Senin, 23 Juli 2012

Menyigi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 Tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan


Andra Eka Putra
 
***“… Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku semuanya” masih ingatkah pembaca dengan lirik lagu tersebut? Ya, lirik lagu Indonesia Raya. Jika sudah demikian bagaimana jika pertanyaan awal tadi penulis ganti dengan masih bermaknakah lirik lagu tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini maka penulis ingin mengajak pembaca terlebih dahulu untuk meresapi “nilai” yang ingin dikemukakan oleh W.R. Supratman selaku pencipta dari lirik lagu tersebut. Jika memperhatikan susunan kata pada lirik Indonesia Raya dimana Supratman memulainya dari tanah, negeri, bangsa, dan kemudian rakyat maka secara sederhana “Nilai dasar” itu adalah “jika ingin menghidupi rakyatmu, hidupilah terlebih dahulu bangsamu, jika ingin menghidupi bangsamu hidupilah terlebih dahulu negerimu, dan jika ingin menghidupi negerimu hidupilah terlebih dahulu tanahmu”, menghidupi tanah sama halnya dengan menghidupi rakyat: itu poin pentingnya.

Dari data yang ada, rupa-rupanya tanah di Indonesia tidak “hidup”, Sampai tahun 2005 saja dari hasil penelitian Sallamudin Daeng dkk dalam bukunya “SBY Mundur: Pertanggungjawaban Politik Pemuda Indonesia” (2011) mencatat bahwa 90% dari luas total tanah diseluruh Indonesia dialokasikan untuk kepentingan penanaman modal asing, jadi patut ditulis dengan kondisi tanah Indonesia yang tidak “hidup”  maka kecil kemungkinan rakyat Indonesia dapat “hidup.” Namun penulis disini tidak ingin terlalu jauh berada di (katakanlah) ranah “apresiasi sastra”, oleh itu maka penulis ingin menggiring pembaca ke ranah akar fundamen-nya yaitu apa yang sesungguhnya menjadi penyebab tanah di Indonesia tidak “hidup”.

Sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 1 ayat (3) Konstitusi kita bahwasanya Negara kita adalah Negara Hukum, maka produk hukum yang sangat erat kaitannya dengan pemaparan diatas adalah UU RI No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang kemudian mengacu pada Teori Jenjang Norma Hukum Hans Nawiasky dan Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka penulis kerucutkan kembali menjadi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan.

Bagian Peraturan Daerah (Perda) inilah yang ingin penulis kaji dengan melakukan tinjauan secara umum yang mana tulisan ini nantinya juga merupakan sebuah surat terbuka bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

***
Sebagaimana telah diketahui luas, Peraturan Perundang-undangan umumnya dibagi menjadi tiga muatan, yaitu (1) Bagian menimbang, (2) Bagian mengingat, dan (3) Bagian memutuskan-menetapkan. Secara sederhana bagian menimbang (juga biasanya disebut konsiderans) merupakan bagian yang berisi pertimbangan aspek filosofis, aspek sosiogis, dan aspek yuridis dibuatnya peraturan perundang-undangan, bagian mengingat merupakan dasar hukum, dan bagian memutuskan-menetapkan merupakan hasil akhir yang mana menjadi keputusan untuk kemudian ditetapkan dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dari definisi sederhana tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bagian fundamental dari sebuah peraturan perundang-undangan terletak pada bagian “menimbang” karena pada bagian inilah yang menjelaskan latar belakang atau tujuan dari kenapa suatu perundang-undangan tersebut dibuat.

Berangkat dari kontruksi logika diatas, maka latar belakang atau tujuan dari dibuatnya Perda Prov. Kalsel No. 10/2010 dapat dilihat dibagian menimbang pada Perda tersebut yang mana secara tegas disebutkan (penulis kutip utuh):
a.    Bahwa dalam rangka meningkatkan penanaman modal guna mendukung pembagunan perlu diciptakan suatu kondisi yang menjamin kepastian hukum, kemudahan pelayanan dan perizinan kepada para penanam modal;
b.    Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 176 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah, diperlukan landasan yuridis sebagai pedoman pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal kepada masyarakat dan/atau penanam modal di daerah dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah;
c.    Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan;

Dalam kacamata penulis, bagian “menimbang” dari Perda Prov. Kalsel No. 10 tahun 2010 ini cendrung bersifat “kontroversial”, kenapa demikian? karena dari 3 (tiga) poin yang disebutkan diatas tidak ada satu patah katapun yang menyinggung tentang kesejahteraan masyarakat. Tidak seperti umumnya Perda-Perda Penanaman Modal Provinsi lain semisal Perda Provinsi Jawa Tengah No.7 Tahun 2010 yang mana pada bagian menimbangnya (poin a) secara jelas mencantumkan “…kesejahteraan masyarkat” atau juga indukan dari Perda-Perda Provinsi tentang Penanaman Modal tersebut yakni UU RI No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana bagian menimbangnya (poin a) menyebutkan “…untuk mewujudkan masyarkat adil dan makmur.”

Baik UU RI No. 25 Tahun 2007 atau Perda Provinsi Jateng No. 7 Tahun 2010 tadi sama-sama dilatarbelakangi dan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dan atau untuk kesejahteraan masyarakat, sementara pada Perda Provinsi Kalsel No. 10 tahun 2010 hal tersebut tidak disebutkan secara jelas dan yang disebutkan justru hanya (poin a) “…guna mendukung pembangunan.”

Memang, jika mengacu pada UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU tersebut tidak mengatur atau mewajibkan pencantuman kata “kesejahteraan, adil, maupun makmur” pada bagian “menimbang” secara eksplisit, namun sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 5 UU yang sama maka Peraturan Perundang-undangan harus dibentuk berdasarkan Kejelasan Tujuan. Artinya dibentuknya Peraturan Perundang-undangan tersebut haruslah jelas bertujuan untuk apa dan untuk siapa?

Jadi, kembali kepada Peraturan Daerah Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan yang tidak mencantumkan “kesejahteraan masyarakat” sebagai tujuan dan hanya mencantumkan “penanam modal guna mendukung pembangunan”  maka pertanyaan penting selanjutanya adalah apakah pembangunan koheren dengan kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting dikemukakan karena bisa saja ada argumen yang menyatakan pembangunan tentu terotomatisasi langsung akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat. Oleh itu maka bagian berikut dari tulisan ini akan mengkaji hal tersebut.

***
Dewasa ini, setelah (katakanlah) “keruntuhan” faham-faham kiri, sadar atau tidak sadar maka ilmu pengetahuan cendrung diproduksi, dikontruksi serta dimonopoli oleh faham kanan, pun tidak terkecuali dengan teori pembangunan yang menjadi aspek bahasan, ketimpangan wacana global ini menyebabkan dikeberinya teori pembangunan kiri semisal neo-marxisme serta diinjeksikannya “penyebaran bibit” teori-teori pembangunan kanan semisal neo-klasik yang digawangi oleh Hicks dan utamanya Milton Friedman yang barang tentu berimplikasi langsung pada “tumbuh suburnya pohon-pohon” kapitalisme, “bibit subur” itu tumbuh diantaranya dalam teori pembangunan W.W. Rostow yang sekarang sedang awam digunakan.
Rostow menyatakan tahapan-tahapan dalam pembangunan dibagi menjadi lima tahapan yaitu: (1) Masyarakat tradisional (2) Prakondisi tinggal landas (3) Tinggal landas (4) Pematangan, dan (5) Konsumsi massa yang berlebihan (Kevin P. Clements, Teori Pembangunan: Dari Kiri ke Kanan, 1999).

Dari sini, nanti kita akan menemukan “benang merah” antara teori pembangunan Rostow dengan logika umum pembangunan di Indonesia umumnya tak terkecuali logika pembangunan yang juga terdapat dalam Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010.

Oleh itu, berangkat dari pembagian lima tahapan dalam pembangunan oleh Rostow tadi, maka indikator yang digunakan untuk mengukur sudah sejauh mana tahapan pembangunan adalah konsumsi masyarakat. Artinya semakin tinggi konsumsi masyarakat maka dipandang sebagai semakin meninggi pula tahapan pembangunan yang telah dicapai. Nah, untuk meningkatkan konsumsi masyarakat tersebut maka diperlukan kebutuhan akan investasi atau penanaman modal. Disinilah kemudian yang menjadi “benang merah” antara teori pembangunan Rostow dengan logika umum pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia – Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini tercermin secara jelas misal dalam Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 dimana penanaman modal digunakan untuk mendukung pembangunan. Dan kemudian terkait dengan pertanyaan sebelumnya yakni apakah pembangunan (yang menjadi latar belakang Perda Prov. Kalsel No. 10 tahun 2010) koheren dengan kesejahteraan masyarakat maka rupa-rupanya implikasi dari penggunaan “logika pembangunan Rostow” tadi alih-alih mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun justru malah memunculkan membengkaknya pengangguran, kemiskinan serta ketimpangan pendapatan.

Apa sebab? karena konsekuensi* (*bagian inilah yang sangat jarang diwacanakan secara “sehat” kepada publik, karena “dibatasinya” akses pengetahuan sebagai wujud monopoli pengetahuan faham kanan: neo klasik, strukturalis, etc) dari logika pembangunan Rostow ini berorientasikan kepada Pendapatan Per Kapita masyarakat (lanjutan dari konsumsi masyarakat) yang barang tentu akan sangat erat sekali kaitannya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pada titik inilah kemudian kita mengenal apa yang dinamakan strategi pertumbuhan.

Dengan menerapakan strategi pertumbuhan yang terlalu menekankan kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka pilihan pembangunanpun tentunya akan lebih diorientasikan kepada sektor-sektor yang mempunyai peluang kemungkinan lebih besar untuk menghasilkan output yang lebih tinggi, efisien dan juga massal. Hal ini terbukti misal pada Pasal 8 ayat (2) Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 dimana disebutkan “…diarahkan pula kepada bidang-bidang usaha prioritas atau usaha unggulan.” Problemnya adalah definisi dari apa itu usaha prioritas atau usaha unggulan tidak dijabarkan secara jelas pada Pasal 1 yang menjadi ketentuan umum Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010. Dengan tidak dibikinnya garis definisi yang tegas maka usaha prioritas atau usaha unggulan tersebut akan menimbulkan “multitafsir” yang oleh karena itu jika usaha prioritas atau usaha unggulan tersebut dihadapkan pada pilihan pembangunan padat modal atau pembangunan padat tenaga kerja maka barang tentu pembangunan padat modal-lah yang menjadi prioritas karena pada karakter pembangunan jenis ini penggunaan tekhnologi lebih diutamakan dan juga umumnya menghasilkan output yang lebih besar, serta lebih efisien.

Pilihan pembangunan padat modal pada kenyataannya memang ampuh untuk menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang “spektakuler”, namun pada kenyataannya juga justru jenis karakter pembangunan yang seperti inilah yang menimbulkan membengkaknya pengangguran oleh karena tidak terserapnya tenaga kerja (teknologi lebih diutamakan). Dari titik krusial ini (baca: pengangguran) maka pada akhirnya akan menghasilkan “kemiskinan individu” dan membentuk masyarakat daerah domisili penganggur, disisi lain individu-individu penanam modal dan masyarakat perkotaan semakin intensif mendapatkan akumulasi keuntungan. Pola seperti inilah yang menjadi aktor utama dalam menggali jurang daerah maju (kota) yang semakin kaya sementara daerah terbelakang (desa) semakin tertinggal, menimpangkan pendapatan masyarakat dimana si-kaya akan semakin kaya dan si-miskin akan semakin miskin, atau -meminjam istilah Karl Marx- menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia oleh manusia”: la’exploitation de la’homme per la’homme.

Oleh itulah jika yang dimaksudkan Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 mengenai mendukung “pembangunan” itu (tapi) mengacu pada logika umum pembangunan diatas, maka bisa dikatakan jawaban dari apakah ada kekoherenan antara pembangunan dengan kesejahteraan masyarakat tidak mutlak ada. Dan jika sudah demikian, patutlah kiranya masyarakat mempertanyakan apakah “motif” yang melatarbelakangi dan atau menjadi tujuan dari pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 Tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan ini. Patutlah kiranya Pemerintah – Pemerintah Daerah dalam membentuk sebuah Peraturan Perundang-undangan murni mempunyai “tujuan” untuk mensejahterakan masyarakatnya, karena logika dasar kenapa kita ber-Negara adalah tentu dus untuk sejahtera.

Sebagai “mistar” bagaimana harusnya “jiwa” yang dimiliki suatu Peraturan Perundang-undangan utamanya yang terkait dengan pembangunan bisa kita lihat pada Orde Lama Soekarno, semisal TAP MPRS No. II Tahun 1960 dimana bagian “menimbangnya” (poin b) secara tegas mengatakan “… untuk menuju tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau Masyarakat Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh manusia, guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat;” Lihatlah, betapa mulia tujuan Peraturan Perundang-undanganan itu, kemana semangat “Soekarno” itu sekarang, kemana semangat “Tan Malaka”, semangat “Hatta”, semangat “Sjahrir” dan atau semangat “Pendiri Bangsa” yang lain yang menuntut Merdeka 100%,

… atau jangan-jangan nyatanya kita memang tidak pernah “Merdeka?”

***
Begitulah kira-kira langkah awal penulis dalam usaha penyigian terhadap Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 tentang penanaman modal, dimana jika diteoritiskan dan diilmiahkan ternyata pembangunan tidak selalu mesti koheren dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk itu besar harapan penulis khususnya dan masyarakat umumnya ada upaya dari Pemeritah Daerah Provinsi Kalsel untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 setidak-tidaknya dengan mencantumkan “kesejahteraan masyarakat” sebagai tujuan dan niatan awal dibentuknya Peraturan Daerah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar