Senin, 16 Juli 2012

dan Mandela tahu itu.

SAYA bukan Nelson Mandela, dan Goenawan Mohamad keliru. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tak ingin menjadi dia.
Begitulah kalimat pembuka tanggapan Pram terhadap surat terbuka buat Pramoedya Ananta Toer dari GM (liat sastra-indonesia.com). Ada semacam sinisme gelap didiri Pram, dendam yang mengeras, mutlak, batu, keakuan. Toh kita sedang belajar berdemokrasi, yang lain tentu boleh berbunyi betapa suberfisialnya retorika Neo Pujangga Baruisme Goenawan Mohamad dibanding bahasa otobiografis Pramoedya Ananta Toer sebagaimana seboleh saya ikut berbunyi, karena seperti halnya kata yang punya cara dan penjaranya sendiri.
Simak kalimat Pram berikut: “saya sudah kehilangan kepercayaan. saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik indonesia. Tak terkecuali intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami.”
---salah, benar, salah, benar---
Atau ini: “maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.”
---?????---
Atau: “buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir seluruh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, penganiayaan.”
---simpati, cukupkah? Tidak. Lantas?---
Saya kira ini penting dikemukakan, persis GM, “Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu akan dihentikan oleh masa lalu.”
Penderitaan; kata yang dengan sengaja jujur digaris bawah, dicetak tebal. Saya hidup tidak semenderita Pram di Pulau Buru, tidak dipenjaranya Mandela, bukan juga GM, setragis Rachel Corrie, bahkan sekasar sopir terminal kampung rambutan. Saya hanya hidup diantara madu dan susu mengalir. Tapi saya kira bukan soal yang pantas dan tak pantas.
Tidak pantas-kah berbicara: korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi rasa sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas, ia tak akan membalikkan posisi dari si obyek menjadi sang subyek, ia akan menghabisi batas-nya. Semua tahu bicara memang mudah, seperti Pram bilang “gampang amat!” ketika Pram menolak permintaan maaf dari Gus Dur –Gus Dur meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965- lebih jauh Pram menegaskan “Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan.”
Saya tahu selayaknya yang lain tahu, pintu hukum memang diperuntukkan hanya untuk setiap tukang semir sepatu keliling, tak lebih. Bonus adalah samadengan kebetulan. Kita juga bukan Muhammad yang ketika pelaku pelempar kotoran jatuh sakit, dia malah membesuk. Namun apa yang kita dapat ketika tidak memberi maaf? Jawaban penuh: tidak ada. Kecuali tulis GM: jika kita menganggap dengan mudah sang korban menjadi suci, merasa lebih tinggi derajat ke-korbanan-nya lalu lantas merasa berhak jadi hakim terakhir. Dan mandela tahu itu.
***
Ahh!! Persetan, apa peduliku?
Tidak, saya peduli.
Apa yang kamu harap?
Saya tidak tahu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar