kalimat
itulah yang langsung melekat kuat ketika saya menamatkan film besutan pria
lulusan Akedemi Militer Amerika Serikat kelahiran Israel, Rod Lurie. Selain
menulis dan menyutradarai film, Lurie juga menulis buku Once Upon a Time in Hollywood: Moviemaking, Con Gomes, and Murder in
Glitter City yang terbit tahun 1995 lalu.
Film
ketiga dari empat film Lurie ini -The
Contender (2000), The Last Castle (2001), Nothing But The Truth (2008), dan
Straw Dogs (2011)- diplot secara sederhana
dengan alur yang sebenarnya tidak terlalu luar biasa namun sukar ditebak dan
anda akan terkejut dibagian akhirnya. Hal-hal yang lalu lalang dikehidupan
sehari-hari semisal prinsip, tanggung jawab, konsekuensi, integritas, hukum,
keamanan negara, seks, atau selera berpakaian dibungkus dan diceritakan kembali
oleh Lurie dalam Rachel Armstrong (diperankan Kate Beckinsale); seorang
reporter perempuan yang setiap hari selasa mempunyai kolom di Harian Capital Sun Times.
Saya
ingin memulai adegan film ini dari sebuah bus, dan lalu lapangan sepakbola yang
digunakan Allison Van Doren (Kristen Bough). “well, tak ada yang suka bertahan” kata Rachel pada Erica Van Doren
(Vera Farmiga) yang tengah asik melihat anaknya; Allison, bermain bola. “Bisa kita bicara berdua?” lanjut Rachel,
“Ya tentu, aku hanya khawatir jika dia
melihatku pergi” sambung Erica. Dari percakapan inilah apa yang hendak
dikisahkan Nothing But The Truth dimulai,
Rachel bertanya pada Erica apakah ia agen CIA yang menjalankan misi mencari fakta
di Venezuela terkait upaya pembunuhan atas Presiden Lyman.
Lyman
setidaknya ditembak dengan tiga kali tembakan, dan tiga minggu kemudian –sebagai
respon Lyman atas laporan CIA- pesawat
tempur Amerika menyerang pangkalan udara Venezuela.
Hal
yang mengejutkan, berdasarkan “sumber” yang diperoleh Rachel, Erica adalah agen
CIA yang menulis laporan yang menyatakan bahwa Venezuela tidak bertanggung
jawab atas tiga kali tembakan terhadap Presiden Lyman. Artinya, peristiwa buruk
jika warga Negara mengetahui bahwa pemerintahnya menggerakkan pesawat tempur berdasarkan
angan-angan.
dan,
Rachel Armstrong memberitakannya….
Tapi
saya tak akan tergoda untuk terlalu jauh bercerita, yang menarik bagi saya
adalah bagaimana “nalar” yang bekerja dibelakangnya sehingga “semua menjadi
tampak benar” jika Nothing But The Truth dilihat dari kacamata Rachel, Ray
Armstrong (Suami Rachel, diperankan David Schwimmer), dan Patton Dubois (Jaksa
Khusus Negara yang ditunjuk untuk menyelidiki kebocoran Laporan Erica, diperankan
oleh Matt Dillon).
Nalar
bagi Patton Dubois adalah nalar bayani, nalar
bagi Ray adalah nalar burhani, dan
nalar bagi Rachel adalah nalar irfani. Trilogi
nalar -dipopulerkan cendikiawan muslim Maroko; Abid al-Jabiri (1936-2010)- ini lah
saya gunakan untuk menyigi nalar yang bekerja pada Nothing But The Truth.
Saya
bisa bayangkan, betapa kacaunya jika Nothing
But The Truth dijalankan dengan patron yang berbeda, misal tokoh Ray dengan
basis nalar burhani, diganti dengan
Ray berbasis nalar irfani, yang
justru akan menjadi korban adalah Timmy Armstrong (anak laki-laki dari Ray dan
Rachel, diperankan Preston Bailey) yang akan tumbuh besar dengan ibu yang sedang
di Penjara. Tentu saya tidak menyarankan agar setiap suami menyelingkuhi
istrinya yang sedang depresi di penjara, tapi apa yang dipilih Ray adalah pilihan
Ayah yang rasional yang memikirkan masa depan Timmy tanpa perlu AXA Mandiri.
Dubois
yang bekerja berdasarkan teks tertulis, dan kaidah-kaidah hukum, tidak mungkin diganti dengan Dubois
yang bekerja atas dasar intuisi/Zdauq, jika
dipaksakan tentu Rachel akan bebas dan menjadi contoh buruk bagaimana begitu
mudah dan tidak terselesaikannya gangguan atas stabilitas Negara. Begitu pun
dengan Rachel yang menggunakan nalar irfani,
jika diganti dengan katakanlah Rachel dengan nalar burhani, maka Nothing But The Truth sebagai sebuah film akan
selesai dalam durasi waktu hanya kurang lebih empat menit dua puluh satu detik.
Dari
dua paragraf diatas, terlihat bahwa kelangsungan Nothing But The Truth sangat
ditentukan oleh kesesuaian dari tiga nalar yang bekerja dibelakangnya dengan
sepengetahuan dan ukuran yang ditetapkan oleh Lurie. Semua mempunyai peran,
semua mempunyai arti, dan semua mempunyai alasan masing-masing. Mengibiri salah
satunya adalah hanya sebuah kebodohan. Rod Lurie tak sendirian disini, al-Qamar
ayat ke-49 menyatakan “sesungguhnya, kami
menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
Apa arti
sebuah “ukuran” atau lebih tepatnya sampai sejauh mana “ukuran” tersebut?
Meski
Albert Burnside (pengacara Rachel, diperankan Alan Alda) sudah berkata manis,
saya kutipkan disini: “karena aku membela
Rachel Armstrong, bukan sebuah prinsip” dan “mulanya, aku piker Rachel dan Prinsip adalah dua buah bagian, tapi
ternyata ia satu,” bagi Lurie, ukuran sudah ditetapkan, dan ukuran itu ada
pada durasi satu jam tiga puluh enam menit tiga puluh tiga detik ketika Rachel
memutuskan untuk berbicara dengan Albert.
Albert
Burnside memang seorang yang mengerti kata-kata untuk diingat, ia berujar “seseorang bisa menjalani kehidupan yang
baik, menjadi terhormat, dan berbuat amal, …tapi pada akhirnya, jumlah orang
yang datang pada pemakamannya umumnya tergantung pada cuaca.”
**
Pelaihari,
11 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar