Ayah
yang pemabuk dan Ibu Katolik Irlandia melahirkan anak yang menghabiskan sisa
hidupnya menjadi Agnostik. Saya tidak mengatakan bahwa Arthur Ignatius Conan
Doyle mengatur jam alarm hari ini dan tidak punya keyakinan untuk terbangun keesokan
harinya, yang saya coba katakan adalah bahwa Doyle di tahun 1886 mencipta
karakter Sherlock Holmes berdasarkan tokoh Dr. Joseph Bell –ahli dalam cara berpikir
deduktif untuk mendiagnosa penyakit- yang merupakan salah satu dosennya di
Universitas Edinburgh, Skotlandia. Edindburgh yang dijuluki Athena di Utara
dengan alumnus seperti Charles Darwin, David Hume, serta Alex Graham Bell.
Namun bukan itu yang akan kita bincangkan.
Tak
seperti Robert Downey Jr yang diizinkan ayahnya mengkonsumsi ganja sejak usia 6
tahun, Benedict Cumberbatch memerankan Sherlok Holmes dengan tingkat sarkasme
yang lebih rendah. Disini, bukan berarti saya sama tua-nya dengan Cephalus,
ayah Polemarchus (lihat buku ke-1 The Republik karya Plato), namun saya satuju
dengan Cephalus ketika mengatakan kepada Socrates “semakin banyak kesenangan
badaniah berangsur-angsur hilang, semakin besar kesenangan dan pesona
percakapan bagi saya,” Meski begitu, British Broadcasting Corparation (BBC) sebagai
pengampu Sherlock cukup prima dengan menukilkan blog Pribadi Dr. John Watson
dan tentu saja blog Sherlock sendiri berjudul The Science of Deduction. Namun
bukan itu yang akan kita bincangkan.
Rambut
klimis Jim Moriaty, inner beauty Irene Adler, atau dengan segala hormat absurditas
Mrs. Hudson adalah hal-hal yang bisa dengan mudah diamati, yang tidak mudah
saya pahami adalah bagaimana bisa Sherlock dengan kaca pembesar tapi tanpa pipa
rokok, di 221b Baker Street, London terletak The Sherlock Holmes Museum (buka
setiap hari dari pukul 09.30 s.d 18.00), dengan cukup membayar tiket masuk
seharga 80.000 RibuRupiah maka anda akan ditawarkan fasilitas foto mengenakan
topi kebesaran serta pipa rokok Holmes, sekali lagi… pipa rokok Holmes. Entah
apa yang ada dipikiran Stevan Moffat maupun Mark Gatiss selaku penulis Sherlock
yang saya yakin pasti berkunjung ke museum. Namun bukan itu yang akan kita
bincangkan.
Di
Amsterdam, 30 Juli 2014, Goenawan Mohamad menulis sebuah Esei berjudul Fragmen:
Peristiwa yang menggunakan kata “Tapi” sebanyak 41 kali, pada “Tapi” ke-10 lah
tulisan ini menemukan –anggap saja- gaungnya. “Tapi” yang menuntun kepada Ludwig
Josef Johaan Wittgenstein yang menulis surat menjelang musim dingin 1919, yang isinya
dengan tidak bangga saya gubah menjadi: "tulisan ini terdiri dari dua bagian:
yang satu yang tertulis disini dan yang satu yang belum kutulis dan justru pada
bagian kedua itulah yang penting."
Jadi,
juga hasil gubahan yang kali ini dari Samuel Beckett, si pemenang nobel sastra
tahun 1969, tulisan ini agaknya lebih pas jika saya beri judul “Sementara
Menunggu Sherlock” atau malah “Sementara Menunggu Resensi Sherlock.”