2010
Sumpah
Pemuda (1928), satu titik dari lautan peristiwa kelahiran Bangsa Indonesia
sepertinya semakin kabur, layu dan keriput. Padahal, delapan puluh dua tahun
yang lalu, “sumpah” tersebut dapat dibaca sebagai peristiwa sakral dan
transendental masyarakat indonesia umumnya serta pemuda indonesia khususnya,
meski berbeda-beda akan tetapi ada semacam simpul atau kesadaran yang berbeda namun
menyimpul dalam bingkai bertanah air, berbangsa dan berbahasa.
Jasmerah
Tiga
tahun sebelum itu, adalah Manifesto Politik (1925) yang menjadi tonggak
awal-penting dalam pergerakan pemuda, ketika para pemuda di Indonesia masih membentuk
organisasi-organisasi yang bersifat kesukuan (diantaranya Jong Ambon, Jong
Java, Jong Celebes, dll), para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda telah
mendirikan Perhimpunan Indonesia. Organisasi yang antara lain dipimpin oleh
Moh. Hatta inilah yang secara terangan-terangan berani menamakan-menerbitkan
majalah mereka Indonesia Merdeka. Dikatakan: Majalah indonesia merdeka adalah
suara Indonesia muda yang sedang belajar, suara yang pada waktu ini mungkin
tidak terdengar oleh penguasa, tetapi pada waktunya nanti pasti akan didengar, salah
besar jika menganggap remeh suara itu sebab dibelakang suara itu terdapat
kemauan besar untuk merebut kembali hak-hak, cepat atau lambat, untuk
menetapkan kedudukan atau keyakinan di tengah-tengah dunia, yaitu Indonesia
merdeka. Semua karangan yang diterbitkan majalah Indonesia Merdeka, kemudian
sampai ke Tanah Air secara sembunyi-sembunyi dan dijadikan bahan bacaan populer
oleh kalangan muda Indonesia kala itu. Dalam salah satu edisi majalah Indonesia
Merdeka inilah, muncul sebuah tulisan yang dikenal dengan Manifesto 1925, manifesto
yang mulai meninggalkan orientasi kedaerahan, manifesto yang kental dengan semangat
revolusi prancis, manifesto yang isinya menyangkut ketegasan sikap: (1) Rakyat
indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri,
(2) Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari
pihak manapun, dan (3) Tanpa persatuan kukuh dari berbagai unsur rakyat tujuan
perjuangan itu sulit dicapai.
Gaung
manifesto-pun dengan cepat sampai ke Tanah Air. Setahun berikutnya (1926), para
pemuda dari berbagai organisasi kesukuan di Indonesia dengan tekad bulat
menggelar kongres pemuda I di Jakarta. Kongres diadakan di Weltevreden
(sekarang Gambir) dan dipimpin Mohammad Tabrani Soerjowitjitro dari Jong Java.
Dalam kongres ini Muhammad Yamin telah menyusun sebuah ikrar pemuda yang
bunyinya hampir sama dengan sumpah pemuda tahun 1928 kelak. Perbedaannya hanya terletak
pada sila ketiga yakni “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa
persatoean, bahasa melajoe”. Namun rancangan ini tidak disetujui oleh Sanusi
Pane yang berpendapat bahwa bahasa persatuan itu haruslah Bahasa Indonesia. Usulan
Yamin ditolak dan peserta kongres sepakat untuk menunda penetapan sampai
kongres berikutnya. Dua tahun kemudian, tepatnya sabtu 27 oktober 1928 di
Gedung Katholieke Jongenlingen Bond Lapangan Banteng, rapat pertama kongres
pemuda II dilaksanakan. Kongres yang diketuai Soegondo Djodjopoespito dari
Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) ini berlangsung di tiga tempat di
Jakarta yang ditutup pada tanggal 28 oktober 1982 di Gedung Kramat Raya 106.
Dikongres Pemuda II inilah Yamin bersedia merubah kata “melajoe” itu menjadi
“indonesia”. Dikongres ini pula untuk pertama kalinya diperdengarkan
instrumental lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Soepratman. Kongres ditutup
dengan mengumumkan rumusan hasil kongres yang dikenal dengan sebutan Soempah
Pemoeda :
Pertama.
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua.
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE
BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga.
KAMI
POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGDJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta,
28 Oktober 1928
Begitulah,
ikrar ini kemudian menjadi patokan dari sikap yang diambil
organisasi-organisasi pemuda, mereka meleburkan diri pada sesuatu yang baru.
Kematangan sikap dan kebualatan nilai tercapai. Karenanya peristiwa tersebut
dikenang dan dirayakan. Ikrar ini bukanlah suatu hasil perenungan kontemplatif
belaka, tetapi didahului oleh pencarian, konflik dan pertentangan bahkan
pengorbanan.
Makna
Teks
Sumpah Pemuda yang di sebut-sebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai puisi besar
itu adalah pokok pikiran yang netral. Ia (baca: Sumpah Pemuda) belum
berkehendak akan kemerdekaan, ia baru menyatakan, kita adalah bangsa Indonesia
dengan tanah air dan bahasa yang satu. Kalaulah ada (hasrat untuk) kemerdekaan,
maka itu kemungkinan berupa tafsir bahwa Sumpah Pemuda di dalam ceruknya
menghendaki Indonesia yang merdeka. “hasrat” yang tersembunyi ini membutuhkan waktu
tujuh belas tahun untuk mencapai bentuknya yang sempurna. Barulah setelah itu,
bangsa Indonesia benar-benar menandaskan isi jiwanya. “kami bangsa indonesia
dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia... (Proklamasi 1945)”.
Bila
ditelaah lebih lanjut, berbahasa satu, berbangsa satu, bertanah air satu
bukanlah sekedar kata yang remeh, melainkan terkandung makna totalitas aminnya
sebuah perlawanan demi kedaulatan dan martabat yang memiliki konsekuensi logis
kerelaan dalam berkorban guna mencapai cita-cita bersama yaitu terbebas dari
penjajahan. Visi kesatuan jelas dan bukan keterkotak-kotakan atau lebih-lebih
hanya menomorsatukan kepentingan kelompok atau golongan, tidak! Sama sekali
tidak. Inilah yang disebut nasionalisme yang mewujud dalam tataran identitas
bersama. Nasionalisme ini merupakan kontruksi yang dibangun dan dipelihara
posteriori. Maka, sebagai suatu konstruksi posteriori, nasionalisme harus
dijaga-dipelihara dan ditumbuh kembangkan. Selain itu, nasion sebagai sesuatu
yang imagined adalah entitas abstrak
yang berisikan bayangan-bayangan, cita-cita, dan harapan-harapan bahwa nasion
akan tumbuh semakin kuat dan mampu memberikan perlindungan, kenyamanan serta
kesejahteraan hidup.
Sumpah
pemuda telah diletakkan untuk melandasi, kemerdekaan dari penjajah asing telah
direbut, bangsa telah berdiri, kompas perjalanan cita-cita bangsa telah
disiapkan para pendiri negara, pandangan hidup telah disertakan, sekarang
apakah semua itu telah dimaknai sesuai adanya.
Ahli Waris
Dalam
konteks kekinian, Sumpah Pemuda seakan cendrung menjadi sebuah kegiatan
seremonial menggembirakan yang sekaligus mengandung kecemasan, seperti “pesta
demokrasi” itu, walaupun ada pesta tapi sering diiringi dengan apa yang namanya
“sumbangan sukarela” atau “stiker”. Bagaimana tidak, realita yang ada sekarang
perbedaan malah mulai menimbulkan gangguan, kita seolah kembali tersekat-sekat,
jurang perbedaan vertikal-horizontal semakin melebar dalam banyak hal. Nilai
sakral Sumpah Pemuda berubah menjadi sekedar terapi psikologis untuk
menghalangi erosi kebangsaaan, inilah mengapa seremoni seakan jadi penting
karena (diharapkan) mampu mendamaikan perbedaan sesuai dengan slogan: Bhineka
Tunggal Ika ...hanya itu.
Meminjam
kata Sophan Sophian “Nasionalisme kita sekarang di Titik Nol,” sedikit berpikir
untuk bangsa, banyak berpikir untuk memperkaya diri sendiri, memperkaya
kelompoknya. Pemimpin kurang (tidak) memberikan contoh, sementara generasi muda
sendiri cendurung kurang (tidak) punya pengertian yang tulus tentang
nasionalisme. Tidak ada lagi keyakinan Soekarno “seribu orang tua hanya dapat
bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia”. Di masa Soempah Pemoeda
dulu, pemuda adalah mereka yang berjuang untuk mewujudkan Indonesia merdeka,
mereka bertindak bukan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk ideologi, agama,
partai, kelompok etnik, kelas sosial, tetapi untuk cita-cita Indonesia. Pemuda
seperti inilah yang dimaksud Sir Henry Dunant ketika menyatakan sebuah negara
tidak akan pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering
bertualang di hutan, gunung, dan lautan. Pemuda yang punya will kuat meninggalkan manusia kecil untuk kemudian berkembang
menjadi MANUSIA dengan awalan “M” BESAR bukan pemuda-pemudaan, atau pemuda
bapakisme.
Pemuda
perlu bertanya kepada dirinya sendiri, “siapakah saya?” Apakah saya seorang
pemuda yang harus selalu realistis dan bersedia menerima kompromi-kompromi
prinsipal dan tidak boleh punya idealisme yang muluk-muluk? Apakah saya seorang
pemuda yang mesti mutlak patuh pada setiap keputusan dalam ormas saya, atau
pemimpin-pemimpin saya? Apakah saya seorang pemuda yang besar dari ingar-bingar
hedonisme? Ataukah saya seorang pemuda yang sedang belajar dalam hidup dan
mencoba terus-menerus berkembang dan menilai secara kritis segala situasi
walaupun pengetahuan dan pengalaman saya terbatas? (Siapakah saya? Soe Hok Gie,
dokumentasi Dr Arief Budiman)
Akan
tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwasanya setiap zaman punya generasinya
sendiri, realitas-realitasnya sendiri, cita-cita dan idealisme masa kanak-kanak
acap kali sering berbenturan dengan progresi hidup yang semakin serba penuh
tuntuntan. Tidak jarang sebenarnya ketika seorang pemuda yang datang dengan
penuh takjub pada gerbang perguruan tinggi, ia berpikir untuk memasuki dunia
baru, dunia untuk membuat field work
bagi kemajuan bangsa. Ambil contoh seorang mahasiswa antropologi yang datang
dengan cita-cita membuat fieldwork di
pedalaman Kalimantan atau Papua, seorang mahasiswa hukum yang datang dengan
ide-ide yang sarat tentang rule of law.
Selang waktu beberapa tahun, mahasiswa-mahasiswa tersebut akhirnya mengetahui
bahwa tak mungkin ada “fieldwork” di
pedalaman Kalimantan atau Papua dan harus puas dengan skripsi tentang
masyarakat tukang buah-buahan di pasar, dan mahasiswa fakultas hukum mengetahui
bahwa diatas hukum terdapat hukum yang tidak tertulis: uang dan garong-garong
yang punya koneksi. ****
Begitulah
kekuasaan, rutinitas yang seringkali membuat orang yang mendudukinya semakin
hari semakin berjarak dengan cita-cita bersama. Kursi yang cendrung melenakan,
seolah-olah memiliki kemampuan untuk membuat orang beranjak lupa terhadap
cita-cita awal perjuangannya. Ego dan kepentingan pribadi yang dahulu berhasil
dikalahkan demi kepentingan bangsa perlahan kembali bertahta. Hal semacam
inilah yang menyebabkan kesejahteraan (rakyat) tidak kunjung meluas.
Untuk
itu, selain will yang kuat dibutuhkan
pula konsistensi yang yang tidak kalah kuat. Para pemuda, baik yang berada di
lingkar kekuasaan maupun yang ditepi kekuasan harus mampu membangun komitmen
untuk kemudian dipelihara agar setiap aktivitas dan langkahnya tetap digerakkan
oleh idealisme dan tidak digerakkan oleh kepentingan terhadap materi.
Delapan
puluh dua tahun silam, para pemuda bersumpah untuk bangsanya. Kini, bagaimana
rupa kegelisahan kita memikirkan bangsa ini; atau giliran kita bersumpah untuk
menjaga Soempah Pemoeda itu, mereka yang telah mewariskan sebuah bangsa bernama:
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar