Selasa, 14 Juli 2015

Sherlock (2010, 2012 & 2014)

Ayah yang pemabuk dan Ibu Katolik Irlandia melahirkan anak yang menghabiskan sisa hidupnya menjadi Agnostik. Saya tidak mengatakan bahwa Arthur Ignatius Conan Doyle mengatur jam alarm hari ini dan tidak punya keyakinan untuk terbangun keesokan harinya, yang saya coba katakan adalah bahwa Doyle di tahun 1886 mencipta karakter Sherlock Holmes berdasarkan tokoh Dr. Joseph Bell –ahli dalam cara berpikir deduktif untuk mendiagnosa penyakit- yang merupakan salah satu dosennya di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Edindburgh yang dijuluki Athena di Utara dengan alumnus seperti Charles Darwin, David Hume, serta Alex Graham Bell. Namun bukan itu yang akan kita bincangkan.

Tak seperti Robert Downey Jr yang diizinkan ayahnya mengkonsumsi ganja sejak usia 6 tahun, Benedict Cumberbatch memerankan Sherlok Holmes dengan tingkat sarkasme yang lebih rendah. Disini, bukan berarti saya sama tua-nya dengan Cephalus, ayah Polemarchus (lihat buku ke-1 The Republik karya Plato), namun saya satuju dengan Cephalus ketika mengatakan kepada Socrates “semakin banyak kesenangan badaniah berangsur-angsur hilang, semakin besar kesenangan dan pesona percakapan bagi saya,” Meski begitu, British Broadcasting Corparation (BBC) sebagai pengampu Sherlock cukup prima dengan menukilkan blog Pribadi Dr. John Watson dan tentu saja blog Sherlock sendiri berjudul The Science of Deduction. Namun bukan itu yang akan kita bincangkan.

Rambut klimis Jim Moriaty, inner beauty Irene Adler, atau dengan segala hormat absurditas Mrs. Hudson adalah hal-hal yang bisa dengan mudah diamati, yang tidak mudah saya pahami adalah bagaimana bisa Sherlock dengan kaca pembesar tapi tanpa pipa rokok, di 221b Baker Street, London terletak The Sherlock Holmes Museum (buka setiap hari dari pukul 09.30 s.d 18.00), dengan cukup membayar tiket masuk seharga 80.000 RibuRupiah maka anda akan ditawarkan fasilitas foto mengenakan topi kebesaran serta pipa rokok Holmes, sekali lagi… pipa rokok Holmes. Entah apa yang ada dipikiran Stevan Moffat maupun Mark Gatiss selaku penulis Sherlock yang saya yakin pasti berkunjung ke museum. Namun bukan itu yang akan kita bincangkan.

Di Amsterdam, 30 Juli 2014, Goenawan Mohamad menulis sebuah Esei berjudul Fragmen: Peristiwa yang menggunakan kata “Tapi” sebanyak 41 kali, pada “Tapi” ke-10 lah tulisan ini menemukan –anggap saja- gaungnya. “Tapi” yang menuntun kepada Ludwig Josef Johaan Wittgenstein yang menulis surat menjelang musim dingin 1919, yang isinya dengan tidak bangga saya gubah menjadi: "tulisan ini terdiri dari dua bagian: yang satu yang tertulis disini dan yang satu yang belum kutulis dan justru pada bagian kedua itulah yang penting."


Jadi, juga hasil gubahan yang kali ini dari Samuel Beckett, si pemenang nobel sastra tahun 1969, tulisan ini agaknya lebih pas jika saya beri judul “Sementara Menunggu Sherlock” atau malah “Sementara Menunggu Resensi Sherlock.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar