30 Maret 2010
All
that was is no more, all that will be is not yet, and all that is not
sufficient. Pernyataan Albert Camus diatas kiranya sangat relevan untuk
menggambarkan kondisi Republik sekarang. Indonesia menggunakan “format”
demokrasi. Ditangan ilmuwan sosial dan politik demokrasi berubah menjadi sebuah
definisi dengan sederet kriteria teknis yang terkesan penuh keruwetan soal
pengukuran dan perhitungannya. karena itulah cukup rasanya jika kita
menggunakan dalam bahasa Goenawan Mohamad (GM), demokrasi sebagai “format.”
Disini GM mengutarakan logika yang menarik. “Lahan pemilu demokratis dimanapun
adalah sekumpulan pemilih yang terdistribusi dalam kurva lonceng. Mayoritas
mereka tinggal dalam gunungan yang paling besar, ditengah, dan tak suka anasir
perubahan yang bersifat ekstrem. Sebagus apapun ide perubahan itu, kalau ia
tampil dengan wajah radikal, akan mental/kalah dalam pertarungan yang
demokratis, pertarungan yang pemenangnya ditentukan oleh suara terbanyak.” Vox Populi Vox Dei,
itulah topeng terlucu saya kira, suara Tuhan tentu tak bisa dikomoditikan,
sementara das sein nya disaat uang
dan jual beli-pengaruh yang hadir, itulah yang akhirnya menentukan siapa yang
menang. Para calon terpilih bisa menghabiskan ratusan juta rupiah untuk
memperoleh suara. Sebaliknya, para pemilih bisa mengorganisasi diri jadi
kelompok dan menawarkan dukungan agar dibeli. Ikatan yang terjadi bukanlah
ikatan agenda dan cita-cita, melainkan ikatan antara penjaja dan pembeli. Mirip
kapitalisme pasar yang ikut menyumbang dosa pada penjualan kemanusiaan.
Perkataan Socrates “seorang pemimpin tidak seharusnya
dipilih melainkan ditunjuk” semoga tidak terbukti. Karena memang demokrasi
bukanlah ideal terbaik untuk mengatur negara, tetapi di antara banyak sistem
yang ada, demokrasi-lah yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan
kebebasan warga Negara. Hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya koreksi
politik secara sistematik. Akan tetapi di Republik ini, telah diketahui luas,
demokrasi lebih sering berhenti dalam ‘pelembagaan formal’ dan belum hadir
dalam realitas nyata. Dengan kata lain demokrasi kita hanya tumbuh dan
berkembang dalam tataran das solen dan
belum mewujud dalam tataran realitas (das
sein).
Demokrasi yang demikian menelurkan
salah satunya adalah pemilu 2009 lalu: ada banyak partai politik yang tak pernah jelas apa
bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya.
Kemudian Ada banyak nama yang gambarnya dipasang jor-joran di sepanjang jalan –
dengan hasil yang sama sekali tak memikat. Ada calon-calon presiden yang tak
bakal punya kans tapi nekad, atau yang rapor masa-lalunya mengerikan tapi
bicara sebagai bapak bangsa, atau seorang yang tak jelas kenapa gerangan ia
maju. Jargon pun tidak pernah luput dari perihal memberantas kemiskinan, entah
ini slogan kosong atau penggede-penggede tersebut berpura-pura lupa dengan 12
fungsi kemiskinan yang dikemukakan
Charles H. Zastrow (Lihat Kebijakan
Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Edi Soeharto, 2008:81) yang diantaranya: kaum
miskin membantu menciptakan lapangan pekerjaan dan bersedia melakukan pekerjaan
yang tidak menyenangkan. Maka tidak mengherankan sebenarnya mengapa para
pembuat keputusan tidak secara aktif mencari cara untuk menghilangkan
kemiskinan, karena banyak pihak –elite masyarakat khususnya- memandang
kemiskinan “perlu” ada dan penghapusan kemiskinan hanya akan dianggap
mengacaukan kebijakan yang ada.
Pemenang
pun telah ditetapkan: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih seorang ekonom,
Boediono, sebagai wakilnya. Orang yang tak datang dari kancah yang ribut dan
bukan anggota dinasti pemimpin partai. Kabinet Indonesia Bersatu kembali
terbentuk dengan penambahan “Jilid II” dibelakangnya, kabinet limbung yang
tidak didasari persamaan Platform
namun lebih kearah kepentingan jangka pendek. Tak jelas lagi mana yang koalisi
dan mana yang oposisi. Mungkin inilah dimaksud -dalam bahasa GM- sinisme yang
gelap: Koalisi antarpartai dibentuk atau dibatalkan bukan berdasarkan program
ataupun ideologi, bukan karena apa yang akan diperbuat bagi pemilih dan bagi
Republik. Koalisi antarpartai hampir sepenuhnya berkisar di sekitar siapa dapat
jabatan apa, bahkan siapa yang membayar dan siapa yang dibayar. Walhasil produk
yang dihasilkan tidak mengena, terlampau banyak kepentingan. Kebenaran dan
keadilan telah direduksi menjadi pasal-pasal atau sebaliknya, entah kebenaran yang
mana, yang seperti yang dalam penjelasan Marx ada ditangan kelas berkuasa atau
penjabaran Gramsci ditentukan melalui sebuah persaingan hegemoni. Satu hal yang
pasti nurani tidak tunduk pada mayoritas jika mau mengakui.
Aneka
satwa tak mau ketinggalan, kurun waktu 2009-2010: buaya, cicak, kerbau menambah
hiruk pikuk bangsa ini. Setelah berbagai kebijakan-kebijakan dengan dalih
apresiasi dan peningkatan kinerja yang dulunya banyak menuai protes karena
tidak mencerminkan sensitifitas masyarakat terhadap kemiskinan mereda, skandal
Century pun bingung hendak dibawa kemana, opsi A dan opsi C tak jelas lagi
ujung pangkalnya. Ada kejadian konyol diseputar kasus ini: gerombolan mahasiswa
(sebutlah oknum) bercelana Jeans belel, kaos kusam, rokok ditangan sambil
menaiki mobil masyarakat berteriak lantang “Revolusi!”. Revolusi yang oleh Marx
dikatakan “kali pertama tragedi, kali kedua banyolan.” Lelucon apa lagi. Dalam
hal ini tawa bukan berasal dari super-ego teori psikoanalisis yang dimaksudkan
sebagai penghukum.
Rasionalkah
menjadikan hukum sebagai panglima ketika panglima-panglima hukum justru saling
tuding, membawa sumpah, dan nama Tuhan ikut dicatut. Susno Duadji menyatakan
ada borok, ada “markus” diinstitusinya. Di Kediri, karena mengambil semangka
untuk penghilang rasa haus, terpaksa dibayar dengan tahanan, sementara Gayus Tambunan
justru tidak tampak batang hidungnya menyusul rekan-rekan sejawat nya yang lain,
pegawai Negeri golongan IIIA di Ditjen Pajak ini diketahui memiliki uang Rp 25
Miliar direkeningnya, sebuah rumah mewah berharga miliaran
rupiah di Kelapa Gading, apartemen di Cempaka Mas juga beberapa mobil mewah.
Ajaib, bagaimana mungkin, seorang PNS bergaji Rp 12 juta per bulan bisa
memiliki kekayaan begitu besar. Dugaan kuat: diperoleh dari hasil kongkalikong.
Reaksi pun bermunculan, paling senter “gerakan 1.000.000. rakyat boikot bayar
pajak ,” sebuah jalan pintas. Bukti rakyat sudah lelah dan instan; semoga saja
bukan seperti yang dikatakan Soe Hok-Gie perihal rakyat kita yang gampang
merasionalisasikan keadaan: kemalasan yang dirasionalisasikan sebagai kesulitan
ekonomi, kesusahan hidup yang dirasionalisasikan sebagai nasib. Republik
yang akut, semoga kehancuran ini lebih cepat dan muncul zaman pencerahan
(Aufklarung) ucap Kwik Kian Gie.
Pertanyaan
berikutnya apakah Aufklarung mesti muncul ketika sebuah negara sudah runtuh, ataukah
kita harus mengutuki demokrasi yang menjadi induk semua. Saya pikir tidak, satu-satunya
jalan –seperti yang menjadi bagian penutup Demokrasi dan Kekecawaan GM- yang
masih terbuka adalah selalu dengan setia mengembalikan “politik sebagai
perjuangan.” Politik yang mendapatkan makna sosialnya. Sebab yang menggerakkan
adalah mereka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal usul untuk
menang. Marilah mencoba berusaha untuk menjadi manusia dengan ‘M’ besar. bukan
fungsionaris partai yang harus selalu patuh pada intruksi bapak-bapak dalam
partai, bukan politikus yang harus selalu realistis dan menerima kompromi
prinsipal tanpa boleh punya idealisme yang muluk.
Rakyat
ini butuh semodel Fortinbras –Pangeran Norwegia- yang demi “sekerat cangkang
telur” siap menentang nasib dan ajal, menyepelekan apa yang tidak dapat
diramalkan, untuk mempertaruhkan martabat diri. Rakyat ini butuh semodel Raja
Usinara yang menahan sakit, kian lama kian lemah untuk kemudian rubuh ketika
mengorbankan dagingnya sendiri kepada lang besar yang gemetar lapar demi
kebebasan seekor burung deruk. Rakyat ini butuh semodel Bhisma dalam
Mahabharata.
Meminjam Pramoedya:
Memang cuman kata-kata, kita hanya bisa
ngomong, lebih tidak. Tapi kata-kata, dengan kekuatannya yang khusus, akan
mengembara dari kuping ke kuping, dan akan hidup selama-lamanya, selama umat manusia
tidak menjadi tuli semuanya. Dan biarpun tuli mendadak semua, kan masih ada
pemahat, pematung, pelukis dan pengarang, yang tanpa berucap bisa mengatakan.
Poin
ketiga dari kaidah moral Descartes: “berusahalah lebih mengalahkan diri sendiri
ketimbang merombak tatanan dunia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar