Minggu, 22 Mei 2016

Yunus dan Nisfu Sya'ban

"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim," (Q.S. Al Anbiyaa’: 87)

Terlahir yatim di Palestina sejak dalam kandungan, Yunus bin Matta keturunan Benyamin bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim (820-750 SM) kemudian kondang dengan julukan Dzu al-Nun (ditelan oleh Nun/Paus) dan Sahib al-Hut (orang yang berada dalam perut ikan). Diutus ke Ninawa (kini Mosul, Irak) yang saat itu penduduknya "buta tuli" lagi penyembah berhala, setelah 30 tahun bersama dakwah yang menguap, Yunus yang hilang kesabaran lalu memutuskan pergi dari Ninawa dengan menggunakan kapal untuk kemudian terjadi apa yang direkam oleh Surah Al Anbiyaa diatas.

Selanjutnya saya tak ingin larut dalam ragam pendapat mengenai berapa lama Yunus ditelan Paus (40 hari menurut Ibnu Hatim atau 7 hari menurut Ja’far Ash-Shadiq), lebih cantik tampaknya menikmati kopi sambil menyigi pesan moral kisah Yunus melalui skripsi Nur Laeli (2014). Diajukan guna memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam pada Prodi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, skripsi yang sebagian besar analisis nya merujuk pada Tafsir al-Azhar Buya Hamka dan Tafsir al-Mishbah Quraish Shihab ini menghasilkan tiga kesimpulan pokok yakni keharusan sabar, optimis atas pertolongan Allah dan pentingnya taubat.

Selain Yunus yang menumpang Kapal dari pelabuhan bernama Jafa, memerlukan penekanan juga bahwa peristiwa yang dialami Nabi Yunus secara hukum alam tidak mustahil terjadi, atau mustahil hampir tidak pernah terjadi. Mustahil ada dua macam: (1) mustahil menurut akal seperti "anak lahir sebelum bapaknya," (2) mustahil menurut kebiasaan seperti "peristiwa Nabi Yunus ditelan Paus," kemungkinan paus laut tengah ini bergigi atau tidak bergigi dengan panjang mencapai 20 meter.

Jadi dapat dikatakan bahwa peristiwa Yunus adalah peristiwa yang secara faktual benar terjadi, keteladanan Yunus adalah kemampuan untuk mengakui kesalahan yang tercermin dalam doa: "bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim" (Q.S. Al Anbiyaa’: 87).

Memang mengenai kuantitas doa Yunus yang kerap dibaca sebanyak 2.375 kali pada malam Nisfu Sya’ban sedang saya tweetkan pada Mustofa Bisri dan menantunya: Ulil Abshar-Abdalla, namun mengenai kualitas hadis-hadis keutamaan malam Nisfu Sya’ban dalam kitab Fadhail al-Awqaat karangan Imam Baihaqi telah ditelaah oleh Dwi Aprinita Lestari melalui skripsinya (2010) dengan hasil penilitian hadis bisa dipertanggungjawabkan dan sahih.

Memang, merayakan malam Nisfu Syaban bisa dalam berbagai wajah dan saya memilih untuk belajar mengetahui latar belakang.

*Kepustakaan
(1) Al Qur'an terjemahan Kementerian Agama, Jakarta 1971
(2) Sahabuddin, Ensiklopedi Al Qur'an: Kajian Kosakata, Jakarta 2007
(3) Nur Laeli, Skripsi Pesan Moral Kisah Nabi Yunus menurut Mufasir Modern Indonesia, Jakarta 2014
(4) Dwi Aprinata Lestari, Skripsi Studi Kritik Kualitas Hadis Keutamaan Malam Nisfu Sya'ban dalam Kitab Fadhail al-Awqaat karya Imam Baihaqi, Jakarta 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar