Kamis, 02 Juli 2015

Hunger (2008)

Mungkin saya agak terbalik dalam menikmati karya Steve McQueen, didahului dengan 12 Years a Slave (2013) lantas baru menamatkan Hunger (2008). Namun, tak jadi soal pula karena memang kedua film itu sama sekali tidak berkaitan.

Hunger sendiri dilatarbelakangi kisah nyata Irlandia Utara, dimana selama periode konflik etnis yang dimulai sejak 1969, “The Troubles” atau “Na Triobloidi” dalam bahasa aslinya telah memakan korban sebanyak 2.187 jiwa untuk pihak loyalis-unionis maupun pihak nasionalis-republikan. Meski demikian Hunger tidak dimulai dari situ, Hunger dimulai dari sebuah Penjara di wilayah County Down, Irlandia Utara bernama Maze.

Maze yang resmi dioperasikan sejak 9 Agustus 1971, menjadi saksi idealisme Robert  Gerard “Bobby” Sands dan rekan-rekan muda republik lainnya melakukan aksi protes menolak mandi lagi membersihkan diri (Dirty Protest) serta menolak berpakaian (Blanket Protest). Dirty dan blanket protest yang telah berlangsung bertahun-tahun di Maze digunakan Bobby sebagai amunisi untuk Margaret Hilda Tahtcher agar memberikan status politik yang artinya perlakuan berbeda antara pelaku kejahatan dengan pelaku kejahatan politik.

Margaret bergeming… “Tak ada namanya pembunuhan bermotif politik, pemboman bermotif politik, maupun kekerasan bermotif politik. Yang ada cuma kejahatan pembunuhan, kejahatan pemboman, kejahatan kekerasan. Kita tidak akan berkompromi.”

Begitulah Margaret, Prime Minister of The United Kingdom alumnus Oxford di bidang ilmu kimia yang oleh jurnalis soviet dijuluki sebagai wanita besi. Tapi Bobby tak menyerah, ia punya ide lain yang tampil seksi ketika didiskusikan dengan Pendeta yang akrab dipanggil Dom.

Dom dengan segala kemenarikan kata-katanya menolak mentah-mentah ide Bobby untuk menjadi pionir aksi mogok makan dengan menyatakan “… masa depan gerakan Irlandia ada ditangan orang yang telah kehilangan realitas.” Oleh Bobby lantas dijawab “… aku tahu kau tak bermaksud mencibirku Dom, jadi aku memaafkanmu…. kau pernah ke Gweedore di Donegal? Aku kesana saat usiaku 12 tahun, lomba lari lintas alam untuk anak-anak. Maksudku, ini adalah sebuah peristiwa penting, ini seperti sebuah kompetesi internasional bagi kami. Sebab kami berpacu melawan anak-anak selatan, dan kami melakukannya demi membuat Belfast bangga. Singkatnya, kami tiba di Gweedore. Tempat yang luas, ada sekitar 200 anak, dan mereka sedang melakukan pemanasan. Tim kami kemudian berlari-lari kecil guna meregangkan otot kaki. Mengelilingi ladang gandum lalu meluncur turun ke lembah dimana ada sungai dan hutan…. dan kami bertemu anak-anak dari Cork. Mereka mengejek aksen kami, bicara mereka seperti bergumam, jadi kami tak paham maksud mereka…. kami menghampiri tepi sungai untuk melihat apa ada ikan. Kami turun kesungai Dom, dan arusnya sampai selutut. tiba-tiba salah satu dari mereka berteriak, ada seeokor anak kuda mengambang dalam air, usianya 4 atau lima hari, tinggal tulang dan kulit, berwarna abu-abu dan ada noda darah…. dia bernafas, dia masih hidup. Percakapan riuh pun terjadi, tiba-tiba mereka merasa dirinya pemimpin dengan berunding harus berbuat apa, ada yang bilang lempar saja kepalanya dengan batu. Tapi, yang kulihat diwajah mereka adalah ketakutan dan kebingungan. Semua soal keberanian, anak kuda terus menderita dan perdebatan yang tak jelas terus terjadi. Salah satu dari mereka menatap kami lalu beralih ke anak kuda itu dan menyuruh kami untuk tetap tinggal sampai anak kuda itu benar-benar mati. Mereka bermaksud mengkambinghitamkan kami. Anak-anak Belfast selalu dipersalahkan, hal itu sangat jelas bagiku. Aku lalu berlutut dan kutekan kepala anak kuda itu kedalam air. Dia mulai menggelepar jadi kutekan semakin dalam hingga kepalanya terbenam. Pastor pun tiba Dom, Dia menjambak rambutku, menyeretku ke hutan dan mengurungku. Tapi aku tahu yang aku lakukan tadi benar. Supaya aku saja yang dihukum dan mereka menjadi hormat padaku. Aku paham apa yang kulakukan Dom, aku mengerti konsekuensinya. Aku akan bertindak, aku takkan duduk dan diam… tinggalkan rokok itu untukku.”

Margaret tetap bergeming… “dihadapkan pada kegagalan tuntutan mereka, dalam beberapa bulan terakhir mereka memilih untuk memainkan kartu terakhir, mereka melakukan kekerasan pada diri mereka sendiri, melalui aksi mogok makan sampai mati. Mereka mencari simpati paling dasar manusia yaitu belas kasihan untuk menciptakan ketegangan dan menyalakan api kebencian.”

Setelah 66 hari mogok makan, Bobby Sands meninggal. Bobby dengan keyakinan karang sangat menggoda saya untuk setidaknya memahatkan namanya pada sebuah kostum sepakbola Irlandia Utara bernomor punggung 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar