Minggu, 06 Desember 2015

Sophie Scholl (2005)

"Kos di apartemen dua kamar di Munich, Jl. St. Franz-Joseph No. 13 milik Schmidt tanya Mohr pada Sophie."

Saya pikir dititik inilah ujaran kenabian yang hendak disabdakan Sutradara Marc Rothemund dan Penulis Fred Breinersdorfer dalam film yang dinominasikan sebagai film berbahasa asing terbaik Oscar tahun 2005; Sophie Scholl – Die letzten Tage.

Robert Mohr (1897-1977), laki-laki rapi yang berprofesi sebagai interrogator Gestapo mengepalai komisi penyelidikan dan penangkapan “operasi intelektual” White Roses (Juni 1942 – Februari 1943) di Jerman. Mohr yang sebelumnya magang sebagai tukang jahit menginterogasi Sophie Scholl disebuah sesi lebih dari sehari untuk sampai pada sebuah kesimpulan atau lebih tepatnya dakwaan bahwa “apa yang kau (Sophie) dan kakakmu (Hans) lakukan dimasa peperangan adalah aksi menentang masyarakat.”

Seperti hal nya hidup dan kehidupan, “ke-seksi-an-nya” bukan terletak pada sebuah hasil melainkan pada proses-proses-nya. Seperti itu pula Sophie Scholl (2005), kita dengan mudah tentu saja dapat menebak Sophie dan Hans serta belakangan Christoph Hermann Probst akan didakwa bersalah, namun bagaimana luapan dingin argumen-argumen Sophie untuk menyatakan bahwa ia benar adalah sebuah keseksian.

Simak diantaranya percakapan berikut ini:
  • Mohr : "Kau mendambakan kemakmuran rakyat Jerman kan, Nona Scholl?"
  • Sophie : "Ya"
  • Mohr : "Kau tak merencanakan pemboman seperti Elser brengsek di pabrik bir Munich 1939? Kau memilih slogan yang keliru, tapi menggunakan cara-cara damai."
  • Sophie : "Lantas kenapa kau menghukum kami?"
  • Mohr : "Karena hukum, tanpa hukum maka tak ada Pemerintahan"
  • Sophie : "Hukum yang kau maksud yang membela hak orang bersuara… sebelum Hitler berkuasa tahun 1933. Sekarang, dibawah rezimnya, orang bersuara dipenjara dan dihabisi. Pemerintahan yang begitu?"
  • Mohr : "Jika kita tak mentaati hukum, apalagi yang harus dijadikan pijakan?"
  • Sophie : "Nuranimu"
  • Mohr : "Sungguh? Ini hukum dan ini kehidupan sosial. Sudah tugasku sebagai polisi untuk memeriksa perilaku masyarakat apa sesuai tidaknya dengan hukum… menyelesaikan masalah yang ada."
  • Sophie : "Hukum berubah-ubah, Nurani tidak."

Ini percakapan brilian yang tidak menghentikan saya pada kesimpulan lazim “Hukum berubah dan Nurani tidak,” tapi justru membawa pada pertanyaan-pertanyaan garang lanjutan semisal apa yang melatarbelakangi terbentuknya hukum, apa yang menyebabkan Negara ada, nurani bagaimanakah yang dimaksud Sophie, penyebab sudut pandang Mohr dan sebagainya. Beribu pengetahuan serta ingatan menarik berkumandang, kontrak sosial Jean Jacques Rousseau, Geneologi Moral Friedrich Nietzsche, film drama Kanada arahan Xavier Dolan sampai kepada hukum Al-Quran menurut menantu Gus Mus; Ulil Abshar-Abdalla.

Disinilah keseksian yang membuat manusia beradab dengan simpul tidak tahu apa-apa, disinilah tempat membunyai tiga tingkatan ilmu oleh Umar "Al Faruq" bin Khattab, disinilah loka penghayatan kata-kata Buaya Hamka, disinilah Sophie Magdalena Scholl akhirnya tewas diujung pisau besar Guillotine.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar