29 Januari 2012
Per 1 April 2012 Pemerintah
rencananya akan membatasi konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi (Premium)
di DKI Jakarta dan akan secara bertahap juga diikuti wilayah-wilayah lainnya di
Indonesia. Seluruh mobil pribadi ber plat hitam diwajibkan beralih penggunaan
bahan bakar dari Premium ke Pertamax atau Bahan Bakar Gas (BBG).
Motif dibalik konversi dan
penghapusan subsidi ini dikatakan sebagai sebuah langkah untuk penghematan
anggaran Negara yang dinilai terlalu boros dalam mendanai subsidi. Oleh itu
dengan diberlakukan nya penghapusan subsidi, maka penghematan anggaran subsidi
yang dihasilkan dari pembatasan konsumsi premium akan memajukan pembangunan
nasioanal.
Cacatkah logika asumsi
diatas, atau ada motif – motif implisit lain dibalik kebijakan ini?
Hal mutlak yang harus
diperhatikan dari pengimplementasian sebuah kebijakan diantaranya adalah kesiapan
infrastruktur, dampak yang ditimbulkannya, apa manfaatnya dan kepada siapa
manfaat tersebut ditujukan?
Maka, berkaitan dengan konteks
pemberlakuan kebijakan konversi BBM dan penghapusan subsidi tadi, dampak
pertama dan nyata yang timbul adalah pengalihan besar-besaran serta masif
konsumsi publik dari premium ke pertamax. Pertamax seperti yang kita ketahui
adalah bahan bakar ber oktan tinggi (<90) dan memerlukan infrastruktur
khusus dalam proses pendistribusiannya.
Berdasarkan situs resminya (www.pertamina.com)
yang dirilis pada tanggal 23 Desember 2011, untuk wilayah Jawa dan Bali Pertamina
yang merupakan satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di
bisnis ritel BBM baru mempunyai 2.065 unit Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum
(SPBU) yang menjual Pertamax dari Total lokasi 3.061 unit SPBU-nya. Sementara 700
unit SPBU Pertamina lainnya masih membutuhkan pengalihan (switching) tangki
pendam ke Pertamax, serta 296 unit SPBU yang membutuhkan investasi baru guna
membangun fasilitas switching tersebut. Untuk wilayah Sumatera yang terdapat
1.037 unit SPBU, baru 351 unit yang menyediakan Pertamax, 470 unit SPBU
membutuhkan switching, dan 216 unit SPBU perlu investasi baru. Adapun, dari 567
unit SPBU di Kalimatan dan Sulawesi, 264 unit SPBU menjual Pertamax, 167 unit SPBU
membutuhkan switching, dan sebanyak 136 unit SPBU diperlukan investasi baru.
Selain itu, untuk
infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) kenyatannya masih
relatif sedikit dan masih dalam tahap wacana penambahan unit. Tidak berakhir
disini saja, untuk menggunakan BBG sendiri diperlukan semacam alat yang biasa
disebut converter kit yang harga perunitnya mencapai 11-12 juta rupiah.
Artinya apa, dari data
diatas dapat dilihat kekurangsiapan Pertamina (dalam hal ini infrastrukturnya) dalam
mendukung kebijakan (tergesa-gesa) konversi BBM dan penghapusan subsidi dari
Pemerintah. Namun bagaimana dengan para “Pelaku bisnis” lainnya yang juga
bergerak di sektor hilir bahan bakar minyak mengingat Pertamina sekarang tidak
lagi seperti Pertamina yang dulu menjadi pelaku tunggal bisnis ritel BBM di
Indonesia.
Dengan diberlakukannya
Undang – Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), maka
pihak swasta maupun asing turut diberikan kebebasan untuk ikut berkiprah dalam
bisnis Migas baik di kegiatan usaha Hulu maupun kegiatan usaha Hilir. Dalam UU
22/2001 pasal 9 ayat 1 dikatakan: “Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir
Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan
oleh : (a) badan usaha milik Negara (b) badan usaha milik daerah (c) koperasi;
usaha kecil (d) badan usaha swasta.
Pasal
inilah yang kemudian mengakhiri monopoli Pertamina dalam sektor hilir migas
sekaligus juga menandai dimulainya era liberalisasi hilir migas di Indonesia.
Sejak
tahun 2005 tercatat sudah ada tiga Korporasi asing yang menjadi pemain resmi
dalam bisnis hilir migas di Indonesia. Ketiga perusahaan tersebut adalah Shell
(Belanda), Total (Perancis) dan Petronas (Malaysia). Meski jumlah kuantitas
unit SPBU ke tiga perusahaan asing ini tidak sebanyak jumlah unit SPBU
Pertamina, namun kualifikasi SPBU yang disajikan oleh Shell, Total, maupun
Petronas ini tiap - tiap unit nya didominasi hanya menyediakan bahan bakar
beroktan tinggi (<90) sejenis Pertamax. Shell menjual BBM beroktan 92 dan 95
(bermerk Super R92 dan Super Extra R95), Total menjual BBM beroktan 92 dan 95
(bermerk Performance 92 dan Performance 95), Petronas juga menjual BBM beroktan
92 dan 95 (bermerk Primax 92 dan Primax 95). Kausalitasnya karena ketiga
perusahaan ini berbasis spesialis penjual BBM beroktan tinggi, maka tidak ada
masalah berarti bagi mereka baik segi infrastruktur distribusi serta penjualan.
Lebih
dari itu, Pertamina yang belum memiliki bahan kimia untuk meningkatkan oktan
bensin tentunya terotomatisasi mau tidak mau harus mengimpor bahan oktan
tersebut, disinilah nantinya titik krusial permainan BBM yang akan dilakukan
oleh pihak asing. Dengan posisi Pertamina yang harus mengimpor bahan tersebut,
maka dengan mudah bagi pihak asing untuk mengontrol harga. Misal jika bahan
oktan impor tersebut me-ninggi, konsekuensi nya maka Pertamina juga menjual
Pertamax-nya dengan harga yang tinggi untuk menutupi biaya produksi bahkan
tidak menutup kemungkinan harga jual Pertamax di SPBU lokal akan lebih tinggi
ketimbang di SPBU asing yang menjual bahan bakar serupa. Implikasi nya tentu
mengakibatkan konsumen akan lebih memilih memadati SPBU asing ketimbang SPBU
bangsa sendiri.
Secara
gamblang bisa dikatakan ketiga perusahaan asing inilah yang paling siap untuk
menyongsong kebijakan pemerintah mengenai konversi BBM dan penghapusan subsidi.
Jadi,
motif dari kebijakan 1 April 2012 ini yang pada dasarnya merupakan kompetesi nasional
melawan asing secara implisit dapat dipastikan akan lebih menguntungkan
korporasi asing. Yang tidak mengejutkan adalah hal ini berkaitan erat dengan
kronologi sebelumnya dimana kelahiran UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas itu
sendiri sangat kental unsur liberalisasinya dimana ditemukan adanya peranan
lembaga asing. Telah diketahui bersama bahwa dengan lugas USAID (United States
Agency for International Development) menyatakan ikut membantu dalam pembuatan
UU Migas pada Oktober 2000. USAID helped
draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000,
demikian bunyi salah satu kutipan dari dokumen tersebut (dokumen terlampir).
USAID
sendiri adalah badan independen dari pemerintahan Amerika Serikat yang
bertanggung jawab atas bantuan untuk bidang ekonomi, pembangunan, dan
kemanusian untuk Negara – Negara lain didunia dalam mendukung tujuan – tujuan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat (situs resmi USAID bias diakses di www.usaid.gov).
Menghadapi
lonjakan harga minyak dunia yang terus berada di atas level US$100 per barel
(akan mempengaruhi keseimbangan beban APBN karena subsidi negara terhadap BBM cukup
tinggi), kebijakan yang diambil pemerintah justru dengan memberlakukan pengkonversian
Premium ke Pertamax bukan dengan misalkan menaikkan harga Premium (tanpa
mengkonversinya) atau perestrukturisasian pemberian bahan bakar minyak
bersubsidi (Premium) agar lebih tepat sasaran. Yang menjadi permasalahan-kan
sebenarya tidak tepatnya pengalokasian peruntukan BBM bersubsidi hingga
sifatnya terkesan memboroskan anggaran Negara tanpa hasil yang signifikan dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi serta inefisiensi konsumsi BBM. Disinilah titik
awal yang harusnya terlebih dahulu dibenahi oleh Pemerintah. Selain itu jika
dikalkulasikan, biaya yang timbul akibat pemilihan opsi kedua ini pun kurang-lebih
setara dengan opsi pertama. Lantas kenapa justru tetap memaksakan
pengkonversian bahan bakar minyak dengan bermodal konsep tanpa mekanisme yang
jelas.
Tentunya
hal ini semakin menambah kecurigaan publik terhadap pemerintah yang membawa
pemerintahan nya menjadi agen neoliberalisme bukan pemerintahan yang berpihak
kepada rakyat.
Berangkat
dari kerangka asumsi diatas, bukan berarti sikap yang harus diambil adalah
menolak secara keseluruhan akan adanya peran asing atau anti asing. Tidak ada
yang salah dengan memberikan ruang investasi kepada pihak asing apabila memang manfaat
yang dihasilkan dapat dirasakan publik atau masyarakat dan bukan untuk
segelintir orang yang sibuk memperkaya diri sendiri. Tapi bila gejala dominasi asing
sudah mulai muncul bahkan turut mencampuri urusan rumah tangga bangsa sendiri
maka secara sehat harusnya Pemerintah bersama-sama masyarakatnya berani mengatakan
tidak terhadap hegamoni asing tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar