Sabtu, 20 Juni 2015

Shutter Island (2010)

Mungkin ini ada kaitannya atau tidak ada kaitannya dengan istilah elan vital yang diperkenalkan Henri-Louis Bergson dan karenanya ada kaitan atau tidak ada kaitan pula dengan Catatan Pinggir Cinta Goenawan Mohamad yang dirilis Tempo 1 Juni 2015 lalu.

Tulis Goenawan, "… elan vital, dorongan hidup yang terus menerus mengalir dan tumbuh, bukan kehadiran yang statis. Ilmu, yang disusun intelek/nalar, tak akan mampu memahaminya. Nalar mampu menganalisis, menganalisis berarti mengurai, tapi untuk itu kita harus memandang sebuah proses yang bergerak terus seakan-akan mandek."

Jika disitu yang dimisalkan Bergson melalui Goenawan adalah "lagu," maka disini saya akan rupakan sebagai "film."

Intelek bisa mengurai sebuah film menjadi deretan nilai karakter yang mampu diukur lewat disiplin ilmu psikologi, intelek mampu mengurai plot cerita dengan kategorisasi dari prodi televisi dan film perguruan tinggi. Tapi dengan demikian, film akhirnya harus diperlakukan sebagai benda yang "berhenti." Dan persis disitu, kita kemudian tak dapat lagi menikmatinya. Film baru bisa "bergerak," menggetarkan bahkan menyentuh jika kita berangkat dari intuisi, intuisi yang dinyatakan Bergson melalui Goenawan dapat "bersua dan menangkap elan vital yang menggerakkan kehidupan."

Agaknya, hal itulah yang menghantui saya terus-menerus belakangan ini; elan vital yang menjadi mampet ketika dalam sajak sastrawan Bengali, Rabindranath Tagore dilukiskan sebagai "menyelam dan mencari mutiara" bukan "menghimpun batu dan menebarkannya."

"Menyelam dan mencari mutiara" yang lebih dekat maknanya kepada "kontrol" dan "ke-tidak spontan-an" justru malah memunculkan beban dan utang serta menunda saya untuk berangkat ke-antrian eksodus besar-besaran folder film Perancis, Iran, juga Amerika Latin. Oleh sebab itu, pada Shutter Island (2010) saya justru lebih memilih untuk hanya "menghimpun batu dan menebarkannya."

Shutter Island (2010) yang diadaptasi dari Novel Dennis Lehane tahun 2003, adalah sebuah film yang mengisahkan Edward Daniels yang menyelidiki kasus hilangnya pasien di rumah sakit jiwa Ashecliffe. Namun, tidak perlu menjadi jenius untuk tahu bahwa justru Edward Daniels –atau belakangan menjadi Andrew Laeddis- lah yang sebenarnya gila, akan tetapi bulu bergidik ketika membaca tulisan "Run" dan keterkejutan muncul ketika Shutter Island (2010) menjadi pengejawantahan paling serius peribahasa lama Indonesia "lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai."

Pada sebuah adegan singkat dan tampaknya oleh sutradara Martin Scorsese diperuntukkan untuk tidak terlalu diperhatikan, Edward Daniels atau Andrew Laeddis mengatakan "… Kau tahu, tempat ini membuatku berpikir… mana yang terburuk, hidup sebagai monster atau mati sebagai orang baik?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar