Andra Eka Putra
Kajian mengenai kinerja
birokrasi publik, utamanya yang terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, memiliki nilai yang sangat strategis. Informasi mengenai kinerja
birokrasi dan faktor-faktok pembentuknya amat penting untuk diketahui agar
kebijakan yang holistik untuk memperbaiki kinerja birokrasi bisa dirumuskan. Pengalaman
menunjukkan bahwa selama ini berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah
untuk memperbaiki kinerja birokrasi kurang menghasilkan perubahan yang
signifikan.
Jadi, secara gamblang bisa
diasumsikan bahwa (meminjam max weber) “rasionalisme birokrasi” jalan ditempat
dan bahkan birokrasi cendrung telah mengubah dirinya bagaikan (meminjam Thomas
Hobbes) “Leviathan atau monster raksasa” yang mengerikan sebagai perwujudan
nyata dari kekuasaan Negara.
Tulisan ini terlebih dahulu secara
singkat mecoba memetakan patologi birokrasi di Indonesia dengan
pengidentifikasian pada variabel-varibel sejarah, budaya, serta politik yang
turut membentuk pola perilaku birokrasi dewasa ini.
Peninjauan akar historis
sejarah pertumbuhan birokrasi (era kerajaan dan era penjajahan Belanda) sangat
penting dilakukan untuk menjelaskan the
state of the art dari birokrasi. Hal ini diperlukan guna melihat sejauh
mana ketersinambungan antara birokrasi masa kerajaan serta birokrasi kolonial Belanda
dengan birokrasi pada masa sekarang. Pada masa kerajaan dikenal adanya kaum
aristokrat (priyayi) yang merupakan aparat birokrasi dari pemerintahan pada
masa tersebut, paradigma yang dianut aparat birokarsi pada masa kerajaan ini
adalah memposisikan diri sebagai penguasa yang harus dilayani oleh kelas sosial
dibawahnya yakni masyarakat secara umum. Perwujudan konkrit dari bentuk pelayanan
yang dilakukan masyarakat adalah dengan memberikan upeti kepada kaum aristokrat
(priyayi) sebagai wujud nyata kepatuhan seorang hamba kepada rajanya. Sebangun
dengan paradigma birokrasi masa kerajaan, birokrasi pada masa kolonial Belanda
pun dibangun dengan paradigma yang sama yakni birokrasi lebih menempatkan diri
sebagai penguasa didaerah (pangreh praja) dengan persepsi birokrasi daerah
merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah pusat (kultur feodal).
Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu sengaja merekrut mantan pegawai
birokrasi kerajaan yang digaji dengan menggunakan tanah bengkok, yang kemudian
diganti dengan menggunakan sistem uang. Perubahan sistem penggajian ini
merupakan awal dari pengenalan uang oleh birokrasi, sekaligus guna menjamin
loyalitas pegawai birokrasi kepada pemerintahan Belanda.
Dalam konteks birokrasi sekarang,
meski sudah mengalami perubahan nama dari pangreh praja ke pamong praja, namun sayangnya
tidak dibarengi dengan perubahan fundamental paradigma aparat birokrasi itu
sendiri, malah secara global paradigma birokrasi sekarang merupakan hasil
akumulasi paradigma bercorak kerajaan dengan kultur feodal Belanda. Paradigma yang
selalu ingin “dilayani” daripada “melayani” masyarakat secara implisit terus
dipertahankan sehingga kinerja pelayanan yang diberikan sangat tidak public accountable dan jauh dari
kepentingan publik. Selain itu jika kita cermati kronologis birokrasi diatas, pemberian
“upeti” pada birokrasi kerajaan inilah yang merupakan cikal dari korupsi atau
pungutan liar yang dilakukan birokrasi kepada masyarakat yang ingin memperoleh
akses pelayanan secara cepat dari birokrasi.
Selain itu, secara politik,
birokrasi di Indonesia juga memiliki kecendrungan kurang mencerminkan komitmen
politik yang bertanggung jawab kepada publik, akan tetapi lebih diorientasikan
kepada pimpinan. Contoh paling nyata adalah saat ini masih sering ditemukan
aparat birokrasi yang sulit bersikap kritis kepada pimpinannya dan umumnya
memiliki nilai pada kepentingan pimpinan bukan publik. Padahal esensinya kritik
dari dalam berguna sebagai kontrol internal dari birokrasi itu sendiri.
Konsekuensi terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik dengan patologi birokrasi diatas diantaranya
adalah (1) akuntabilitas birokrasi hanya untuk pejabat diatasnya, bukan kepada
publik (2) prestasi kerja aparat birokrasi dimata pimpinan hanya dilihat
seberapa besar “loyalitasnya” (3) aparat birokrasi ditingkat bawah hanya
berupaya untuk selalu menjaga kepuasan pimpinan (ABS: asal bapak senang), dan
(4) aparat birokrasi yang tidak sepaham dengan garis poliitik pimpinannya tidak
mendapatkan jabatan yang strategis dalam sistem karirnya.
Jadi, kesimpulan yang dapat
diambil dari usaha pemetaan secara singkat patologi birokrasi ini adalah
birokrasi masih sangat dipengaruhi oleh budaya “paternalisme” yang cendrung
mendorong pejabat birokrasi untuk lebih berorientasi pada kekuasaan daripada
pelayanan, menempatkan dirinya sebagai penguasa, dan memperlakukan para
pengguna jasa (masyarakat) sebagai objek pelayanan yang membutuhkan bantuannya.
Kemudian, secara garis
besar, persoalan birokrasi di Indonesia dapat ditinjau dari tiga perspektif
yaitu sistem (peraturan perundang-undangan dan kebijakan), kelembagaan, dan
sumber daya manusia. Dari sisi peraturan perundang-undangan, banyak peraturan
yang dinilai sudah out of date sehingga
tidak atau kurang sesuai dengan perkembangan lingkungan global dewasa ini.
Meskipun UU No 18 tahun 1961 tentang pokok-pokok kepegawaian sudah diubah
menjadi UU No. 8 Tahun 1974 dan karena implikasi dari otonomi daerah diubah kembali
dengan UU No. 43 Tahun 1999, namun sebagian besar peraturan pelaksanaannya
masih belum disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Contoh misal pada
PP No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian PNS/DP3, unsur yang digunakan untuk
tolak ukur kinerja pegawai sangat sumir apabila
dikaitkan dengan pekerjaan nyata sehari-hari karena unsur tersebut sangat sulit
diukur. Akibatnya, penilaian yang dihasilkan kurang mencerminkan perbedaan
antara PNS berkinerja baik atau sebaliknya. Selain itu karena sulit diukur tadi
(mengawang-ngawang) maka mendorong DP3 cendrung menjadi sebuah isian
formalitas. Selain itu pada PP No. 15/1979 (Daftar Urut Kepangkatan PNS), PP No
51/1992 (Pemberian Gaji PNS), dan PP No.12/2002 (Kenaikan Pangkat PNS) yang
tidak menitikberatkan pada kinerja dan prestasi kerja yang dihasilkan. Kemudian
kenaikan pangkat PNS (selain pangkat pilihan) bersifat regular, artinya setiap
4 tahun sekali secara otomatis akan mengalami kenaikan pangkat terlepas apakah
kinerja yang bersangkutan baik atau tidak.
Jadi secara gamblang, PP-PP
tersebut bisa dikatakan kurang sesuai dengan aturan dari UU No.43/1999 (Pokok
Kepegawaian) itu sendiri, dimana pada pasal 12 ayat 2 dinyatakan “…. pembinaan
yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang
dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.” Selain itu apa yang diamanatkan
oleh UU No. 43/1999 untuk membentuk Komisi Kepegawaian Negara (Pasal 13 ayat 3)
sampai sekarang juga belum dilaksanakan.
Dari perspektif kelembagaan,
banyaknya instansi yang menangani kepegawaian (Kemenpan & RB, LAN, BKN,
serta Kemendagri) belum mempunyai pembagian kewenangan yang tegas sehingga
meyebabkan kebijakan yang dikeluarkan oleh satu instansi kerap kali mengalami
tumpang tindih dengan kebijakan dari instansi lainnya. Artinya antara instansi
tersebut belum terdapat adanya pembagian tugas dan kewenangan yang jelas dalam
perumusan kebijakan kepegawaian sehingga pada tahap pengimplementasiannya
kebijakan yang diterbitkan kurang dapat berjalan secara efektif.
Sisi kapasitas sumber daya
manusia dimulai dari proses rekruitmennya dimana idealnya pemerintah daerah
membuat manpower planning untuk jangka panjang yang memetakan secara komprehensif
terhadap kebutuhan PNS baik kualifikasi pendidikan, keahlian, jumlah,
distribusi menurut instansi dan kriteria lain yang mengacu pada visi/misi
pembangunan daerah. Ketidakadaan manpower
planning turut berimplikasi pada ketidaksesuaian kompetensi pegawai dengan pekerjaannya
yang menyebabkan inefesiensi dalam birokrasi.
Atas dasar kerangka berpikir
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pemerintah hendaknya menerapkan
kebijkan REFORMASI BIROKRASI yang mampu mengubah lingkungan dan kondisi
internal birokrasi menjadi kondusif bagi adanya pelayanan publik yang efisien,
responsif dan akuntabel.
Salah satu solusi yang bisa
dijadikan acuan bagi penerapan konsep reformasi birokrasi di Indonesia adalah:
(1)perubahan fundamental paradigma aparat birokrasi dari “dilayani” ke
“melayani”. (2)mengelola secara sehat (meminjam Osborne & Plastrik) “Lima
DNA Birokrasi” yaitu misi, akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan, dan budaya.
(3)restrukturisasi ruang lingkup manajeman PNS (termasuk peraturan
perundang-undangannya) dimulai dari perencanaan kebutuhan, rekruitmen, beban
kerja, pola karir, promosi, mutasi, pengukuran kinerja, remunerasi serta
pendidikan/pelatihan. (4)anggaran birokrasi yang lebih didasarkan pada input
(kebutuhan) diubah menjadi anggaran yang berorientasi pada output (hasil). (5)ditumbuh-kembangkannya
sikap kritis masyarakat sebagai metode check
and balance terhadap birokrasi sebagai upaya untuk mewujudkan pemerintahan
yang akuntabel.
Terakhir ada baiknya jika
tulisan ini ditutup dengan sebuah kutipan “Bumi ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan semua manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan satu orang
manusia yang serakah” (Mahatma Gandhi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar