Soundtrack
sekuel kedua dari The Amazing Spider-Man ini tidak “sekeren” pendahulunya. Jika
pada seri satu kita bisa mendapati “suara tenor” nya Christopher Anthony John
Martin dalam ‘Til Kingdom Come, Rise of
Electro bagi saya tidak memberikan kesan apa-apa, sebagai seorang komposer
film yang telah beberapa kali memenangi dan menjadi nominasi Academy, Grammy, Satellite dan Golden Globe Awards, Hans Zimmmer
terlalu hambar. “…I Feel Disappointed” ujar
soundtrackgeek.com; sebuah situs yang mengkaji film scores dan mereviews
soundtrack.
Disamping
hambar dalam musiknya, Rise of Electro juga
dangkal dalam segi cerita. Alex Kurtzman dan Roberto Orci, menulis ulang cerita
dengan tafsiran yang hanya cocok untuk dinikmati anak sekolah menengah pertama,
padahal superhero tentu tak hanya milik mereka. Anda bayangkan saja, sebuah
cerita monoton dengan rentetan adegan kehebohan teknologi, dialog yang tidak
layak diingat, dan tokoh lebay yang tidak natural. Oh.. God! Groucho Marx benar ketika menyatakan televisi sangat
mendidik, sebab ketika dinyalakan, akan membuat orang pergi keruangan lain
untuk membaca buku.
Singkat
kata, Spider-Man (masih diperankan Andrew Garfield) mempunyai dua musuh baru; Green
Goblin (Dane DeHaan) dan Electro (Jamie Foxx), dan keduanya berhasil
dikalahkan. Disini, saya tertarik untuk mengkaji Electro a.k.a. Max Dillon
ketimbang Rise of Electro, dan saya
lebih tertarik lagi untuk mengaji Max Dillon sebagai sesosok manusia daripada
Electro.
Seperti
diceritakan, Max Dillon adalah seorang teknisi listrik culun yang bekerja pada
Oscorp Industries. Dengan selera berpakaian yang begitu buruk, mestinya Max
mudah diingat oleh rekan sekantornya, akan tetapi justru sebaliknya; Max di-Abai-kan
(dengan “A” besar), bahkan ketika Max mengalami dan menjadi korban kecelakaan
yang menyebabkan ia berubah menjadi Electro. File data pribadinya dihapus,
kejadiannya dirahasiakan, dan semua kembali berjalan normal.
Salah
satu diantara sangat-sangat sedikit kejadian menarik; di Oscorp Industries, tanpa
disengaja Max berada satu Lift dengan Gwen Stacy (Perempuan Peter Parker,
diperankan Emma Stone), Max ingin ke lantai 74 dan Gwen ke lantai 63. Lantas,
terjadilah percakapan berikut:
Max : “Aku Max, Max Dillon”Gwen : “Aku Gwen”Max : “Senang bertemu denganmu”Gwen : “Sekarang hari ulang tahunmu?” (melirik keselebaran yang dibawa Max)Max : “Oh, ya. Teman-temanku membuat selebaran ini. Aku merayakan ulang tahunku di klab besar”Gwen : “Wauw..”Max : “Aku ingin mengundangmu, tapi daftar tamunya sudah penuh”Gwen : “Oh, aku paham. Tapi, terima kasih banyak”Max : “Pasti keren dilihat seluruh dunia seperti itu” (melihat siaran televisi didalam lift)Gwen : “Spider-Man menolong?Max : “Spider-Man pernah menyelamatkan ku sekali. Dari semua orang di kota ini, dia menyelamatkan…. Diriku. Dia bilang membutuhkan ku.Gwen : (pintu lift terbuka) “senang bertemu denganmu, Max”Max : (kaget) “Tunggu, dia mengingat namaku.”
Bagi saya, percakapan diatas menunjukkan beberapa
hal, yakni:
- Bagi orang yang terpinggirkan, berbohong dengan cara yang bombastis adalah sebuah kewajaran
- Max adalah orang yang benar-benar terabaikan, ia senang bukan kepalang ketika Gwen mau mengingat namanya, seperti sebuah keajaiban.
- Max mencari pengakuan atas eksistensi dirinya melalui kebutuhan orang lain atasnya.
Dari
situasi sikologis yang dialami Max, setidak-tidaknya akan memunculkan dua
kondisi yakni yang pertama, Max akan menjaga keras kebutuhan –juga bisa dibaca
sebagai kepercayaan- orang lain atasnya (lihat bagian dalam Rise of Electro, ketika Spider-Man dan
Harry Osborn menyatakan membutuhkan Max, dampaknya Max menjadi seorang spidey fanaticism dan Max memutuskan
untuk berkolaborasi dengan Harry), dan yang kedua, jika kepercayaan tersebut
kembali direnggut darinya, maka Max tidak lagi menjadi Max, tapi sebagai
Electro absolut (lihat bagian ketika Electro yang awalnya masih mempunyai
sifat-sifat Max merasa dikecewakan oleh Spider-Man, dampaknya sisa-sisa sifat Max
memudar, yang ada hanyalah kebrutalan Electro).
“Kebrutalan,”
hanya itulah yang kita dapat dari “pengabaian,” jauh sebelum Rise of Electro (2014), pada tahun 1999;
didepan William Jefferson Clinton dan anggota kongres, filsuf serta aktivis
politik kelahiran Rumania; Eliezer Wiesel menyampaikan pidato legendarisnya
mengenai betapa memikat dan berbahayanya pengabaian.
Saya
kutipkan disini: “akan lebih muda jika
kita memalingkan wajah dari para korban, agar kita bisa terus bekerja,
bermimpi, dan berharap. Lagipula, rasanya janggal untuk terlibat dalam
penderitaan orang lain. ….tapi, normalkah kita ketika kita menikmati hidangan
kalkun lezat dan segelas anggur, sementara lingkungan disekitar kita mengalami
pergolakan yang mengerikan?”
Saya
berandai-andai, jika saja para pegawai Oscorp Industries mengetahui pidato
Elie, Max tentu akan tetap menjadi Max, dan jikapun Max telah menjadi Electro, saya
yakin ia tetap akan mati dan dikenang sebagai Max Dillon.
**
Pelaihari, 13 Oktober
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar