Mungkin
saya agak terbalik dalam menikmati karya Steve McQueen, didahului dengan 12
Years a Slave (2013) lantas baru menamatkan Hunger (2008). Namun, tak jadi soal
pula karena memang kedua film itu sama sekali tidak berkaitan.
Hunger
sendiri dilatarbelakangi kisah nyata Irlandia Utara, dimana selama periode
konflik etnis yang dimulai sejak 1969, “The Troubles” atau “Na Triobloidi” dalam
bahasa aslinya telah memakan korban sebanyak 2.187 jiwa untuk pihak
loyalis-unionis maupun pihak nasionalis-republikan. Meski demikian Hunger tidak
dimulai dari situ, Hunger dimulai dari sebuah Penjara di wilayah County Down,
Irlandia Utara bernama Maze.
Maze
yang resmi dioperasikan sejak 9 Agustus 1971, menjadi saksi idealisme Robert Gerard “Bobby” Sands dan rekan-rekan muda republik
lainnya melakukan aksi protes menolak mandi lagi membersihkan diri (Dirty
Protest) serta menolak berpakaian (Blanket Protest). Dirty dan blanket protest yang
telah berlangsung bertahun-tahun di Maze digunakan Bobby sebagai amunisi untuk Margaret
Hilda Tahtcher agar memberikan status politik yang artinya perlakuan berbeda
antara pelaku kejahatan dengan pelaku kejahatan politik.
Margaret
bergeming… “Tak ada namanya pembunuhan bermotif politik, pemboman bermotif
politik, maupun kekerasan bermotif politik. Yang ada cuma kejahatan pembunuhan,
kejahatan pemboman, kejahatan kekerasan. Kita tidak akan berkompromi.”
Begitulah
Margaret, Prime Minister of The United Kingdom alumnus Oxford di bidang ilmu
kimia yang oleh jurnalis soviet dijuluki sebagai wanita besi. Tapi Bobby tak
menyerah, ia punya ide lain yang tampil seksi ketika didiskusikan dengan Pendeta
yang akrab dipanggil Dom.
Dom dengan
segala kemenarikan kata-katanya menolak mentah-mentah ide Bobby untuk menjadi pionir
aksi mogok makan dengan menyatakan “… masa depan gerakan Irlandia ada ditangan
orang yang telah kehilangan realitas.” Oleh Bobby lantas dijawab “… aku tahu
kau tak bermaksud mencibirku Dom, jadi aku memaafkanmu…. kau pernah ke Gweedore
di Donegal? Aku kesana saat usiaku 12 tahun, lomba lari lintas alam untuk
anak-anak. Maksudku, ini adalah sebuah peristiwa penting, ini seperti sebuah
kompetesi internasional bagi kami. Sebab kami berpacu melawan anak-anak selatan,
dan kami melakukannya demi membuat Belfast bangga. Singkatnya, kami tiba di
Gweedore. Tempat yang luas, ada sekitar 200 anak, dan mereka sedang melakukan
pemanasan. Tim kami kemudian berlari-lari kecil guna meregangkan otot kaki. Mengelilingi
ladang gandum lalu meluncur turun ke lembah dimana ada sungai dan hutan…. dan kami
bertemu anak-anak dari Cork. Mereka mengejek aksen kami, bicara mereka seperti
bergumam, jadi kami tak paham maksud mereka…. kami menghampiri tepi sungai
untuk melihat apa ada ikan. Kami turun kesungai Dom, dan arusnya sampai selutut.
tiba-tiba salah satu dari mereka berteriak, ada seeokor anak kuda mengambang
dalam air, usianya 4 atau lima hari, tinggal tulang dan kulit, berwarna abu-abu
dan ada noda darah…. dia bernafas, dia masih hidup. Percakapan riuh pun
terjadi, tiba-tiba mereka merasa dirinya pemimpin dengan berunding harus
berbuat apa, ada yang bilang lempar saja kepalanya dengan batu. Tapi, yang
kulihat diwajah mereka adalah ketakutan dan kebingungan. Semua soal keberanian,
anak kuda terus menderita dan perdebatan yang tak jelas terus terjadi. Salah satu
dari mereka menatap kami lalu beralih ke anak kuda itu dan menyuruh kami untuk
tetap tinggal sampai anak kuda itu benar-benar mati. Mereka bermaksud
mengkambinghitamkan kami. Anak-anak Belfast selalu dipersalahkan, hal itu
sangat jelas bagiku. Aku lalu berlutut dan kutekan kepala anak kuda itu kedalam
air. Dia mulai menggelepar jadi kutekan semakin dalam hingga kepalanya
terbenam. Pastor pun tiba Dom, Dia menjambak rambutku, menyeretku ke hutan dan
mengurungku. Tapi aku tahu yang aku lakukan tadi benar. Supaya aku saja yang
dihukum dan mereka menjadi hormat padaku. Aku paham apa yang kulakukan Dom, aku
mengerti konsekuensinya. Aku akan bertindak, aku takkan duduk dan diam…
tinggalkan rokok itu untukku.”
Margaret
tetap bergeming… “dihadapkan pada kegagalan tuntutan mereka, dalam beberapa
bulan terakhir mereka memilih untuk memainkan kartu terakhir, mereka melakukan
kekerasan pada diri mereka sendiri, melalui aksi mogok makan sampai mati. Mereka
mencari simpati paling dasar manusia yaitu belas kasihan untuk menciptakan
ketegangan dan menyalakan api kebencian.”
Setelah
66 hari mogok makan, Bobby Sands meninggal. Bobby dengan keyakinan karang
sangat menggoda saya untuk setidaknya memahatkan namanya pada sebuah kostum
sepakbola Irlandia Utara bernomor punggung 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar