Senin, 16 Juli 2012

Pramoedya, Genosida Rawagede, dan Yayasan K.U.K.B.

“pernah pada tahun 60-an kutulis karangan tentang jumlah hutang Nederland pada Indonesia yang berasal hanya dari Culturstelsel itu saja, dan tanpa di perhitungkan bunganya selama satu setengah abad. Sayang tak ada sambutan baik di Indonesia sendiri apalagi dari Nederland.”

-Pramoedya Ananta Toer





Kala itu, 9 Desember 1947 hujan turun. Tentara Belanda tengah giat memburu Kapten Lukas Kustario, Komandan Kompi Siliwangi yang diduga bersembunyi di Kampung Rawagede (sekarang: Desa Balongsari). Tidak menemukan Kapten Lukas, genangan hujan-pun menjadi merah, tentara Belanda memerintahkan semua penduduk laki-laki tak terkecuali remaja belasan tahun di kampung itu berdiri berjejer. Dan secara sadis, tentara Belanda memberondong mereka semua dengan senapan mesin. Standrechtelijke executies, eksekusi ditempat.

431 jiwa penduduk (versi Belanda 150) meregang nyawa akibat Genosida (Pembantaian) itu, tragedi yang diyakini termasuk kejahatan perang ini pun disidangkan di Mahkamah Internasional Den Haag, tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban dan seorang lelaki (Saih bin Sakam) yang selamat dari pembantaian menggugat pada tahun 2008. Hasilnya: pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan Pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab serta diperintahkan membayar kompensasi sebesar 20.000 Euro atau sekitar Rp. 240 Juta untuk setiap penggugat atau anaknya (sekarang tinggal enam janda yang masih hidup, Saih (88 tahun)  meninggal 7 mei 2011 lalu menyusul penggugat-penggugat lain yang telah terlebih dahulu meninggal).

Kelanjutannya, pada tanggal 5 Desember 2011 media Belanda memberitakan bahwa Menlu Belanda, Uri Rosenthal menyatakan bahwa Pemerintah Belanda melalui Duta Besar-nya untuk Indonesia akan menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian di Rawagede pada tanggal 9 Desember 2011. Dan akhirnya bertepatan dengan hari peringatan peristiwa Rawagede yang ke-64 (9/12), di Desa Bologsari, Karawang Jawa Barat, Dutch Ambassador to Indonesia (Duta Besar Belanda untuk Indonesia), Tjeerd de Zwaan resmi menyatakan permintaan maaf secara langsung Pemerintahan Belanda kepada para keluarga korban peristiwa Rawagede 9 Desember 1947, “saya harap kita merefleksikan kejadian pada masa lalu, dan dapat bersama-sama untuk bekerjasama diantara dua Negara kedepan” tambah de Zwan.

Permintaan maaf dan Rp. 240 juta per penggugat memang tidak tepat untuk dikatakan sebagai biaya tebus ganti rugi atas Peristiwa Rawagede, namun hal ini tetap patut dan harus dilaksanakan mengingat beban pertanggungjawaban moral dan sebagai bahan pembelajaran bagi kita bersama akan arti pentingnya sejarah, pengkajian ulang sejarah, atau (bila diperlukan) menggugat untuk sejarah. Peristiwa Genosida baik yang terjadi di Rawagede, Sulawesi Selatan, Pulau Banda, pembangunan Jalan Daendels (lebih dikenal sebagai Jalan Pantura), atau Genosida – Genosida lain hendaknya dijadikan semacam stimulan baik bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah ataupun masyarakat untuk lebih memperhatikan sisi kesejarahan secara lebih serius. Hal yang sangat kompetibel dengan “Jas Merah” yang pernah digaungkan Bung Karno.

Menjamurnya Lembaga – Lembaga atau Yayasan – Yayasan Kemanusian saat ini semisal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan lain-lain merupakan salah satu langkah positif untuk menjamin penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Untuk Kasuistis Genosida Belanda sebenarnya kita punya sebuah Yayasan bernama Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda yang didirikan pada 5 Mei 2005 lalu (bisa dilihat pada http://www.kukb.nl/indo.php?id=11). Salah satu tujuan pendirian Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B) ini adalah memperjuangkan agar pihak Belanda mau mengakui akan tindakan tindakan pengrusakan, perampokan yang dilakukan olehnya sehingga membuat penderitaan yang amat sangat pada rakyat Indonesia, untuk kemudian bersedia meringankan penderitaan mereka. Namun pemaksimalan pemanfaatan layanan yayasan ini umumnya masih terbatas didaerah daerah perkotaan, belum menyentuh daerah “pinggir” atau perdesaan. kurangnya akses informasi keberadaan sampai pemanfaatan layanan Yayasan K.U.K.B kepada masyarakat sendiri merupakan salah satu faktor yang bisa menjadi penghabat penggugatan sejarah serta pencapaian tujuan dari pendirian Yayasan K.U.K.B ini. Padahal tidak menutup kemungkinan bahwa di daerah-daerah “pinggir” NKRI juga terdapat bekas tindak pengrusakan dan penghisapan manusia oleh Belanda.

Untuk itu, selain peran Pemerintah Pusat, utamanya Peran Pemerintah Daerah-pun menjadi sangat krusial disini. Pemerintah Daerah hendaknya jangan hanya menunggu intruksi pengimplementasian suatu program dari pusat, akan tetapi diharapkan Pemerintah Daerah juga mampu menjadi penggiat atau inisiator – inisiator program. Misal untuk contoh Yayasan K.U.K.B ini, Pemerintah Daerah dapat melakukan konsolidasi dengan Pemerintah Pusat untuk melakukan kerjasama yang sifatnya menyeluruh, massif, dan berkelanjutan dengan Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B) untuk kemudian secara bersama – sama merumuskan sebuah kebijakan yang konsen ouput-nya penegakan Hak Asasi penduduk pribumi bekas jajahan Kolonial Belanda. Salah satu hasil rumusan kebijakannya misal pendirian cabang – cabang Yayasan K.U.K.B Tingkat Kabupaten-Kota. Dengan adanya Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda tingkat Kabupaten-Kota ini, maka nantinya diharapkan pertukaran informasi atau akses informasi mengenai Yayasan K.U.K.B bisa diperoleh secara utuh dan menyeluruh oleh masyarakat baik masyarakat kota maupun masyarakat “pinggir” dengan jalan pengintensifan sosialisasi tentang Yayasan K.U.K.B baik dari segi antologinya, epistemologinya, ataupun aksiologinya dari masing – masing cabang.

Tulisan ini penulis akhiri dengan harapan semoga tidak lagi muncul Pramoedya – Pramoedya baru yang lahir untuk kemudian kecewa. Ahh Belanda, Negeri yang sampai sekarangpun tidak mengakui de jure kemerdekaan 17 Agustus 1945 Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar