Senin, 16 Juli 2012

Liberalisasi Hilir Migas dibalik Konversi BBM dan Penghapusan Subsidi

29 Januari 2012

Per 1 April 2012 Pemerintah rencananya akan membatasi konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi (Premium) di DKI Jakarta dan akan secara bertahap juga diikuti wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Seluruh mobil pribadi ber plat hitam diwajibkan beralih penggunaan bahan bakar dari Premium ke Pertamax atau Bahan Bakar Gas (BBG).

Motif dibalik konversi dan penghapusan subsidi ini dikatakan sebagai sebuah langkah untuk penghematan anggaran Negara yang dinilai terlalu boros dalam mendanai subsidi. Oleh itu dengan diberlakukan nya penghapusan subsidi, maka penghematan anggaran subsidi yang dihasilkan dari pembatasan konsumsi premium akan memajukan pembangunan nasioanal.

Cacatkah logika asumsi diatas, atau ada motif – motif implisit lain dibalik kebijakan ini?

Hal mutlak yang harus diperhatikan dari pengimplementasian sebuah kebijakan diantaranya adalah kesiapan infrastruktur, dampak yang ditimbulkannya, apa manfaatnya dan kepada siapa manfaat tersebut ditujukan?

Maka, berkaitan dengan konteks pemberlakuan kebijakan konversi BBM dan penghapusan subsidi tadi, dampak pertama dan nyata yang timbul adalah pengalihan besar-besaran serta masif konsumsi publik dari premium ke pertamax. Pertamax seperti yang kita ketahui adalah bahan bakar ber oktan tinggi (<90) dan memerlukan infrastruktur khusus dalam proses pendistribusiannya.

Berdasarkan situs resminya (www.pertamina.com) yang dirilis pada tanggal 23 Desember 2011, untuk wilayah Jawa dan Bali Pertamina yang merupakan satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bisnis ritel BBM baru mempunyai 2.065 unit Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang menjual Pertamax dari Total lokasi 3.061 unit SPBU-nya. Sementara 700 unit SPBU Pertamina lainnya masih membutuhkan pengalihan (switching) tangki pendam ke Pertamax, serta 296 unit SPBU yang membutuhkan investasi baru guna membangun fasilitas switching tersebut. Untuk wilayah Sumatera yang terdapat 1.037 unit SPBU, baru 351 unit yang menyediakan Pertamax, 470 unit SPBU membutuhkan switching, dan 216 unit SPBU perlu investasi baru. Adapun, dari 567 unit SPBU di Kalimatan dan Sulawesi, 264 unit SPBU menjual Pertamax, 167 unit SPBU membutuhkan switching, dan sebanyak 136 unit SPBU diperlukan investasi baru.

Selain itu, untuk infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) kenyatannya masih relatif sedikit dan masih dalam tahap wacana penambahan unit. Tidak berakhir disini saja, untuk menggunakan BBG sendiri diperlukan semacam alat yang biasa disebut converter kit yang harga perunitnya mencapai 11-12 juta rupiah.

Artinya apa, dari data diatas dapat dilihat kekurangsiapan Pertamina (dalam hal ini infrastrukturnya) dalam mendukung kebijakan (tergesa-gesa) konversi BBM dan penghapusan subsidi dari Pemerintah. Namun bagaimana dengan para “Pelaku bisnis” lainnya yang juga bergerak di sektor hilir bahan bakar minyak mengingat Pertamina sekarang tidak lagi seperti Pertamina yang dulu menjadi pelaku tunggal bisnis ritel BBM di Indonesia.

Dengan diberlakukannya Undang – Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), maka pihak swasta maupun asing turut diberikan kebebasan untuk ikut berkiprah dalam bisnis Migas baik di kegiatan usaha Hulu maupun kegiatan usaha Hilir. Dalam UU 22/2001 pasal 9 ayat 1 dikatakan: “Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh : (a) badan usaha milik Negara (b) badan usaha milik daerah (c) koperasi; usaha kecil (d) badan usaha swasta.

Pasal inilah yang kemudian mengakhiri monopoli Pertamina dalam sektor hilir migas sekaligus juga menandai dimulainya era liberalisasi hilir migas di Indonesia.

Sejak tahun 2005 tercatat sudah ada tiga Korporasi asing yang menjadi pemain resmi dalam bisnis hilir migas di Indonesia. Ketiga perusahaan tersebut adalah Shell (Belanda), Total (Perancis) dan Petronas (Malaysia). Meski jumlah kuantitas unit SPBU ke tiga perusahaan asing ini tidak sebanyak jumlah unit SPBU Pertamina, namun kualifikasi SPBU yang disajikan oleh Shell, Total, maupun Petronas ini tiap - tiap unit nya didominasi hanya menyediakan bahan bakar beroktan tinggi (<90) sejenis Pertamax. Shell menjual BBM beroktan 92 dan 95 (bermerk Super R92 dan Super Extra R95), Total menjual BBM beroktan 92 dan 95 (bermerk Performance 92 dan Performance 95), Petronas juga menjual BBM beroktan 92 dan 95 (bermerk Primax 92 dan Primax 95). Kausalitasnya karena ketiga perusahaan ini berbasis spesialis penjual BBM beroktan tinggi, maka tidak ada masalah berarti bagi mereka baik segi infrastruktur distribusi serta penjualan.

Lebih dari itu, Pertamina yang belum memiliki bahan kimia untuk meningkatkan oktan bensin tentunya terotomatisasi mau tidak mau harus mengimpor bahan oktan tersebut, disinilah nantinya titik krusial permainan BBM yang akan dilakukan oleh pihak asing. Dengan posisi Pertamina yang harus mengimpor bahan tersebut, maka dengan mudah bagi pihak asing untuk mengontrol harga. Misal jika bahan oktan impor tersebut me-ninggi, konsekuensi nya maka Pertamina juga menjual Pertamax-nya dengan harga yang tinggi untuk menutupi biaya produksi bahkan tidak menutup kemungkinan harga jual Pertamax di SPBU lokal akan lebih tinggi ketimbang di SPBU asing yang menjual bahan bakar serupa. Implikasi nya tentu mengakibatkan konsumen akan lebih memilih memadati SPBU asing ketimbang SPBU bangsa sendiri.

Secara gamblang bisa dikatakan ketiga perusahaan asing inilah yang paling siap untuk menyongsong kebijakan pemerintah mengenai konversi BBM dan penghapusan subsidi.
Jadi, motif dari kebijakan 1 April 2012 ini yang pada dasarnya merupakan kompetesi nasional melawan asing secara implisit dapat dipastikan akan lebih menguntungkan korporasi asing. Yang tidak mengejutkan adalah hal ini berkaitan erat dengan kronologi sebelumnya dimana kelahiran UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas itu sendiri sangat kental unsur liberalisasinya dimana ditemukan adanya peranan lembaga asing. Telah diketahui bersama bahwa dengan lugas USAID (United States Agency for International Development) menyatakan ikut membantu dalam pembuatan UU Migas pada Oktober 2000. USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000, demikian bunyi salah satu kutipan dari dokumen tersebut (dokumen terlampir).

USAID sendiri adalah badan independen dari pemerintahan Amerika Serikat yang bertanggung jawab atas bantuan untuk bidang ekonomi, pembangunan, dan kemanusian untuk Negara – Negara lain didunia dalam mendukung tujuan – tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat (situs resmi USAID bias diakses di www.usaid.gov).

Menghadapi lonjakan harga minyak dunia yang terus berada di atas level US$100 per barel (akan mempengaruhi keseimbangan beban APBN karena subsidi negara terhadap BBM cukup tinggi), kebijakan yang diambil pemerintah justru dengan memberlakukan pengkonversian Premium ke Pertamax bukan dengan misalkan menaikkan harga Premium (tanpa mengkonversinya) atau perestrukturisasian pemberian bahan bakar minyak bersubsidi (Premium) agar lebih tepat sasaran. Yang menjadi permasalahan-kan sebenarya tidak tepatnya pengalokasian peruntukan BBM bersubsidi hingga sifatnya terkesan memboroskan anggaran Negara tanpa hasil yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi serta inefisiensi konsumsi BBM. Disinilah titik awal yang harusnya terlebih dahulu dibenahi oleh Pemerintah. Selain itu jika dikalkulasikan, biaya yang timbul akibat pemilihan opsi kedua ini pun kurang-lebih setara dengan opsi pertama. Lantas kenapa justru tetap memaksakan pengkonversian bahan bakar minyak dengan bermodal konsep tanpa mekanisme yang jelas.

Tentunya hal ini semakin menambah kecurigaan publik terhadap pemerintah yang membawa pemerintahan nya menjadi agen neoliberalisme bukan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat.

Berangkat dari kerangka asumsi diatas, bukan berarti sikap yang harus diambil adalah menolak secara keseluruhan akan adanya peran asing atau anti asing. Tidak ada yang salah dengan memberikan ruang investasi kepada pihak asing apabila memang manfaat yang dihasilkan dapat dirasakan publik atau masyarakat dan bukan untuk segelintir orang yang sibuk memperkaya diri sendiri. Tapi bila gejala dominasi asing sudah mulai muncul bahkan turut mencampuri urusan rumah tangga bangsa sendiri maka secara sehat harusnya Pemerintah bersama-sama masyarakatnya berani mengatakan tidak terhadap hegamoni asing tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar