Satu lagi film produksi India yang memberikan kesan mendalam. Setelah 3 Idiots (2009), Rajkumar Hirani kembali menelurkan film India berkualitas berjudul PK (2014).
PK atau yang dibaca "Peekay" yang dalam bahasa Indianya mempunyai arti "Mabuk" berhasil menggelitik sisi spritual masyarakat umum India dan tak hanya India.
Terletak di Asia Selatan dengan Motto "Satyameva Jayate" atau "Hanya Kebenaran yang Berjaya," India merupakan sebuah tempat -dalam bahasa Soekarno- segala-gala barang berbau agama, sebuah tempat dimana jumlah hari-hari libur agama jauh melebihi jumlah hari-hari libur sekuler. Dengan kata lain, India adalah keberagaman dalam keagamaan.
....dan ditengah kebaragaman itu, muncullah PK (diperankan oleh Aamir Khan) dalam keadaan "telanjang". Kata telanjang disini saya artikan dalam dua hal yakni telanjang dalam arti lurus tidak berpakaian dan telanjang dalam arti tidak mempunyai pengetahuan/bahasa/laku. Saya kira, disini Rajkumar Hirani adalam pembaca Lacan yang baik. Pemilihan sosok PK sebagai alien humanoid bukan merupakan kebetulan belaka. Dalam tradisi Psikoanalisis Lacanian dikenal sebuah keadaan sebelum berbahasa dimana bayi masih merasa bahwa dirinya dan seluruh yang liyan adalah satu kesatuan, dan sosok awal PK saya rasa tidak secara sempurna mewakili itu.
PK kemudian masuk dalam tataran simbolik; PK bertumbuh, mengenakan pakaian, belajar berbahasa, memakan wortel, mengenal cinta dan melakukan pencarian atas Tuhan.
Terletak di Asia Selatan dengan Motto "Satyameva Jayate" atau "Hanya Kebenaran yang Berjaya," India merupakan sebuah tempat -dalam bahasa Soekarno- segala-gala barang berbau agama, sebuah tempat dimana jumlah hari-hari libur agama jauh melebihi jumlah hari-hari libur sekuler. Dengan kata lain, India adalah keberagaman dalam keagamaan.
....dan ditengah kebaragaman itu, muncullah PK (diperankan oleh Aamir Khan) dalam keadaan "telanjang". Kata telanjang disini saya artikan dalam dua hal yakni telanjang dalam arti lurus tidak berpakaian dan telanjang dalam arti tidak mempunyai pengetahuan/bahasa/laku. Saya kira, disini Rajkumar Hirani adalam pembaca Lacan yang baik. Pemilihan sosok PK sebagai alien humanoid bukan merupakan kebetulan belaka. Dalam tradisi Psikoanalisis Lacanian dikenal sebuah keadaan sebelum berbahasa dimana bayi masih merasa bahwa dirinya dan seluruh yang liyan adalah satu kesatuan, dan sosok awal PK saya rasa tidak secara sempurna mewakili itu.
PK kemudian masuk dalam tataran simbolik; PK bertumbuh, mengenakan pakaian, belajar berbahasa, memakan wortel, mengenal cinta dan melakukan pencarian atas Tuhan.
".......... Setelah banyaknya pengejaran, Aku mulai mengerti... Dunia ini tidak hanya ada satu Tuhan. Tapi ada banyak Tuhan. dan setiap Tuhan punya aturan yang berbeda. Dan setiap Tuhan membuka perusahaan sendiri... Manusia punya agama untuk Mereka (Tuhan). Dan setiap agama punya manajer yang berbeda. Dalam dunia ini, setiap orang hanya punya satu agama... Artinya mereka hanya mengikuti satu perusahaan saja. Dan Tuhan yang mereka pilih, itulah yang mereka sembah, bukan yang lain. Jadi aku harus jadi bagian perusahaan yang mana? Tuhan mana yang harus kusembah?" | PK .
Disini saya ingin mengajukan sedikit kritik, pertanyaan bernas tersebut oleh Rajkumar Hirani dibiarkan secara sengaja menjadi mandul, kita tak akan temukan jawabnya dalam film dengan durasi 182 menit. PK hanya melontar-lontarkan argumen sesak logika tanpa basis teologis yang jelas yang menjadi cemerlang ketika dihadapkan pada tokoh agama yang haus kuasa semacam Tapasvi Maharaj (diperankan Saurabh Shukla). Jalan cerita akan menjadi lain tentu saja jika dibenturkan kepada tokoh-tokoh semacam Gautama Buddha, Mirza Ghaluman Ahmad, Swami Vivekananda, Sepuluh Guru Sikh, atau bahkan Zakir Abdul Karim Naik.
Namun terlepas dari hal itu, PK tetap merupakan film seksi yang tidak saya sarankan untuk ditonton oleh seorang ortodoks buta yang tidak mampu -atau lebih tepatnya mau- memahami kata-kata ahli matematika kelahiran London berikut :
"Ya... Kita menghargai perbedaan yang dimiliki manusia satu sama lain. Kamu suka strawberry aku benci ice skating, kamu menangis difilm sedih aku alergi serbuk sari. Apa gunanya selera yang berbeda, pilihan yang berbeda jika kita tak mau mengakui otak kita secara berbeda? cara pikir kita berbeda?" | Alan Turing dalam The Imitation Game (2014)"O ya, ada adegan menarik dalam film ini ketika PK berusaha mencari tanda agama pada bayi yang baru saja dilahirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar