Jumat, 19 Juni 2015

Leviathan (2014)

"… seperti hal nya Pangeran Agung St. Alexander Nevsky berkata: “Tuhan tidak bersabda dalam kekuatan, tapi kebenaran.” Dan dia benar, bukan dengan kekuatan, tapi dengan kasih sayang, bukan dengan amukan, tapi dengan kebijaksanaan Tuhan, bukan dengan amarah dan kebencian, tapi dengan keberanian. Kita berhasil mengusir banyak musuh dari agama dan tanah air kita. Tapi yang terpenting hari ini adalah kita harus memegang teguh iman kita. Dan juga selalu menyampaikan kebenaran. Kebenaran… adalah kehendak Tuhan. Kebenaran menggambarkan dunia dengan apa adanya tanpa gangguan. Tapi hanya bagi dia yang tahu kebenaran Tuhan-lah yang bisa menemukan kebenaran."
Khotbah yang panjang dan tidak selesai saya kutipkan itu, dengan khusuk didengar oleh Vadim Shelevyat; pejabat pemerintah di kota pesisi Rusia, tambun, kaya, rajin mengunjungi pemuka agama, mempunyai istri yang cantik dan anak yang tampak cerdas.

Hidup Vadim yang terlihat sempurna justru berbanding terbalik dengan Koyla; seorang suami dan seorang ayah yang rumah beserta tanah nya diambil alih oleh Negara. Tidak berhenti disitu, Istri yang berselingkuh dengan kawan baik, anak yang membenci ibu tiri, sampai dituduh membunuh istri sendiri adalah rangkaian kejadian-kejadian yang menghampiri Koyla.

Kisah Vadim dan Koyla inilah yang lantas oleh sutradara muda Rusia; Andrey Zvyaginstev dituangkan dalam Leviathan (2014). Dari judul nya, kita tentu mudah teringat pada buku filsuf empirisme Inggris; Thomas Hobbes, Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall and Civil yang terbit tahun 1651. Dan memang, ada kemiripan antara film Leviathan Zvyaginstev dengan buku Leviathan Hobbes.

Leviathan –baik sebagai film maupun buku- menuturkan kepada kita bahwa Negara benar-benar dapat berkuasa secara mutlak. Dengan dalih untuk kepentingan kota, tanah yang diwarisi turun temurun dan rumah yang dibangun Koyla oleh Negara (melalui Vadim) diambil alih dan hanya diberikan harga ganti rugi (atau jual beli) senilai 639.540 Ruble, sebuah harga yang jauh dibawah standar –setelah memperhitungkan ganti rugi atas produksi agrikultur- Koyla yang menuntut 3.500.000 Ruble. dan preseden buruk ini dapat dilakukan Negara dengan pengadilan yang tidak netral dan aparat keamanan yang korup.

Malah, entah kenapa saya justru mengingat cerita pendek Before the Law Novelis Jerman; Franz Kafka ketika Dmitriy Seleznyov –pengacara dan selingkuhan istri Koyla- mengunjungi kantor Jaksa dan berkata: "…Apa mereka semua tidak bekerja? Menurutmu ini tidak aneh?" Tanya Dmitry kepada seorang perempuan dan perempuan itu menjawab "Tidak.. hanya ada dua jaksa. Jaksa umum sedang sakit dan detektif sedang menangani kasus. Kau bisa mengirim surat atau pergi ke Pengadilan." "Baiklah, aku mengerti. Berikan aku surat penolakannya" Lanjut Dmitry yang dijawab oleh perempuan itu dengan "Sudah kubilang: aku tidak berwenang." Kondisi yang kurang lebih sama terjadi ketika Dmitry kemudian memutuskan untuk mendatangi kantor Pengadilan. "Halo, aku mau menemui Hakim" kata Dmitry, "tidak ada orang disini" sergah seorang petugas. "sama sekali?" Tanya Dmitry. "Ya" jawab petugas. "Tidak ada asisten atau sekretaris? Kapan mereka kesini?" lanjut Dmitry, dan petugas menjawab "Aku tidak tahu."

Begitulah Negara, yang diyakini oleh Hobbes –mengikuti Rousseau- muncul karena adanya sebuah kontrak sosial; du contract social yang dimungkinkan terjadi oleh sebab pencegahan atas homo homini lupus.

Bagaimanapun, Leviathan (2014) adalah sebuah kejeniusan dan kepekaan sosial Andrey Zvyaginstev dalam ritme kesederhanaan dan kenormalan hidup sehari-hari. Hal ini pula yang lantas mendorong saya untuk sesegara mungkin menyaksikan film Andrey lainnya; Elena (2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar