Senin, 16 Juli 2012

Republik Akut

30 Maret 2010

All that was is no more, all that will be is not yet, and all that is not sufficient. Pernyataan Albert Camus diatas kiranya sangat relevan untuk menggambarkan kondisi Republik sekarang. Indonesia menggunakan “format” demokrasi. Ditangan ilmuwan sosial dan politik demokrasi berubah menjadi sebuah definisi dengan sederet kriteria teknis yang terkesan penuh keruwetan soal pengukuran dan perhitungannya. karena itulah cukup rasanya jika kita menggunakan dalam bahasa Goenawan Mohamad (GM), demokrasi sebagai “format.” Disini GM mengutarakan logika yang menarik. “Lahan pemilu demokratis dimanapun adalah sekumpulan pemilih yang terdistribusi dalam kurva lonceng. Mayoritas mereka tinggal dalam gunungan yang paling besar, ditengah, dan tak suka anasir perubahan yang bersifat ekstrem. Sebagus apapun ide perubahan itu, kalau ia tampil dengan wajah radikal, akan mental/kalah dalam pertarungan yang demokratis, pertarungan yang pemenangnya ditentukan oleh suara terbanyak.” Vox Populi Vox Dei, itulah topeng terlucu saya kira, suara Tuhan tentu tak bisa dikomoditikan, sementara das sein nya disaat uang dan jual beli-pengaruh yang hadir, itulah yang akhirnya menentukan siapa yang menang. Para calon terpilih bisa menghabiskan ratusan juta rupiah untuk memperoleh suara. Sebaliknya, para pemilih bisa mengorganisasi diri jadi kelompok dan menawarkan dukungan agar dibeli. Ikatan yang terjadi bukanlah ikatan agenda dan cita-cita, melainkan ikatan antara penjaja dan pembeli. Mirip kapitalisme pasar yang ikut menyumbang dosa pada penjualan kemanusiaan.

Perkataan Socrates “seorang pemimpin tidak seharusnya dipilih melainkan ditunjuk” semoga tidak terbukti. Karena memang demokrasi bukanlah ideal terbaik untuk mengatur negara, tetapi di antara banyak sistem yang ada, demokrasi-lah yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga Negara. Hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistematik. Akan tetapi di Republik ini, telah diketahui luas, demokrasi lebih sering berhenti dalam ‘pelembagaan formal’ dan belum hadir dalam realitas nyata. Dengan kata lain demokrasi kita hanya tumbuh dan berkembang dalam tataran das solen dan belum mewujud dalam tataran realitas (das sein).

Demokrasi yang demikian menelurkan salah satunya adalah pemilu 2009 lalu: ada banyak partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya. Kemudian Ada banyak nama yang gambarnya dipasang jor-joran di sepanjang jalan – dengan hasil yang sama sekali tak memikat. Ada calon-calon presiden yang tak bakal punya kans tapi nekad, atau yang rapor masa-lalunya mengerikan tapi bicara sebagai bapak bangsa, atau seorang yang tak jelas kenapa gerangan ia maju. Jargon pun tidak pernah luput dari perihal memberantas kemiskinan, entah ini slogan kosong atau penggede-penggede tersebut berpura-pura lupa dengan 12 fungsi kemiskinan yang dikemukakan  Charles H. Zastrow (Lihat Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Edi Soeharto, 2008:81) yang diantaranya: kaum miskin membantu menciptakan lapangan pekerjaan dan bersedia melakukan pekerjaan yang tidak menyenangkan. Maka tidak mengherankan sebenarnya mengapa para pembuat keputusan tidak secara aktif mencari cara untuk menghilangkan kemiskinan, karena banyak pihak –elite masyarakat khususnya- memandang kemiskinan “perlu” ada dan penghapusan kemiskinan hanya akan dianggap mengacaukan kebijakan yang ada.

Pemenang pun telah ditetapkan: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih seorang ekonom, Boediono, sebagai wakilnya. Orang yang tak datang dari kancah yang ribut dan bukan anggota dinasti pemimpin partai. Kabinet Indonesia Bersatu kembali terbentuk dengan penambahan “Jilid II” dibelakangnya, kabinet limbung yang tidak didasari persamaan Platform namun lebih kearah kepentingan jangka pendek. Tak jelas lagi mana yang koalisi dan mana yang oposisi. Mungkin inilah dimaksud -dalam bahasa GM- sinisme yang gelap: Koalisi antarpartai dibentuk atau dibatalkan bukan berdasarkan program ataupun ideologi, bukan karena apa yang akan diperbuat bagi pemilih dan bagi Republik. Koalisi antarpartai hampir sepenuhnya berkisar di sekitar siapa dapat jabatan apa, bahkan siapa yang membayar dan siapa yang dibayar. Walhasil produk yang dihasilkan tidak mengena, terlampau banyak kepentingan. Kebenaran dan keadilan telah direduksi menjadi pasal-pasal atau sebaliknya, entah kebenaran yang mana, yang seperti yang dalam penjelasan Marx ada ditangan kelas berkuasa atau penjabaran Gramsci ditentukan melalui sebuah persaingan hegemoni. Satu hal yang pasti nurani tidak tunduk pada mayoritas jika mau mengakui.

Aneka satwa tak mau ketinggalan, kurun waktu 2009-2010: buaya, cicak, kerbau menambah hiruk pikuk bangsa ini. Setelah berbagai kebijakan-kebijakan dengan dalih apresiasi dan peningkatan kinerja yang dulunya banyak menuai protes karena tidak mencerminkan sensitifitas masyarakat terhadap kemiskinan mereda, skandal Century pun bingung hendak dibawa kemana, opsi A dan opsi C tak jelas lagi ujung pangkalnya. Ada kejadian konyol diseputar kasus ini: gerombolan mahasiswa (sebutlah oknum) bercelana Jeans belel, kaos kusam, rokok ditangan sambil menaiki mobil masyarakat berteriak lantang “Revolusi!”. Revolusi yang oleh Marx dikatakan “kali pertama tragedi, kali kedua banyolan.” Lelucon apa lagi. Dalam hal ini tawa bukan berasal dari super-ego teori psikoanalisis yang dimaksudkan sebagai penghukum.

Rasionalkah menjadikan hukum sebagai panglima ketika panglima-panglima hukum justru saling tuding, membawa sumpah, dan nama Tuhan ikut dicatut. Susno Duadji menyatakan ada borok, ada “markus” diinstitusinya. Di Kediri, karena mengambil semangka untuk penghilang rasa haus, terpaksa dibayar dengan tahanan, sementara Gayus Tambunan justru tidak tampak batang hidungnya menyusul rekan-rekan sejawat nya yang lain, pegawai Negeri golongan IIIA di Ditjen Pajak ini diketahui memiliki uang Rp 25 Miliar direkeningnya, sebuah rumah mewah berharga miliaran rupiah di Kelapa Gading, apartemen di Cempaka Mas juga beberapa mobil mewah. Ajaib, bagaimana mungkin, se­orang PNS bergaji Rp 12 juta per bu­lan bisa memiliki kekayaan be­gitu besar. Dugaan kuat: diperoleh dari hasil kong­kalikong. Reaksi pun bermunculan, paling senter “gerakan 1.000.000. rakyat boikot bayar pajak ,” sebuah jalan pintas. Bukti rakyat sudah lelah dan instan; semoga saja bukan seperti yang dikatakan Soe Hok-Gie perihal rakyat kita yang gampang merasionalisasikan keadaan: kemalasan yang dirasionalisasikan sebagai kesulitan ekonomi, kesusahan hidup yang dirasionalisasikan sebagai nasib. Republik yang akut, semoga kehancuran ini lebih cepat dan muncul zaman pencerahan (Aufklarung) ucap Kwik Kian Gie.

Pertanyaan berikutnya apakah Aufklarung mesti muncul ketika sebuah negara sudah runtuh, ataukah kita harus mengutuki demokrasi yang menjadi induk semua. Saya pikir tidak, satu-satunya jalan –seperti yang menjadi bagian penutup Demokrasi dan Kekecawaan GM- yang masih terbuka adalah selalu dengan setia mengembalikan “politik sebagai perjuangan.” Politik yang mendapatkan makna sosialnya. Sebab yang menggerakkan adalah mereka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal usul untuk menang. Marilah mencoba berusaha untuk menjadi manusia dengan ‘M’ besar. bukan fungsionaris partai yang harus selalu patuh pada intruksi bapak-bapak dalam partai, bukan politikus yang harus selalu realistis dan menerima kompromi prinsipal tanpa boleh punya idealisme yang muluk.

Rakyat ini butuh semodel Fortinbras –Pangeran Norwegia- yang demi “sekerat cangkang telur” siap menentang nasib dan ajal, menyepelekan apa yang tidak dapat diramalkan, untuk mempertaruhkan martabat diri. Rakyat ini butuh semodel Raja Usinara yang menahan sakit, kian lama kian lemah untuk kemudian rubuh ketika mengorbankan dagingnya sendiri kepada lang besar yang gemetar lapar demi kebebasan seekor burung deruk. Rakyat ini butuh semodel Bhisma dalam Mahabharata.

Meminjam Pramoedya: Memang cuman kata-kata, kita hanya bisa ngomong, lebih tidak. Tapi kata-kata, dengan kekuatannya yang khusus, akan mengembara dari kuping ke kuping, dan akan hidup selama-lamanya, selama umat manusia tidak menjadi tuli semuanya. Dan biarpun tuli mendadak semua, kan masih ada pemahat, pematung, pelukis dan pengarang, yang tanpa berucap bisa mengatakan.
Poin ketiga dari kaidah moral Descartes: “berusahalah lebih mengalahkan diri sendiri ketimbang merombak tatanan dunia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar