SAYA bukan Nelson
Mandela, dan Goenawan Mohamad keliru. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi
saya bukan dia, dan tak ingin menjadi dia.
Begitulah kalimat
pembuka tanggapan Pram terhadap surat terbuka buat Pramoedya Ananta Toer dari GM
(liat sastra-indonesia.com). Ada semacam sinisme gelap didiri Pram, dendam yang
mengeras, mutlak, batu, keakuan. Toh kita sedang belajar berdemokrasi, yang
lain tentu boleh berbunyi betapa suberfisialnya retorika Neo Pujangga Baruisme
Goenawan Mohamad dibanding bahasa otobiografis Pramoedya Ananta Toer
sebagaimana seboleh saya ikut berbunyi, karena seperti halnya kata yang punya
cara dan penjaranya sendiri.
Simak kalimat Pram berikut:
“saya sudah kehilangan kepercayaan. saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti
juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim.
Saya tidak percaya dengan semua elite politik indonesia. Tak terkecuali
intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka
semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami.”
---salah, benar,
salah, benar---
Atau ini: “maukah
negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus
berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.”
---?????---
Atau: “buku-buku
saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di
Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis.
Saya menghabiskan hampir seluruh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan,
penghinaan, penganiayaan.”
---simpati,
cukupkah? Tidak. Lantas?---
Saya kira ini
penting dikemukakan, persis GM, “Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu
akan dihentikan oleh masa lalu.”
Penderitaan; kata
yang dengan sengaja jujur digaris bawah, dicetak tebal. Saya hidup tidak
semenderita Pram di Pulau Buru, tidak dipenjaranya Mandela, bukan juga GM, setragis
Rachel Corrie, bahkan sekasar sopir terminal kampung rambutan. Saya hanya hidup
diantara madu dan susu mengalir. Tapi saya kira bukan soal yang pantas dan tak
pantas.
Tidak pantas-kah
berbicara: korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi rasa
sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas, ia tak akan membalikkan posisi
dari si obyek menjadi sang subyek, ia akan menghabisi batas-nya. Semua tahu bicara
memang mudah, seperti Pram bilang “gampang amat!” ketika Pram menolak
permintaan maaf dari Gus Dur –Gus Dur meminta maaf kepada para korban
kesewenang-wenangan 1965- lebih jauh Pram menegaskan “Orang seperti saya
menderita karena tiadanya hukum dan keadilan.”
Saya tahu selayaknya
yang lain tahu, pintu hukum memang diperuntukkan hanya untuk setiap tukang
semir sepatu keliling, tak lebih. Bonus adalah samadengan kebetulan. Kita juga
bukan Muhammad yang ketika pelaku pelempar kotoran jatuh sakit, dia malah membesuk.
Namun apa yang kita dapat ketika tidak memberi maaf? Jawaban penuh: tidak ada.
Kecuali tulis GM: jika kita menganggap dengan mudah sang korban menjadi suci,
merasa lebih tinggi derajat ke-korbanan-nya lalu lantas merasa berhak jadi
hakim terakhir. Dan mandela tahu itu.
***
Ahh!! Persetan, apa
peduliku?
Tidak, saya peduli.
Apa yang kamu
harap?
Saya tidak tahu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar