustifikasian kecocokan
islam dengan kapitalisme tapi murni berupa tanggapan atau “cara memandang dari
sudut yang lain” islam (yang dalam dtulisan Dr. Hastin diwakili oleh muslimah)
menaklukkan kapitalisme.
Pada akhirnya, sudah saatnya
muslim(ah) muda belajar membuka diri dengan menyikapi ajaran – ajaran baik yang datangnya dari timur
maupun barat secara sehat, tidak memandang islam sebagai monumen mati yang
dipahat pada abad ke-7 masehi dengan jalan ijtihad (jihad akal) berkelanjutan,
dan tentunya memperlakukan Muhammad saw sebagai Qudwah Hasanah atau panutan
yang wajib dikuti.
Seandainya kemiskinan itu berwujud,maka akan kubunuh ia berkali-kali (Sayyidina Ali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar