Andra Eka Putra
***“… Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku,
bangsaku, rakyatku semuanya” masih ingatkah pembaca
dengan lirik lagu tersebut? Ya, lirik lagu Indonesia Raya. Jika sudah demikian
bagaimana jika pertanyaan awal tadi penulis ganti dengan masih bermaknakah
lirik lagu tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini maka penulis ingin mengajak
pembaca terlebih dahulu untuk meresapi “nilai” yang ingin dikemukakan oleh W.R.
Supratman selaku pencipta dari lirik lagu tersebut. Jika memperhatikan susunan
kata pada lirik Indonesia Raya dimana Supratman memulainya dari tanah, negeri,
bangsa, dan kemudian rakyat maka secara sederhana “Nilai dasar” itu adalah “jika
ingin menghidupi rakyatmu, hidupilah terlebih dahulu bangsamu, jika ingin
menghidupi bangsamu hidupilah terlebih dahulu negerimu, dan jika ingin
menghidupi negerimu hidupilah terlebih dahulu tanahmu”, menghidupi tanah
sama halnya dengan menghidupi rakyat: itu poin pentingnya.
Dari
data yang ada, rupa-rupanya tanah di Indonesia tidak “hidup”, Sampai tahun 2005
saja dari hasil penelitian Sallamudin Daeng dkk dalam bukunya “SBY Mundur:
Pertanggungjawaban Politik Pemuda Indonesia” (2011) mencatat bahwa 90% dari luas total tanah diseluruh
Indonesia dialokasikan untuk kepentingan penanaman modal asing, jadi patut
ditulis dengan kondisi tanah Indonesia yang tidak “hidup” maka kecil kemungkinan rakyat Indonesia dapat
“hidup.” Namun penulis disini tidak ingin terlalu jauh berada di (katakanlah)
ranah “apresiasi sastra”, oleh itu maka penulis ingin menggiring pembaca ke
ranah akar fundamen-nya yaitu apa yang sesungguhnya menjadi penyebab tanah di
Indonesia tidak “hidup”.
Sebagaimana
dijelaskan oleh Pasal 1 ayat (3) Konstitusi kita bahwasanya Negara kita adalah
Negara Hukum, maka produk hukum yang sangat erat kaitannya dengan pemaparan
diatas adalah UU RI No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang kemudian mengacu
pada Teori Jenjang Norma Hukum Hans Nawiasky dan Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12
tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan maka penulis
kerucutkan kembali menjadi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Selatan
No. 10 tahun 2010 tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan.
Bagian
Peraturan Daerah (Perda) inilah yang ingin penulis kaji dengan melakukan
tinjauan secara umum yang mana tulisan ini nantinya juga merupakan sebuah surat
terbuka bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
***
Sebagaimana
telah diketahui luas, Peraturan Perundang-undangan umumnya dibagi menjadi tiga
muatan, yaitu (1) Bagian menimbang, (2) Bagian mengingat, dan (3) Bagian
memutuskan-menetapkan. Secara sederhana bagian menimbang (juga biasanya disebut
konsiderans) merupakan bagian yang berisi pertimbangan aspek filosofis, aspek
sosiogis, dan aspek yuridis dibuatnya peraturan perundang-undangan, bagian
mengingat merupakan dasar hukum, dan bagian memutuskan-menetapkan merupakan
hasil akhir yang mana menjadi keputusan untuk kemudian ditetapkan dari
peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dari definisi sederhana tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa bagian fundamental dari sebuah peraturan
perundang-undangan terletak pada bagian “menimbang” karena pada bagian inilah yang
menjelaskan latar belakang atau tujuan dari kenapa suatu perundang-undangan
tersebut dibuat.
Berangkat
dari kontruksi logika diatas, maka latar belakang atau tujuan dari dibuatnya
Perda Prov. Kalsel No. 10/2010 dapat dilihat dibagian menimbang pada Perda
tersebut yang mana secara tegas disebutkan (penulis kutip utuh):
a. Bahwa
dalam rangka meningkatkan penanaman modal guna mendukung pembagunan perlu
diciptakan suatu kondisi yang menjamin kepastian hukum, kemudahan pelayanan dan
perizinan kepada para penanam modal;
b. Bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 176 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 45
tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di
Daerah, diperlukan landasan yuridis sebagai pedoman pemberian insentif dan
kemudahan penanaman modal kepada masyarakat dan/atau penanam modal di daerah
dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah;
c. Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Fasilitasi Penanaman Modal di Provinsi
Kalimantan Selatan;
Dalam
kacamata penulis, bagian “menimbang” dari Perda Prov. Kalsel No. 10 tahun 2010
ini cendrung bersifat “kontroversial”, kenapa demikian? karena dari 3 (tiga)
poin yang disebutkan diatas tidak ada satu patah katapun yang menyinggung
tentang kesejahteraan masyarakat. Tidak
seperti umumnya Perda-Perda Penanaman Modal Provinsi lain semisal Perda
Provinsi Jawa Tengah No.7 Tahun 2010 yang mana pada bagian menimbangnya (poin a)
secara jelas mencantumkan “…kesejahteraan masyarkat” atau juga indukan dari
Perda-Perda Provinsi tentang Penanaman Modal tersebut yakni UU RI No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal dimana bagian menimbangnya (poin a) menyebutkan “…untuk
mewujudkan masyarkat adil dan makmur.”
Baik
UU RI No. 25 Tahun 2007 atau Perda Provinsi Jateng No. 7 Tahun 2010 tadi sama-sama
dilatarbelakangi dan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dan
atau untuk kesejahteraan masyarakat, sementara pada Perda Provinsi Kalsel No.
10 tahun 2010 hal tersebut tidak disebutkan secara jelas dan yang disebutkan
justru hanya (poin a) “…guna mendukung pembangunan.”
Memang,
jika mengacu pada UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, UU tersebut tidak mengatur atau mewajibkan pencantuman kata
“kesejahteraan, adil, maupun makmur” pada bagian “menimbang” secara eksplisit, namun sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 5 UU yang sama maka Peraturan Perundang-undangan harus
dibentuk berdasarkan Kejelasan Tujuan.
Artinya dibentuknya Peraturan Perundang-undangan tersebut haruslah jelas bertujuan
untuk apa dan untuk siapa?
Jadi,
kembali kepada Peraturan Daerah Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 tentang
Penanaman Modal di Provinsi Kalimantan Selatan yang tidak mencantumkan
“kesejahteraan masyarakat” sebagai tujuan dan hanya mencantumkan “penanam modal
guna mendukung pembangunan” maka
pertanyaan penting selanjutanya adalah apakah
pembangunan koheren dengan kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting
dikemukakan karena bisa saja ada argumen yang menyatakan pembangunan tentu
terotomatisasi langsung akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat. Oleh
itu maka bagian berikut dari tulisan ini akan mengkaji hal tersebut.
***
Dewasa
ini, setelah (katakanlah) “keruntuhan” faham-faham kiri, sadar atau tidak sadar
maka ilmu pengetahuan cendrung diproduksi, dikontruksi serta dimonopoli oleh faham
kanan, pun tidak terkecuali dengan teori pembangunan yang menjadi aspek bahasan,
ketimpangan wacana global ini menyebabkan dikeberinya teori pembangunan kiri
semisal neo-marxisme serta
diinjeksikannya “penyebaran bibit” teori-teori pembangunan kanan semisal neo-klasik yang digawangi oleh Hicks dan
utamanya Milton Friedman yang barang tentu berimplikasi langsung pada “tumbuh
suburnya pohon-pohon” kapitalisme, “bibit subur” itu tumbuh diantaranya dalam
teori pembangunan W.W. Rostow yang sekarang sedang awam digunakan.
Rostow
menyatakan tahapan-tahapan dalam pembangunan dibagi menjadi lima tahapan yaitu:
(1) Masyarakat tradisional (2) Prakondisi tinggal landas (3) Tinggal landas (4)
Pematangan, dan (5) Konsumsi massa yang berlebihan (Kevin P. Clements, Teori
Pembangunan: Dari Kiri ke Kanan, 1999).
Dari
sini, nanti kita akan menemukan “benang merah” antara teori pembangunan Rostow dengan
logika umum pembangunan di Indonesia umumnya tak terkecuali logika pembangunan
yang juga terdapat dalam Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010.
Oleh
itu, berangkat dari pembagian lima tahapan dalam pembangunan oleh Rostow tadi,
maka indikator yang digunakan untuk mengukur sudah sejauh mana tahapan
pembangunan adalah konsumsi masyarakat. Artinya semakin tinggi konsumsi
masyarakat maka dipandang sebagai semakin meninggi pula tahapan pembangunan
yang telah dicapai. Nah, untuk meningkatkan konsumsi masyarakat tersebut maka
diperlukan kebutuhan akan investasi atau penanaman modal. Disinilah kemudian yang
menjadi “benang merah” antara teori pembangunan Rostow dengan logika umum
pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia – Pemerintah
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini tercermin secara jelas misal dalam Perda
Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 dimana penanaman modal digunakan untuk mendukung
pembangunan. Dan kemudian terkait dengan pertanyaan sebelumnya yakni apakah pembangunan (yang menjadi latar
belakang Perda Prov. Kalsel No. 10 tahun 2010) koheren dengan kesejahteraan masyarakat maka rupa-rupanya implikasi
dari penggunaan “logika pembangunan Rostow” tadi alih-alih mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat namun justru malah memunculkan membengkaknya
pengangguran, kemiskinan serta ketimpangan pendapatan.
Apa
sebab? karena konsekuensi* (*bagian inilah yang sangat jarang diwacanakan secara
“sehat” kepada publik, karena “dibatasinya” akses pengetahuan sebagai wujud
monopoli pengetahuan faham kanan: neo
klasik, strukturalis, etc) dari logika pembangunan Rostow ini
berorientasikan kepada Pendapatan Per Kapita masyarakat (lanjutan dari
konsumsi masyarakat) yang barang tentu akan sangat erat sekali kaitannya dengan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), pada titik inilah kemudian kita mengenal
apa yang dinamakan strategi pertumbuhan.
Dengan
menerapakan strategi pertumbuhan yang terlalu menekankan kepada Pendapatan Asli
Daerah (PAD), maka pilihan pembangunanpun tentunya akan lebih diorientasikan
kepada sektor-sektor yang mempunyai peluang kemungkinan lebih besar untuk
menghasilkan output yang lebih tinggi, efisien dan juga massal. Hal ini
terbukti misal pada Pasal 8 ayat (2) Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010
dimana disebutkan “…diarahkan pula kepada bidang-bidang usaha prioritas atau
usaha unggulan.” Problemnya adalah definisi dari apa itu usaha prioritas atau
usaha unggulan tidak dijabarkan secara jelas pada Pasal 1 yang menjadi
ketentuan umum Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010. Dengan tidak dibikinnya
garis definisi yang tegas maka usaha prioritas atau usaha unggulan tersebut
akan menimbulkan “multitafsir” yang oleh karena itu jika usaha prioritas atau
usaha unggulan tersebut dihadapkan pada pilihan pembangunan padat modal
atau pembangunan padat tenaga kerja maka barang tentu pembangunan padat
modal-lah yang menjadi prioritas karena pada karakter pembangunan jenis ini penggunaan
tekhnologi lebih diutamakan dan juga umumnya menghasilkan output yang lebih
besar, serta lebih efisien.
Pilihan
pembangunan padat modal pada kenyataannya memang ampuh untuk menghasilkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang “spektakuler”, namun pada kenyataannya juga
justru jenis karakter pembangunan yang seperti inilah yang menimbulkan
membengkaknya pengangguran oleh karena tidak terserapnya tenaga kerja
(teknologi lebih diutamakan). Dari titik krusial ini (baca: pengangguran) maka
pada akhirnya akan menghasilkan “kemiskinan individu” dan membentuk masyarakat
daerah domisili penganggur, disisi lain individu-individu penanam modal dan
masyarakat perkotaan semakin intensif mendapatkan akumulasi keuntungan. Pola
seperti inilah yang menjadi aktor utama dalam menggali jurang daerah maju
(kota) yang semakin kaya sementara daerah terbelakang (desa) semakin
tertinggal, menimpangkan pendapatan masyarakat dimana si-kaya akan semakin kaya
dan si-miskin akan semakin miskin, atau -meminjam istilah Karl Marx-
menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia oleh manusia”: la’exploitation de la’homme per la’homme.
Oleh
itulah jika yang dimaksudkan Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010 mengenai
mendukung “pembangunan” itu (tapi) mengacu pada logika umum pembangunan diatas,
maka bisa dikatakan jawaban dari apakah ada kekoherenan antara pembangunan
dengan kesejahteraan masyarakat tidak
mutlak ada. Dan jika sudah demikian, patutlah kiranya masyarakat
mempertanyakan apakah “motif” yang melatarbelakangi dan atau menjadi tujuan dari
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 10 Tahun 2010
tentang Fasilitas Penanaman Modal di Kalimantan Selatan ini. Patutlah kiranya
Pemerintah – Pemerintah Daerah dalam membentuk sebuah Peraturan
Perundang-undangan murni mempunyai “tujuan” untuk mensejahterakan masyarakatnya,
karena logika dasar kenapa kita ber-Negara adalah tentu dus untuk sejahtera.
Sebagai
“mistar” bagaimana harusnya “jiwa” yang dimiliki suatu Peraturan
Perundang-undangan utamanya yang terkait dengan pembangunan bisa kita lihat pada Orde Lama Soekarno, semisal TAP
MPRS No. II Tahun 1960 dimana bagian “menimbangnya” (poin b) secara tegas
mengatakan “… untuk menuju tercapainya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau Masyarakat Sosialis
Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh
manusia, guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat;” Lihatlah, betapa mulia
tujuan Peraturan Perundang-undanganan itu, kemana semangat “Soekarno” itu
sekarang, kemana semangat “Tan Malaka”, semangat “Hatta”, semangat “Sjahrir” dan
atau semangat “Pendiri Bangsa” yang lain yang menuntut Merdeka 100%,
… atau
jangan-jangan nyatanya kita memang tidak pernah “Merdeka?”
***
Begitulah
kira-kira langkah awal penulis dalam usaha penyigian terhadap Perda Prov.
Kalsel No. 10 Tahun 2010 tentang penanaman modal, dimana jika diteoritiskan dan
diilmiahkan ternyata pembangunan tidak selalu mesti koheren dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu besar harapan penulis khususnya dan masyarakat
umumnya ada upaya dari Pemeritah Daerah Provinsi Kalsel untuk melakukan
peninjauan kembali terhadap Perda Prov. Kalsel No. 10 Tahun 2010
setidak-tidaknya dengan mencantumkan “kesejahteraan masyarakat” sebagai tujuan
dan niatan awal dibentuknya Peraturan Daerah ini.